Bogordaily.net – Akhirnya, setelah beberapa bulan cuma jadi wacana di grup WhatsApp keluarga, liburan ke Bali benar-benar terlaksana juga. Ini merupakan pengalaman pertama saya ke Pulau Dewata. Kami berangkat pagi-pagi dari Jakarta. Suasana di bandara sudah ramai, tapi semua tetap semangat. Saya duduk di sebelah kakak saya di pesawat, dan sepanjang penerbangan dia sibuk motret langit dari jendela. Ibu sibuk mengecek tas kami, dan Ayah seperti biasa tenang-tenang saja, cukup bawa koran dan kopi.
Begitu mendarat di Bandara Ngurah Rai, udara panas langsung terasa, tapi justru itu yang bikin beda. Ada aroma laut, campur bau dupa dari sesajen di setiap sudut. Rasanya langsung tahu, “Oke, ini Bali.” Kami dijemput oleh sopir hotel yang sudah kami pesan jauh- jauh hari.
Namanya Pak Wayan, orangnya ramah banget dan suka cerita soal tempat-tempat seru di Bali selama perjalanan ke Seminyak. Hari pertama, kami langsung ke Pantai Kuta. Pantainya ramai tapi tetap asik. Saya
dan adik main air, sementara Ibu duduk santai di bawah payung sambil ngemil kacang rebus.
Ayah? Dia sibuk motret kami dari segala sudut. Sore harinya kami tungguin sunset. Warna langitnya keren banget, oranye keemasan, kayak lukisan. Saya cuma bisa diam, menikmati pemandangan sambil berpikir, “Kapan lagi bisa kayak gini sama keluarga.”
Hari kedua, kami sewa mobil dan jalan ke Pura Tanah Lot.
Ini salah satu tempat yang dari dulu pengin saya lihat langsung, bukan cuma dari foto. Jalannya agak jauh, tapi pemandangan sepanjang jalan bikin lupa capek. Begitu sampai, pura itu berdiri megah di atas batu karang, dikelilingi ombak. Kami sempat duduk-duduk sambil minum es kelapa, lalu makan siang di warung kecil yang ternyata enak banget ayam betutunya juara.
Hari ketiga, kami pindah suasana ke Ubud. Suasananya jauh lebih tenang, banyak
pepohonan, dan sawah-sawah hijau yang bikin adem mata. Kami mampir ke Monkey Forest, tempat yang dipenuhi monyet yang lumayan jahil.
Salah satu monyet malah naik ke bahu adik saya dan nggak mau turun, kami semua langsung ketawa. Setelah itu, kami iseng masuk ke galeri seni kecil, tempat seniman lokal jualan lukisan dan ukiran. Saya sempat ngobrol sebentar dengan salah satu pelukisnya, dan dia cerita soal inspirasi dari budaya Bali. Saya jadi sadar, di Bali, seni itu bukan cuma karya, tapi bagian dari hidup.
Sorenya, kami ikut kelas membuat canang sari. Ternyata nggak segampang
kelihatannya. Bikin sesajen kecil dari janur dan bunga ini butuh kesabaran dan ketelitian. Tapi dari situ saya belajar, bahwa di Bali, hal-hal kecil pun punya makna. Semua dilakukan dengan hati, bukan cuma rutinitas.
Hari keempat, kami pergi ke Bedugul, ke Danau Beratan. Cuacanya lebih sejuk dibanding daerah pantai. Kabut tipis menyelimuti danau, dan Pura Ulun Danu berdiri cantik di pinggir air. Kami sempat duduk di dekat danau, diem-diem aja, sambil menikmati udara segar. Saya sempat berpikir, kapan terakhir kali saya benar-benar menikmati suasana kayak gini nggak pegang HP, nggak mikirin kerjaan, cuma bareng keluarga.
Sebelum pulang, kami sempat belanja oleh-oleh di pasar seni Sukawati. Suasananya ramai, penuh warna, dan tentu saja penuh godaan. Saya beli kaos Bali buat teman-teman, Ibu borong camilan khas, dan Ayah akhirnya beli ukiran kayu kecil yang dari kemarin dia taksir tapi masih mikir-mikir.
Liburan ini bukan cuma soal tempat-tempat bagus yang kami kunjungi, tapi soal
waktu yang kami habiskan bareng-bareng. Ketawa di mobil, makan bareng, saling ganggu di kamar hotel, semua itu yang bikin perjalanan ini terasa hangat. Rasanya menyenangkan bisa lepas sebentar dari rutinitas, dan kembali merasa dekat dengan keluarga.
Bali bukan cuma tentang pantai dan pura. Buat saya, Bali adalah tentang momen-
momen sederhana yang bikin hati penuh. Hari kelima, kami bangun sedikit lebih siang karena malam sebelumnya semua kelelahan. Tapi tetap saja, semangat jalan-jalan belum hilang.
Hari itu kami memutuskan untuk santai saja, tidak terlalu banyak aktivitas. Setelah sarapan di hotel, kami jalan kaki menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar Seminyak. Banyak kafe lucu dan toko oleh-oleh kecil yang menjual kerajinan tangan, sabun alami, sampai baju-baju etnik.
Saya dan kakak membeli beberapa gantungan kunci dan sabun aromaterapi buat teman-teman di rumah. Siangnya, kami menghabiskan waktu di pantai Double Six. Tidak seramai Kuta, tapi tetap indah. Kami menyewa bean bag warna-warni dan duduk di tepi pantai sambil menikmati jus semangka dingin.
Ada musisi lokal yang menyanyi akustik di kafe sebelah, suara gitar dan angin laut jadi latar belakang yang sempurna. Saya sempat berpikir, rasanya hidup seperti melambat di Bali. Segalanya terasa lebih tenang, tidak tergesa-gesa.
Sore hari, kami mencoba spa tradisional Bali. Ini adalah ide Ibu, dan awalnya Ayah agak malas, tapi akhirnya dia malah yang paling betah. Dengan aroma minyak esensial, musik lembut, dan pijatan yang menenangkan, tubuh kami semua terasa lebih segar. Rasanya seperti mengisi ulang energi setelah beberapa hari padat jalan-jalan.
Malamnya, kami makan malam terakhir di sebuah restoran pinggir sawah di Umalas.
Pemandangannya cantik, meski malam hari. Lampu-lampu kecil digantung di pepohonan, membuat suasananya hangat dan intim. Kami memesan menu khas Bali: bebek goreng, lawar, dan sambal matah yang pedasnya bikin ketagihan.
Di tengah makan malam itu, tanpa direncanakan, kami saling bercerita kenangan favorit selama di Bali. Ternyata setiap orang punya momen tersendiri Ayah paling suka saat di danau, Ibu suka belanja di pasar seni, dan saya? Saya paling suka saat duduk diam di Pura Ulun Danu sambil melihat kabut menari di atas air.
Keesokan paginya, saat koper sudah terisi penuh oleh pakaian dan oleh-oleh, perasaan campur aduk mulai terasa. Senang karena perjalanan ini berjalan lancar dan menyenangkan, tapi juga sedih karena harus kembali ke rutinitas. Di mobil menuju bandara, suasana agak sepi. Bukan karena bosan, tapi karena semua sedang menikmati detik-detik terakhir berada di pulau ini.
Pesawat kami lepas landas siang hari. Dari jendela, saya melihat garis pantai Bali
yang perlahan menjauh. Saya menarik napas panjang dan tersenyum. Banyak hal yang saya pelajari dari liburan ini. Bahwa keluarga adalah rumah, ke mana pun kami pergi. Bahwa berhenti sejenak dari kesibukan itu penting. Dan bahwa Bali, dengan segala ketenangan dan pesonanya, akan selalu punya tempat khusus di hati saya.
Saya tahu, suatu hari nanti, saya ingin kembali lagi.
Setelah kembali ke Jakarta, rutinitas langsung menyambut kami—kemacetan jalan, bunyi alarm pagi, dan tumpukan pekerjaan yang sempat tertunda. Tapi entah kenapa, hati saya tetap terasa ringan. Setiap kali melihat wallpaper ponsel yang saya ganti menjadi foto matahari terbenam di Pantai Kuta, saya tersenyum sendiri. Rasanya seperti ada semangat baru yang dibawa pulang dari Bali.
Beberapa hari setelah liburan, saya masih sering menceritakan pengalaman di sana kepada teman-teman kantor. Mereka tertawa waktu saya cerita soal monyet yang naik ke pundak adik saya, atau tentang bagaimana Ayah akhirnya ketagihan spa. Bahkan salah satu teman saya sampai bilang, “Kayaknya kamu pulang dari Bali auranya beda ya. Lebih kalem.” Saya cuma senyum, tapi dalam hati, saya mengakui itu benar. Ada sesuatu dari suasana Bali kesederhanaannya, ketenangannya, dan budayanya yang membuat saya melihat hidup dengan cara yang sedikit berbeda.
Satu hal yang paling membekas buat saya adalah nilai-nilai keseimbangan dan rasa syukur yang begitu kuat di kehidupan masyarakat Bali. Hampir setiap rumah di sana punya tempat sembahyang, dan setiap pagi saya melihat orang-orang meletakkan canang sari dengan penuh ketulusan. Mereka melakukan semua itu bukan karena ingin dilihat, tapi karena memang sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Hal kecil seperti itu mengingatkan saya untuk lebih sering meluangkan waktu berhenti sejenak, menarik napas, dan menghargai hal- hal yang mungkin selama ini saya anggap sepele.
Setelah liburan itu juga, saya jadi lebih dekat dengan keluarga. Kami jadi lebih sering makan malam bersama, lebih sering ngobrol, bahkan mulai merencanakan liburan berikutnya. Bukan karena ingin ke tempat yang lebih mewah atau lebih jauh, tapi karena kami menyadari betapa berharganya waktu yang bisa kami habiskan bersama tanpa gangguan.
Saya pun mulai menulis pengalaman ini di buku catatan pribadi. Mungkin suatu hari
nanti, saya akan membacanya lagi mengingat perasaan bahagia dan tenang yang saya alami di sana. Mungkin suatu hari, saya akan kembali ke Bali, ke tempat-tempat yang sama, atau mungkin menjelajahi sisi lain dari pulau itu yang belum sempat saya kunjungi.
Tapi yang pasti, saya tidak akan pernah lupa, bahwa liburan itu bukan sekadar pergi dari tempat biasa, tapi tentang kembali menemukan bagian dari diri sendiri. Bali, dengan segala keindahannya, telah meninggalkan jejak yang dalam di hati saya. Jejak yang membuat saya ingin menjadi pribadi yang lebih sederhana, lebih tenang, dan lebih menghargai kebersamaan.
Beberapa minggu setelah pulang, saya masih menyimpan beberapa kebiasaan kecil yang saya pelajari selama di Bali. Setiap pagi sebelum mulai bekerja, saya menyempatkan diri untuk duduk sebentar di balkon rumah, sekadar menikmati udara pagi dan membiarkan pikiran saya tenang sebelum menghadapi kesibukan. Rasanya seperti versi sederhana dari momen-momen duduk di tepi sawah Ubud atau pinggir danau Bedugul. Ketenangan itu ternyata bisa dibawa pulang, asal saya mau meluangkan waktu untuk menciptakannya.
Kadang saat sedang sendiri, saya memutar ulang video-video pendek yang kami
rekam selama di Bali. Suara tawa kami, ombak, dan senandung musisi jalanan masih terasa dekat. Momen-momen itu sederhana, tapi terasa hangat dan penuh makna. Dari semua perjalanan yang pernah saya lakukan, liburan ke Bali bersama keluarga adalah salah satu yang paling berkesan. Bukan hanya karena keindahan tempatnya, tetapi karena Bali mengajarkan saya cara menikmati hidup secara perlahan, tanpa terburu-buru, dan dengan hati yang penuh rasa syukur.***
Naufal Rafi Aqil Putra
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB