Bogordaily.net — Program Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi siswa nakal tukang tawuran masuk barak militer angkatan pertama dimulai.
Siang itu, Kamis 1 Mei 2025, langit di atas Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, tampak cerah.
Di halaman markas militer yang terletak di Jalan Raya Sadang-Subang, Desa Ciwangi, Kecamatan Bungursari, puluhan siswa sekolah menengah pertama berdiri kaku dalam barisan.
Seragam sekolah mereka diganti dengan kaus dan celana olahraga. Tak ada cengengesan, tak ada obrolan. Yang terdengar hanya komando dari tentara berseragam loreng.
Mereka bukan sedang mengikuti lomba paskibra. Bukan pula siswa teladan pilihan lomba kedisiplinan.
Sebanyak 39 anak laki-laki, dari total 40 siswa bermasalah yang dikirim Pemerintah Kabupaten Purwakarta, memulai hari pertama mereka dalam program pembinaan karakter berbasis militer.
Bus dan truk milik pemerintah daerah mengantar mereka tepat tengah hari. Begitu turun, mereka langsung “disambut” dengan aba-aba khas militer.
Tak ada waktu untuk istirahat. Barisan dibentuk. Komando dikencangkan. Mata harus fokus, punggung tegap.
“Instruksi pertama adalah soal disiplin,” kata Kolonel Arm Roni Junaidi, Komandan Resimen Armed 1 Kostrad.
“Hari ini mereka jalani pemeriksaan kesehatan dan psikologis. Besok, hidup baru mereka dimulai.”
Program ini bukan kegiatan pramuka. Ini reaksi atas keresahan: tawuran pelajar yang kian liar dan sulit ditanggulangi.
Pemerintah daerah menyebut program ini sebagai bentuk “terapi kejut” bagi siswa yang dinilai tak lagi bisa dikendalikan di sekolah maupun di rumah.
Para siswa akan digembleng selama 14 hari. Jadwal padat sudah menanti: bangun subuh, salat berjamaah, olahraga, apel pagi, makan dengan waktu terbatas, bersih-bersih barak, hingga sesi motivasi dan konseling.
Materi pelatihan disusun gabungan oleh TNI, Polri, dinas pendidikan, dinas sosial, serta psikolog anak.
“Bukan hanya fisik, tapi juga mental dan spiritual yang dibentuk,” ujar Roni.
Ia menekankan bahwa pendekatan militer bukan berarti kekerasan. “Kami bangun suasana tegas tapi tidak menakutkan. Ini untuk membentuk karakter, bukan menghukum.”
Di pinggir halaman, beberapa orang tua tampak menahan air mata. Salah satu wali murid, memeluk anaknya erat sebelum melepas kepergian sang putra ke barak.
“Dia sering bolos, susah dinasehati. Saya ikhlas dia ikut program ini, siapa tahu bisa berubah,” katanya.
Ia mengaku telah menyiapkan semua kebutuhan sang anak: pakaian, alat mandi, buku tulis, bahkan ember. Ia tahu, anaknya bukan satu-satunya. Ia hanya berharap ada hasil setelah ini.
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang mengagas penuh program siswa nakal masuk barak militer ini, bahkan menyebut adanya “fakta mengerikan” di balik maraknya tawuran remaja.
Ia menyingkap bagaimana pergaulan liar, kecanduan gawai, dan lemahnya peran keluarga menjadi akar masalah.
Namun, langkah ini tak lepas dari sorotan. Sejumlah anggota DPRD mempertanyakan dasar hukum program, yang dinilai berjalan lebih dulu ketimbang regulasinya.
“Kita mendukung penanganan kenakalan remaja, tapi harus ada payung hukum yang jelas,” kata salah satu anggota dewan daerah.
Meski demikian, program ini tetap bergulir. Pemerintah daerah, TNI, dan para pendukungnya yakin, “militerisasi ringan” ini bisa jadi jalan keluar di tengah krisis keteladanan dan krisis moral pelajar.
“Yang kita cari bukan ketakutan,” ucap Kolonel Roni. “Tapi kesadaran.”.***