Bogordaily.net – Wayang golek di Kota Bogor bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah napas yang tertahan delapan tahun lamanya.
Lalu malam itu, Jumat 27 Juni 2025, ribuan warga menyaksikannya mengalir lagi dari mulut para dalang—di atas panggung, di bawah langit terbuka, di jantung alun-alun kota.
Saya pernah menyaksikan wayang golek digelar di tengah kebun teh, di atas truk, bahkan di pelataran pabrik.
Tapi kali ini, wayang golek di Kota Bogor tampil seperti raja yang kembali dari pengasingan.
Selama delapan tahun ia absen. Sejak 2017, tak lagi terlihat sosok Cepot, Dawala, atau Semar bicara dalam bahasa rakyat. Baru malam ini, mereka kembali hidup—dengan gaya mereka yang jenaka tapi tajam.
Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, mengakui kerinduan warganya.
“Alhamdulillah, delapan tahun kita tidak mengadakan wayang golek. Tahun ini bisa terlaksana lagi, dan luar biasa, alun-alun penuh,” katanya.
Duduk di tikar, membawa anak, bahkan ada yang berdiri di pinggir trotoar hanya untuk bisa mendengar suara dalang.
Tak ada bintang tamu dari Jakarta. Tak perlu. Sebab bintang malam itu adalah budaya itu sendiri: wayang golek di Kota Bogor yang sudah lama ditunggu.
Pagelaran ini bukan sekadar hiburan. Ia membawa pesan. Tema HJB ke-543: Raksa Jaga Dhita—menjaga, merawat, dan melestarikan.
Dalang menyelipkan isu lingkungan: soal buang sampah sembarangan, soal ketamakan manusia yang merusak hutan.
Cerita itu sederhana, tapi mencubit. Karena yang bicara bukan pejabat, tapi tokoh wayang yang didengarkan.
Dedie tahu betul kekuatan ini. Ia bilang, jika anggaran memungkinkan dan dukungan masyarakat mengalir, pagelaran semacam ini akan dibuat rutin tiap tahun.
“Wayang golek harus jadi acara tahunan,” katanya. Ini bukan janji politik. Ini janji seorang anak daerah kepada budayanya sendiri.
Tidak heran bila malam itu lebih banyak tawa daripada jepretan kamera. Dalang masih bisa membuat anak-anak tertawa dengan cerita lucu.
Tapi juga membuat orang tua diam sejenak, merenung, saat tokoh wayang menyinggung soal ketimpangan, kerusakan, dan kebodohan kita sendiri.
Di akhir acara, Dedie mengingatkan: “Menonton budaya jangan sampai lupa nilai budayanya. Orang Bogor suka keindahan dan keteraturan. Mari kita jaga sama-sama.”
Itu cara wali kota memberi wejangan tanpa terasa menggurui. Itu pula cara terbaik merawat warisan budaya: bukan dengan membangunnya kembali, tapi dengan membiarkannya berbicara sendiri lewat lakon dan gamelan.
Wayang golek di Kota Bogor malam itu bukan nostalgia. Ia adalah pengingat. Bahwa kita pernah punya identitas. Dan malam itu, kita menontonnya kembali.***