Bogordaily.net – Profil dan rekam jejak Denny Mulyadi Sekda Kota Bogor pilihan Walikota Dedie Rachim jadi sorotan
Nama itu makin sering disebut-sebut. Bukan oleh lembaga survei, bukan pula oleh mesin pencari, tapi oleh para pejabat dan wartawan Kota Hujan. Denny Mulyadi.
Birokrat kawakan yang diam-diam membangun sistem, pelan-pelan merakit reputasi, dan sekarang—tanpa banyak slogan—terpilih jadi Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor 2025.
Orang ini memang bukan tipe pencari panggung. Tapi siapa pun yang pernah bersentuhan dengan urusan anggaran, pendapatan, atau pengadaan di Kota Bogor selama dua dekade terakhir, pasti pernah mendengar namanya.
Atau, lebih tepatnya: pernah menikmati hasil inovasinya.
Karier Denny dimulai tahun 1997. Ia hanya staf ekonomi di Sekretariat Daerah waktu itu.
Tapi ia tahu betul: jika ingin dipercaya, maka kepercayaan harus dirawat sejak dari pekerjaan paling kecil.
Itulah yang ia lakukan. Sampai akhirnya, ia menjadi sekretaris pribadi dua wali kota berturut-turut: Iswara Natagara (1998–2003), lalu Diani Budiarto (2004–2009).
Menjadi sekretaris wali kota itu bukan jabatan strategis, tapi posisi sangat strategis—kalau orang tahu caranya.
Denny tahu. Ia menyimak, mencatat, dan belajar tentang cara kerja sebuah pemerintahan dari ring satu. Bukan belajar teori. Tapi praktik.
Maka begitu ia dilepas ke jalur struktural, ia sudah sangat siap. Ia pernah mengepalai subbidang pengendalian di Dinas Pendapatan.
Lalu kepala bagian program. Lalu, naik lagi menjadi Kepala Dinas Pendapatan tahun 2012. Lalu jadi Kepala BKAD (Badan Keuangan dan Aset Daerah).
Salah satu jabatan terpenting di birokrasi manapun. Tempat uang dikelola. Tempat akuntabilitas diuji.
Tapi Denny bukan sekadar “kepala dinas.” Ia pelopor. Perintis. Beberapa orang menyebutnya teknokrat.
Tapi dia tidak suka label itu. Ia lebih suka bekerja diam-diam. Salah satu gagasannya: LPSE, sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik.
Jauh sebelum kata digitalisasi menjadi keren di kalangan birokrasi, Denny sudah mendorong Bogor ke arah itu.
Lalu SIPDEH. Sistem pelaporan dan pembayaran pajak daerah yang sepenuhnya online.
Mengurangi tatap muka, mengurangi godaan amplop. Di zaman ketika banyak orang baru berpikir soal “transparansi,” Denny sudah menanamnya menjadi sistem.
Tahun 2014, ia memasang tapping box. Benda kecil, tapi berdampak besar. Alat ini dipasang di kasir restoran dan hotel.
Setiap transaksi tercatat otomatis. Pemkot tahu berapa omzetnya. Wajib pajak tidak bisa lagi “main mata.” Pendapatan asli daerah? Meningkat tajam.
Gedung pun ia bangun. Enam lantai. Megah tapi efisien. Kini menjadi kantor Badan Pendapatan Daerah.
Salah satu simbol bahwa birokrasi bisa terlihat modern, kalau dipimpin oleh orang yang tahu apa yang harus dibangun—bukan sekadar membangun.
Di luar kantor, Denny juga aktif. Ia Ketua PDBI (Persatuan Drum Band Indonesia) Kota Bogor.
Mungkin karena ia percaya: generasi muda harus punya ruang berekspresi, bukan hanya ruangan tempat menunggu bantuan pemerintah.
Kini, di usia birokrasi yang matang, Denny Mulyadi terpilih jadi Sekda Kota Bogor tahun 2025 setelah kosong.
Jabatan itu bukan soal prestise. Tapi soal kemampuan menggerakkan seluruh mesin birokrasi kota.
Dan Denny sudah membuktikan, bahwa ia tahu cara memperbaiki mesin itu—tanpa perlu mematikan suara klakson politik.
Ia birokrat yang tumbuh bersama zaman. Tapi tetap menjaga irama seperti drum band yang ia pimpin: disiplin, presisi, tapi tetap energik.
Profil Sekda Kota Bogor Denny Mulyadi dan rekam jejaknya memang panjang.
Bagaimana setelah jadi Sekda? Waktulah yang akan bicara. Tapi kita berharap: ia jangan sekadar sekda. Ia harus jadi harapan yang bisa membantu dan mewujudkan visi walikota membangun Kota Bogor.***