Bogordaily.net – Aktris sekaligus aktivis lingkungan, Cinta Laura Kiehl, menyampaikan suara lantang menentang aktivitas tambang nikel yang kini mengancam kelestarian alam di Raja Ampat, Papua Barat.
Lewat sebuah video yang dirilis ke publik, Cinta menumpahkan kekecewaannya terhadap kerusakan ekologis yang ditimbulkan atas nama pembangunan.
Cinta mempertanyakan harga yang harus dibayar oleh manusia dan lingkungan atas proyek tambang yang kini menjamur di wilayah yang dikenal sebagai salah satu surga terakhir di dunia.
“Nilai satu nyawa manusia itu berapa? Satu tambang? Satu kapal pesiar? Atau satu perjanjian strategis?” ungkap Cinta dalam video tersebut, dikutip pada Selasa 10 Juni 2025.
Ia menyoroti bagaimana eksploitasi tambang telah merusak ekosistem Raja Ampat, salah satu kawasan laut paling rapuh dan berharga di dunia.
Menurut Cinta, demi nikel yang digunakan untuk kendaraan listrik, perusahaan-perusahaan tambang dengan bebas “merobek hutan, mencemari air, dan mencekik terumbu karang”.
Tak hanya alam yang menjadi korban, masyarakat lokal Papua pun ikut terpinggirkan. Cinta menegaskan bahwa mereka dulunya adalah penjaga alam Raja Ampat jauh sebelum dunia mengenal istilah “konservasi”. Namun kini, suara mereka dibungkam dan hak-haknya diabaikan.
“Coba tanya para tetua yang melihat hutan sakral mereka diratakan. Harga sebenarnya dari tambang ini bukan sekadar logam yang diambil, tapi kematian cara hidup, dan putusnya ikatan suci antara manusia, tanah, laut, dan budaya.”
Cinta juga mengangkat isu moral disengagement bagaimana banyak pihak membenarkan tindakan merusak dengan dalih demi pembangunan nasional, atau membandingkan kerusakan yang terjadi dengan negara lain sebagai bentuk pembenaran.
“Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan. It is a failure of conscience. Kegagalan hati nurani,” tegasnya.
Yang lebih memprihatinkan, menurut Cinta, banyak izin tambang yang dikeluarkan tanpa persetujuan masyarakat adat melalui mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang padahal dijamin dalam hukum internasional.
Beberapa warga bahkan mengaku dipaksa, sementara yang lain tak pernah diajak bicara soal proyek yang akan mengubah hidup mereka.
Kerusakan ini tak hanya merenggut hutan dan laut, tetapi juga pengetahuan turun-temurun yang diwariskan antar generasi.
Ilmu tentang laut, budaya, dan hubungan spiritual dengan alam kini terancam hilang karena semua yang dulu dijaga, telah diratakan dan dijadikan korban pembangunan.***