Bogordaily.net – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirimkan sejumlah anak-anak yang dianggap bermasalah ke barak militer sebagai upaya pembinaan, menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Salah satu yang paling vokal mengkritik adalah pengamat politik sekaligus intelektual publik, Rocky Gerung.
Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui kanal YouTube Indonesia Lawyers Club dan dikutip Bogordaily.net, Rocky secara tegas menyebut bahwa pendekatan semacam itu menunjukkan ketidakmatangan visi dalam mengelola persoalan pendidikan anak.
“Teman-teman pendukung Dedi mulai bilang, ‘Yang penting visualisasinya bisa menghemat anggaran.’ Oh, bagus. Tapi dalam politik, orang mau ukur visualisasi itu demi apa? Kalau visinya dangkal, mengirim anak ke barak, itu dangkal,” ujar Rocky Gerung.
Menurutnya, penggunaan institusi militer untuk membina anak-anak justru bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri.
Barak Militer Bukan Solusi
Barak militer, ujar Rocky, sejatinya bukan ruang yang mendorong proses intelektual atau perkembangan pemikiran anak, melainkan hanya tempat untuk mendisiplinkan aspek fisik secara ketat.
“Kalau kita belajar teori-teori disciplinary society oleh Michel Foucault misalnya, fungsi barak militer adalah mendisiplinkan tubuh, bukan mengajak orang berpikir. Itu apa istilahnya? Docile body, tubuh yang didisiplinkan, yang ditekuk, dibentuk,” jelas Rocky lebih lanjut.
Rocky memandang bahwa kenakalan anak seharusnya tidak dilihat sebagai penyimpangan yang harus ‘dihukum’, melainkan sebagai bagian dari pertumbuhan alami yang justru memperlihatkan munculnya kreativitas dan dorongan berpikir kritis.
Ia menyayangkan ketika kreativitas ini justru ditekan lewat pendekatan militeristik yang represif.
“Anak itu nakal karena kreativitasnya bertumbuh. Diperlukan pedagogi. Yang dihasilkan oleh Dedi Mulyadi adalah demagogi. Kirim ke barak. Kenapa tidak Gibran saja yang dikirim ke barak? Atau ayahnya?” sindir Rocky.
Salah satu poin yang menjadi penekanan Rocky adalah pentingnya membedakan antara tubuh dan pikiran dalam konteks pendidikan.
Ia menekankan bahwa mendisiplinkan tubuh bukan berarti mendidik pikiran, karena proses berpikir hanya akan tumbuh jika dipancing dan diprovokasi lewat stimulasi intelektual, bukan lewat penindasan.
“Sementara itu adalah anak didik. Bagaimana mendisiplinkan pikiran anak didik? Justru anak didik itu diprovokasi untuk berpikir. Nakal itu masa pembentukan. Di situ pikiran kita dibentuk,” tambahnya.
Dalam kritiknya, Rocky menilai bahwa masyarakat kini terperangkap dalam ilusi visual dari kebijakan publik yang lebih mengedepankan pencitraan ketimbang substansi.
Ia mengingatkan bahwa pendidikan sejatinya bukan tentang menampilkan efek visual yang tampak ‘keras’, namun harus berpijak pada gagasan mendalam dan keberanian untuk menumbuhkan cara berpikir anak-anak.
“Metodenya itu dikonsumsi oleh publik. Akhirnya kita nonton kedangkalan. Dan itu yang berlangsung di kita setiap hari,” tutupnya. ***