Bogordaily.net – Suami Berlin Lee. Itu bukan nama yang mudah dilupakan setelah Anda mendengar kisah Berlin. Seperti secangkir kopi pahit yang diseduh tanpa gula.
Kisah Berlin Lee, perempuan muda berusia 28 tahun, viral bukan karena sensasi. Tapi karena luka yang tak semua orang berani ceritakan.
Awalnya semua mengira ini hanya cerita klise rumah tangga kelas atas yang tak bahagia. Tapi setelah menyimak podcast dr. Richard Lee—ya, itu podcast yang makin hari makin menyerupai ruang pengakuan dosa zaman modern—saya mulai paham: Berlin bukan sedang cari panggung. Ia sedang cari keadilan.
Berlin Lee adalah seorang ibu. Ia menikah tahun 2020. Dikaruniai anak tahun 2021. Lalu hidupnya seperti masuk mesin cuci. Putar-putar. Diperas. Dibilas. Lalu ditinggal tergantung.
Ia pernah menikah dengan cucu konglomerat. Jangan bayangkan pesta mewah atau hidup glamor.
Yang ada justru caci maki. Berlin mengaku dipandang rendah oleh ibu mertuanya. Dicap “kampungan”. Dituduh tidak terhormat. Bukan karena ia berbuat aib. Tapi karena ia dianggap tidak selevel.
Suami Berlin Lee—ya, kita sebut lagi sosok ini—ternyata membawa virus HIV Aids. Dari mana? Dari masa lalunya. Dari seorang mantan.
Yang disebut Berlin adalah seorang artis dan penyanyi. Tak disebut nama. Tapi cukup untuk membuat netizen Indonesia bermain tebak-tebakan.
Dan seperti sudah jatuh tertimpa batako: suaminya selingkuh. Berlin hancur. Lalu depresi. Itulah yang dipakai oleh keluarga sang suami untuk rebut hak asuh anak. Bayangkan: selama hamil, Berlin mengaku tidak dibiayai.
Tidak suaminya, tidak pula keluarga konglomerat itu. Tapi kini, setelah anak lahir, ia tak bisa bertemu sang buah hati.
Berlin dituduh tak stabil karena depresi. Padahal, siapa yang tidak akan depresi jika hidup dalam tekanan dan penghinaan?
Suami Berlin Lee seolah jadi kata kunci yang menjelaskan semuanya. Sosok tak bernama, tapi hadir dalam setiap luka Berlin.
Mungkin ia juga korban. Mungkin tidak. Tapi yang jelas, dari mulut Berlin, ada satu suara yang tak boleh diabaikan: jeritan ibu yang ingin bertemu anaknya.
Berlin tak butuh simpati. Ia butuh haknya. Kita tak tahu pasti kebenaran versi siapa yang dominan. Tapi kita tahu, suara kecil kadang lebih jujur dari toa-toa besar.
Saya percaya, publik Indonesia tahu membedakan antara drama dan kenyataan. Dan kisah Berlin ini bukan skenario sinetron. Ini nyata. Berlatar nama besar. Tapi menyisakan luka besar juga.
Entah siapa nanti yang akan buka suara berikutnya. Tapi satu hal pasti: Berlin Lee sudah lebih dulu memecahkan keheningan itu.***