Bogordaily.net- Upaya pelestarian lingkungan kembali menggema di kawasan strategis Kabupaten Bogor melalui gerakan bertajuk “Yuk Lestarikan Bumi Part 2”
Kegiatan ini sukses digelar di Plaza Node Café and Lounge, Pancawati, pada Kamis, 5 Juni 2025. Acara ini bukan sekadar seremoni biasa, melainkan sebuah panggung nyata kolaborasi lintas sektor yang menyatukan semangat kepedulian terhadap nasib lingkungan, khususnya bentang alam Gunung Gede Pangrango dan Halimun Salak (Gedepahala).
Inisiatif ini diprakarsai oleh Bamboo Sanctuary Pancawati bersama Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa. Tak kurang dari ratusan peserta yang terdiri dari akademisi, aktivis lingkungan, pelaku usaha, mahasiswa, perwakilan pemerintah, serta komunitas lokal, turut hadir dan berkontribusi aktif dalam rangkaian kegiatan ini.
Menurut Ketua Pelaksana, Yuhika Afrisky, kegiatan ini menjadi lebih dari sekadar ajakan pelestarian. Ia menekankan bahwa kekuatan utama dari upaya semacam ini adalah sinergi yang terbangun dari berbagai pihak.
“Gerakan ini bukan sekadar sosialisasi, melainkan penguatan jejaring bersama untuk menjaga lingkungan. Semangat kolaborasi ini kami harap bisa menginspirasi daerah lain agar turut aktif dalam konservasi,” ujar Yuhika dalam keterangan persnya yang diterima Bogordaily.net, Kamis 5 Juni 2025.
Peran Vital Komunitas Lokas
Direktur Bamboo Sanctuary Pancawati, Daniel Arjuna Filgo, dalam sambutannya menegaskan peran vital komunitas lokal sebagai garda terdepan pelestarian alam.
Menurutnya, pelestarian tidak akan berhasil tanpa keterlibatan langsung masyarakat sekitar yang mengenal kondisi lapangan dengan detail.
“Komunitas lokal adalah ujung tombak dalam menjaga alam kita. Mereka yang paling paham dan paling bertanggung jawab menjaga keberlangsungan ekosistem,” ujar Daniel
Peran akademisi dan mahasiswa juga mendapat sorotan penting. Dwi Agus Sasongko dari Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa menekankan bahwa pendidikan dan riset harus menjadi fondasi membentuk kesadaran ekologis yang kuat di masyarakat.
“Akademisi dan mahasiswa harus mampu menjadi agen perubahan, yang tidak hanya memahami masalah lingkungan, tapi juga aktif mencari solusi dan menggerakkan masyarakat,” jelas Dwi.
Dukungan dari instansi pengelola taman nasional juga menguatkan komitmen kolaborasi. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Arief Mahmud, mengajak generasi muda untuk mengambil peran aktif dalam pelestarian.
“Generasi muda adalah harapan masa depan lingkungan kita. Tanpa keterlibatan mereka, upaya konservasi akan kehilangan energi dan kesinambungan,” tegas Arief.
Pentingnya Pendekatan Kolaboratif
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Budhi Chandra, menyoroti pentingnya pendekatan kolaboratif sebagai fondasi keberhasilan konservasi.
“Pelestarian tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Dibutuhkan sinergi yang kuat antar pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, komunitas, hingga sektor swasta,” kata Budhi.
Diskusi panel yang mengangkat tema “Potensi dan Tantangan Pelestarian Bentang Alam Gedepahala” menghadirkan narasumber senior seperti Wahjudi Wardojo, mantan Sekretaris Jenderal KLHK dan Ketua Konsorsium Gedepahala, Dolly Priatna dari Belantara Foundation, serta Dwi Agus Sasongko.
Mereka membahas berbagai ancaman serius yang tengah mengintai kawasan penyangga taman nasional, mulai dari perambahan hutan hingga degradasi ekosistem.
Kawasan Gedepahala merupakan paru-paru hijau yang sangat strategis, tapi tekanan manusia dan alih fungsi lahan menjadi tantangan besar yang harus segera ditangani secara terpadu,” tutur Wahjudi Wardojo.
Konservasi Satwa Endemik
Sesi kedua fokus pada konservasi satwa endemik yang menjadi ikon kawasan. Sofian Iskandar dari Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa menyampaikan kondisi kritis Owa Jawa yang semakin terancam punah akibat habitat yang menyempit.
“Owa Jawa adalah salah satu primata endemik yang harus kita lindungi. Penurunan populasinya menjadi alarm bahwa habitat mereka terus terdesak,” ujarnya.
Asep Mulyana dari Yayasan PUTER Indonesia menambahkan bahwa pelestarian Elang Jawa bisa menjadi indikator kesehatan ekosistem.
“Jika Elang Jawa masih ada dan berkembang, itu berarti lingkungan masih dalam kondisi baik,” jelasnya.
Sementara itu, Alhalimata Rosyidi dari Yayasan SINTAS Indonesia memaparkan metode konservasi Macan Tutul yang melibatkan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, agar mereka turut merasakan manfaat dari pelestarian.
“Keterlibatan masyarakat menjadi kunci utama agar pelestarian menjadi usaha bersama yang berkelanjutan,” ucapnya
Acara diakhiri dengan aksi simbolik penanaman pohon di area sekitar Plaza Node Café, yang diikuti oleh peserta, mahasiswa, komunitas, serta pimpinan Balai Besar TNGGP dan Balai TNGHS. Penanaman ini menjadi bentuk komitmen nyata untuk menjaga dan merawat ekosistem Gedepahala.
(Muhammad Irfan Ramadan)