Bogordaily.net – “Markas” Gangster Bogor Digerebek Polisi. 8 Pemuda dan 3 senjata tajam (Sajam) ditemukan di sebuah rumah kontrakan.
Lokasinya di sini. Di MULYAHARJA. Kota Bogor. Sebuah gang sempit yang tampak tenang dari luar.
Tapi siapa sangka, di balik pintu kontrakan yang catnya mulai mengelupas, aparat mendapati potret kecil dari kekacauan kota yang perlahan tumbuh dari dalam. Itulah tempat yang dijadikan markas gangster Bogor.
Penggerebekan itu tidak terjadi siang hari. Bukan sore pula. Polisi memilih waktu yang paling sunyi, saat suara jangkrik lebih keras daripada suara motor—dini hari. Senin, 9 Juni 2025.
“Enam laki-laki, dua perempuan,” kata Ipda Eko Agus, Kasi Humas Polresta Bogor Kota.
Angka itu bicara banyak. Bukan cuma jumlah orang, tapi generasi yang ikut terseret.
Ada yang masih 14 tahun. Remaja. Mungkin baru lulus SMP. Yang paling tua, 22 tahun. Usia-usia rawan. Usia-usia yang tak tahan godaan geng, gengsi, dan kekerasan.
Mereka tak sedang merampok. Tak sedang berkelahi. Mereka minum. Miras. Di sebuah kontrakan yang disebut-sebut sebagai basecamp—markas kecil yang bisa jadi cikal-bakal tragedi besar. Tempat nongkrong, tempat mabuk, dan mungkin tempat merancang kejahatan.
Polisi menyisir kamar itu. Kasur diangkat. Dan seperti yang sudah sering ditemukan di tempat-tempat semacam itu: tiga bilah senjata tajam. Dua pedang dan satu klewang. Disimpan di bawah kasur. Bukan untuk dipamerkan. Tapi juga bukan untuk main-main.
Ini bukan sekadar penggerebekan biasa. Ini sinyal. Bahwa benih-benih gangsterisme—yang selama ini dianggap hanya tumbuh subur di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya—kini punya cabang yang tumbuh diam-diam di Bogor.
Di kawasan Mulyaharja yang tenang.
Pemilik kontrakan, inisial J. Yang mengisi: anaknya sendiri, F. Tapi F tidak ada saat digerebek. Entah sembunyi. Entah kabur. Entah memang sengaja meninggalkan tempat saat malam mulai mencekam.
Kini polisi mendalami kepemilikan senjata tajam itu. Tapi seperti biasa, proses hukum kadang tidak menyentuh akar. Sebab akar masalahnya bukan hanya soal pedang. Tapi kenapa anak 14 tahun bisa ikut-ikutan mabuk di sebuah markas gangster Bogor?
Siapa yang mereka tiru?
Gengster bukan hanya soal sajam. Tapi soal simbol. Soal pencarian identitas. Soal keinginan menjadi ditakuti di tengah kehidupan yang tidak memihak.
Dan Bogor, yang selama ini dikenal sejuk dan bersahabat, kini harus berkaca: apakah kita sudah membiarkan anak-anak kehilangan arah? Apakah sekolah cukup mendidik? Apakah rumah cukup memeluk?
Atau jangan-jangan, gangster itu lahir dari diam kita sendiri?.***