Wednesday, 4 June 2025
HomeTravellingMenembus Lelah, Menemukan Cahaya: Perjalanan Singkat ke Curug Walet

Menembus Lelah, Menemukan Cahaya: Perjalanan Singkat ke Curug Walet

Bogordaily.net – Kadang, untuk bisa bernapas lebih dalam, kita tidak butuh tiket pesawat atau kamar hotel mewah. Kita hanya perlu menjauh sebentar, pergi ke tempat di mana suara air lebih nyaring daripada notifikasi ponsel. Tempat yang membuatmu merasa kecil, tapi justru karena itu kamu merasa hidup. Bagi saya, tempat itu bernama Curug Walet.

Saya Ruth Aurelia, seorang mahasiswi rantau yang tinggal di kota Bogor, yang dikenal sebagai kota hujan. Saya tahu sejak pertama kali saya datang ke kota ini bahwa saya akan kembali pulang dengan semua kenangan dan jejak yang saya buat di sini. Sebelum waktu itu tiba, saya ingin mengumpulkan sebanyak mungkin pengalaman, mengunjungi tempat yang belum saya kunjungi, dan mengeksplorasi setiap sudut yang mungkin saya tidak akan lewati lagi.

Suatu akhir pekan, setelah seminggu yang cukup padat oleh rutinitas kampus, saya memutuskan untuk kabur sejenak. Bukan ke mal, bukan ke kafe. Saya ingin sesuatu yang lebih… alami. Pilihan jatuh pada Curug Walet, sebuah air terjun yang katanya punya pantulan cahaya matahari yang unik—orang-orang menyebutnya “Cahaya Ilahi.”
Saya tak punya ekspektasi besar. Tidak sedang mencari pencerahan hidup, atau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar. Saya hanya ingin pergi. Menjauh. Mendengarkan alam, mungkin juga diri sendiri.

Saya berangkat dari Kota Bogor bersama seorang teman. Situs Curug Walet berada di Ciasihan, distrik Pamijahan, Kabupaten Bogor. Perjalanan diperkirakan memakan waktu sekitar satu setengah jam, menurut Google Maps. Kami malah tersesat karena terlalu percaya diri dan percaya bahwa kami lebih tahu jalan.

Alih-alih mengikuti peta digital, kami memilih bertanya kepada warga sekitar. Sialnya, orang yang kami tanya sepertinya juga tidak terlalu tahu arah pasti. Hasilnya? Kami justru memutar lebih jauh dari rute normal. Tersesat bukanlah hal yang menyenangkan saat perut mulai lapar dan bensin makin menipis. Tapi lucunya, di momen-momen seperti itu, saya sadar betapa kadang kesederhanaan—seperti tawa di tengah salah jalan—bisa menjadi highlight dari sebuah perjalanan.

Kami akhirnya tiba di area parkir setelah berputar cukup lama. Di sinilah petualangan yang sebenarnya dimulai. Untuk mencapai curug, kami harus melakukan tracking sekitar 30–40 menit. Jalurnya cukup menantang: tanah merah yang licin, tanjakan-tanjakan curam, dan akar pohon yang menyembul dari tanah. Bagi orang yang terbiasa mendaki, mungkin ini hal biasa. Tapi buat saya, ini nyaris mustahil.

Saya mengalami kecelakaan yang cukup fatal beberapa tahun sebelumnya. Kemampuan berjalan saya tidak pernah kembali seperti semula sejak itu. Tubuh saya mudah kehilangan keseimbangan, dan saya selalu takut jatuh. Stamina yang telah lama tidak dilatih juga. Kaki saya sudah sangat gemetar setelah beberapa menit mengikuti. Semangat mulai lemah saat nafas ngos-ngosan.

Tapi saya terus melangkah. Pelan, tapi pasti. Teman saya sesekali harus menarik saya saat tanjakan, atau menahan saya agar tidak terpeleset. Kami tertawa di tengah rasa lelah, dan saya mulai belajar bahwa keberanian bukan soal tidak takut—tapi tetap berjalan meskipun takut.

Sekitar 30 menit berlalu, dan akhirnya kami sampai di Curug Walet.
Airnya turun deras dari tebing tinggi, menciptakan suara gemuruh yang seolah menelan semua kebisingan dunia. Udaranya dingin, percikan air sampai membuat baju kami basah. Sayangnya, karena debit air yang cukup tinggi saat itu, kami tidak bisa mandi di bawah curug. Tapi keindahannya tetap luar biasa.

Meski “Cahaya Ilahi” yang menjadi ciri khas curug ini tidak kami temukan karena kami datang kesiangan, saya tidak merasa kecewa. Justru kelegaan luar biasa memenuhi dada. Saya berhasil sampai, saya mampu menyelesaikan perjalanan ini, meskipun di awal saya ragu akan bisa.

Kami tidak banyak beraktivitas di sana. Hanya duduk, mengambil beberapa foto, dan menikmati suasana. Untungnya saya dan teman saya tipe yang serupa—kami lebih menikmati proses daripada hasil. Jadi meskipun kami tidak lama di lokasi, itu sudah cukup.

Perjalanan pulang pun tak kalah dramatis. Kaki yang sudah lelah membuat saya terpeleset, tapi untungnya saya jatuh di jalur yang cukup aman. Padahal, kalau terpeleset di sisi lain, bisa jadi ceritanya jauh berbeda karena ada jurang yang mengintai.

Sampai di basecamp, kami istirahat sejenak sambil menyantap sate Padang yang dijual di sekitar situ. Makanan hangat di tengah udara dingin, setelah tracking panjang—rasanya seperti surga kecil.

Dalam perjalanan pulang, saya merenung. Mungkin saya tidak menemukan “cahaya” yang diceritakan orang-orang. Tapi saya menemukan cahaya lain—yang muncul dari dalam diri. Cahaya yang membuktikan bahwa saya masih bisa melawan ketakutan saya sendiri, masih bisa berdiri meski kaki ini tak sekuat dulu, dan masih bisa tertawa meski napas tersengal.

“Terkadang, kita pergi bukan untuk mencari sesuatu. Tapi untuk membuktikan bahwa kita masih hidup—dan layak merayakannya.”

Curug Walet bisa menjadi tempat pulang sejenak jika kamu merasa bosan atau penuh. Namun, itu datang tanpa diduga. Biarkan kejutan alam terjadi. Selain itu, jangan lupa untuk menggunakan Google Maps. Memiliki keyakinan yang lebih besar tidak berarti harus keras kepala.

Tips singkat untuk ke Curug Walet:
• Waktu terbaik: pagi hari (sekitar jam 8–10 pagi) jika ingin melihat pantulan Cahaya Ilahi.
• Bawa baju ganti dan jas hujan—cuaca di sana sering berubah.
• Pakail sepatu yang nyaman untuk tracking.
• Jangan datang sendirian jika kamu punya keterbatasan fisik atau belum terbiasa mendaki.
• Dan yang paling penting: nikmati perjalanannya, bukan hanya tujuannya.

Ruth Aurelia Caroline
Mahasiswi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here