Sunday, 15 June 2025
HomeBeritaBelanda dan Sunda, Pertemuan Pertama di Pelabuhan Banten

Belanda dan Sunda, Pertemuan Pertama di Pelabuhan Banten

Bogordaily.net – Bagaimana proses masuknya bangsa Eropa ke Nusantara khususnya ke tanah Jawa? Ternyata tidak semudah yang dikira.

Pertama kali bangsa Eropa menjejakkan kakinya di tanah Jawa yaitu di Pelabuhan Banten pada abad 16.

Saat dalam misi menjelajah dunia, bangsa Eropa dari Belanda berinteraksi dengan orang-orang pribumi yang masih berbudaya . Meski secara kepercayaan mereka sudah menganut agama Islam namun secara sosial dan budaya masih melekat kesundaannya.

Dalam dokumen pelayaran De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis (1595–1597), terdapat narasi mendetail yang mencerminkan dinamika interaksi awal tersebut. Analisis ini berfokus pada dimensi diplomasi, komunikasi budaya, ketegangan sosial, dan penilaian timbal balik antara kedua belah pihak.

Diplomasi dan Intrik Bangsa Eropa di Banten

Kedatangan disambut baik meski secara protokoler oleh pejabat kesultanan Banten. Dijelaskan mengenai kedatangan armada Belanda yaitu menggunakan perahu kecil untuk menemui Gubernur.

“Capiteijn in onse roey-jacht hebbende den Gouverneur te ghemoeten, welck oock also geschiede, ende sonden een Balaon voor om zyne hoogheyt te veradverteren van onse comste…”

Bahkan saking protokolernya kesultanan ketika itu, seorang sahbandar pelabuhan Banten rela menjadi sandera. Tujuannya adalah untuk menjamin keselamatan rombongan pihak Belanda. Barang tentu agar diplomasi dapat berjalan lancar antara Belanda dengan kesultanan Banten.

“Den Sabandar aen de Sloepe gecomen, begeirende dat wy aen landt soude comen, presenterende zynen persoon in gyselinghe te blyven, dwelck hem gherefuseert worde…”

Interaksi ini menandakan bahwa proses diplomasi harus berjalan dengan baik tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Apalagi komunikasi bilateral ini menyangkut dengan para elite Banten dalam hal kemaritiman yang harus penuh kehati-hatian.

Diplomasi tidak melulu berjalan lancar. Sempat terjadi ketegangan antara pihak Banten dengan Belanda. Para elite Banten menilai ini bersikap sombong. Karena pada saat bicara nadanya terlalu tinggi.

“Capiteijn te veel ghesproken hadde”

Ditambah lagi bangsa Portugis ketika itu telah memiliki posisi khusus di teritori Banten termasuk di batas lautnya. Kedatangan Belanda justru dianggap menjadi pengganggu bagi Portugis yang telah memiliki kedekatan spesial dengan kesultanan Banten. Terpaksa pihak Portugis yang sudah lama beroperasi di kawasan itu menyebarkan rumor:

“De Portugesen… seggende dat wy maer verspieders en waren, om de gheleghentheyt van ‘t landt te besichtighen, ende dat wy gheenen sin hadden om coopen…”

Kecurigaan ini mencerminkan bahwa hubungan Eropa dan masyarakat lokal sudah terjalin sebelumnya, dan kedatangan kekuatan Eropa baru seperti Belanda dianggap mengganggu status quo.

Selama dalam penawanan politik, beserta rombongannya mengamati secara detail mengenai kehidupan orang-orang . Mereka menggambarkan meski tidak presisi dalam gambaran mereka namun kegiatan sosial dan proses musyawarah mereka rinci satu persatu.

Orang di Mata Bangsa Eropa

Dalam dokumen “De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis “, terdapat beberapa catatan yang menggambarkan masyarakat Sunda pada akhir abad ke-16, sebagaimana diamati oleh pelaut dan penulis Belanda dalam ekspedisi tahun 1596. Gambaran tersebut mencakup baik kalangan ningrat maupun rakyat biasa.

Berikut rangkuman karakteristik mereka.

Dimulai dari kalangan ningrat dan pemerintahan yang para bangsawan dan pejabat tingginya digambarkan memiliki pemerintahan yang tertata dengan sistem musyawarah (raad of vergadering) termasuk melibatkan bangsawan senior.

Termasuk soal-soal penting seperti militer juga diambil secara kolektif. Dicatat bahwa seorang raja dan gubernur duduk di tengah sebuah pertemuan yang dikelilingi para bangsawan terkemuka.

Mereka mengambil keputusan berdasarkan suara dari yang paling tinggi derajatnya ke bawah. Lalu dijelaskan sebutan “300 Capiteynen” atau kepala pasukan, yang menunjukkan adanya struktur militer yang mapan dan tersentralisasi.

Dalam “De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis ” dicatat bahwa di wilayah pedalaman Sunda, khususnya sekitar Bantam (Banten) dan kaki Gunung Besar, masyarakat petani hidup damai dan rajin. Mereka pendatang baru yang sebelumnya tinggal di Passaruan dan kemudian bermigrasi dengan izin dari raja Banten.

Mereka digambarkan sebagai masyarakat yang sangat tenang, hidup dari pertanian, dan mengikuti ajaran Brahmana sebelum kedatangan Islam. Disebutkan bahwa mereka adalah vegetarian (“eten niet dat leven ghehadt heeft”), hidup hemat, dan menjalani kehidupan religius secara ketat.

Bangsa Sunda juga disebutkan kehidupan sosial kalangan atas memperlihatkan pola istirahat, makan, dan audiensi dengan rakyat atau bawahannya. Seorang bangsawan bisa menghabiskan waktu dengan istri atau selirnya sebelum menerima audiensi pada sore hari.

Ketika bersidang, para pembesar duduk di tanah, menunjukkan adanya kesederhanaan dalam protokol atau upacara kenegaraan, meskipun tetap penuh wibawa.

Penulis Belanda sendiri menyebut masyarakat Sunda sebagai “seer goetvolck” (bangsa yang sangat baik), yang memberi kesan bahwa mereka melihat masyarakat ini sebagai orang-orang yang ramah, damai, dan terorganisir.

Meskipun terjadi insiden politik dan konflik kecil (misalnya penahanan Cornelis oleh penguasa lokal karena dianggap “terlalu banyak bicara”), kesan umum yang ditulis oleh orang Belanda tetap menunjukkan kekaguman terhadap struktur sosial dan budaya masyarakat Sunda.

Eko Hadi (Komunitas Bogor Historia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here