Bogordaily.net – Pangeran Mangkubumi Sekjen Gibranku anak siapa? Pertanyaan itu tidak hanya muncul di kolom komentar media sosial.
Tapi juga mulai menyelinap ke ruang-ruang diskusi politik. Wajar. Sosok ini tiba-tiba muncul ke permukaan.
Bukan dari elite istana. Bukan dari partai besar. Tapi pernyataannya bisa membuat ruang redaksi mengangkat alis.
Ia bicara soal Gibran. Soal pemakzulan. Dan ia bicara dengan nada yang tidak keras, tapi tegas.
Ia menyebut gerakan pemakzulan itu “minim substansi”. Kalimat itu ringan, tapi cukup untuk membuat namanya masuk berita nasional.
Siapa Pangeran Mangkubumi itu? Belum ada yang tahu pasti. Tak ada keterangan resmi tentang siapa orang tuanya, dari mana keluarganya, atau apakah benar ia keturunan darah biru seperti namanya.
Tapi satu yang pasti: ia bukan orang biasa dalam jaringan relawan Gibran.
Namanya mulai terdengar sejak lama, setidaknya sejak deklarasi Gibranku di Banten tahun lalu. Saat itu, ia berorasi dengan tenang. Tidak meledak-ledak.
Tapi isi pidatonya menyentuh loyalitas. Tentang jangan meninggalkan kawan di tengah jalan. Tak banyak yang peduli waktu itu.
Tapi hari ini, ketika angin politik mulai bergeser, pidatonya diputar ulang.
Pangeran Mangkubumi Sekjen Gibranku anak siapa? Mungkin masih jadi misteri. Tapi yang jelas, ia mulai jadi bagian dari sejarah kecil di politik nasional.
Bukan karena kekuasaan. Tapi karena keteguhan bersuara. Di saat banyak memilih diam.
Dan kadang, seperti yang saya pelajari dari pengalaman, politik memang tidak selalu berpihak pada yang paling kuat. Tapi pada yang paling dulu berdiri ketika badai mulai datang.***