Bogordaily.net – Arti Rojali dan Rohana kini menjadi pembicaraan hangat di media sosial.
Dua istilah ini bukan berasal dari kitab klasik, bukan pula dari buku manajemen ritel, tapi dari lapangan—lebih tepatnya, dari lorong-lorong mal yang penuh pengunjung tapi minim transaksi.
Istilah itu pertama kerap dilontarkan di pusat perbelanjaan. Ada yang menyebut pengunjung yang “rame doang tapi nggak belanja” sebagai Rojali—singkatan dari rombongan jarang beli.
Lalu muncul “pasangannya”: Rohana, yang konon berarti rombongan hanya nanya-nanya. Lucu. Tapi dalam kelucuannya, ada realitas sosial yang tak bisa ditertawakan begitu saja.
Di pusat perbelanjaan, ada sekelompok anak muda datang bersama-sama. Duduk di food court, pakai satu minuman beramai-ramai.
Satu orang ke konter sepatu, mencoba berbagai model. Lalu pergi. Tanpa beli. Tapi mereka sempat selfie di depan toko. Itu tadi: Arti Rojali dan Rohana.
Istilah ini viral. Muncul di meme, jadi bahan video TikTok, bahkan sampai dijadikan stiker di WhatsApp grup ibu-ibu.
Dan ya, seperti biasa, Indonesia memang pintar dalam membuat istilah lucu dari fenomena sehari-hari. Yang membuatnya menarik, karena ini menyentuh urat nadi: kondisi ekonomi dan gaya hidup masyarakat urban hari ini.
Rojali, jelas. Rombongan jarang beli. Sudah menjadi “penghuni tetap” mal setiap akhir pekan.
Ciri-cirinya: datang bergerombol, lihat-lihat barang, numpang AC, pakai Wi-Fi, kadang tester parfum, tapi dompet tak pernah keluar.
Bahkan konten TikTok mereka kadang lebih bagus daripada visual iklan brand-brand besar di mal itu.
Rohana? Itu lebih bervariasi. Ada yang bilang singkatan dari rombongan hanya nanya-nanya.
Ada juga yang memplesetkannya menjadi rombongan hanya narsis atau nongkrong aja. Tidak penting mana yang benar. Yang penting: fenomenanya nyata. Dan kian hari makin terasa.
Mengapa ini menarik? Karena arti Rojali dan Rohana bukan cuma soal pelesetan. Tapi soal bagaimana orang hari ini berbelanja (atau tidak berbelanja).
Mal bukan lagi tempat transaksi. Tapi ruang publik baru. Tempat “healing” murah meriah. Pendingin ruangan, colokan gratis, dan konten Instagramable.
Banyak pelaku usaha yang mulai frustrasi. Pengunjung ramai, omzet sepi. Maka, mulailah muncul strategi-strategi: photo booth berbayar, diskon hanya untuk pembeli, kupon lewat aplikasi.
Tapi ya itu tadi: Rojali dan Rohana tetap datang. Mereka bukan cari barang. Mereka cari pengalaman.
Lucu, ya. Tapi di balik kelucuan itu ada sinyal yang sangat serius: daya beli yang lemah, harga-harga naik, dan transformasi fungsi ruang publik.
Mungkin suatu saat, mal akan lebih mirip museum. Tempat orang datang untuk melihat, bukan membeli.
Dan istilah seperti Rojali dan Rohana akan tetap hidup. Sebagai catatan jenaka dari zaman yang sedang kita jalani.
Sebagai pelajaran bahwa di tengah tekanan ekonomi, kreativitas masyarakat kita tetap tak terbendung.
Jadi kalau Anda ke mal dan melihat sekelompok anak muda tertawa-tawa sambil bikin konten, jangan langsung kesal.
Bisa jadi, mereka adalah “Rojali dan Rohana”. Tapi mereka juga adalah gambaran zaman ini. Sebuah era yang butuh lebih dari sekadar barang diskon: era yang butuh pengertian.***