Bogordaily.net – Baru-baru ini, Rabu (2/6/2025), Walikota Bogor Dedie A Rachim mengatakan ada 6.724 kursi dari 23 sekolah yang ada telah diterima di sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Kota Bogor. Kuota SMP Negeri di Kota Bogor tahun ini, jumlah peminat sebesar 13.726 siswa, sehingga terdapat 7.002 siswa tertolak. Demikian Dedie dalam keterangannya.
Dedie mengatakan, 7.002 siswa yang gagal masuk SMP negeri bisa tetap melanjutkan ke jenjang SMP swasta yang tersebar di Kota Bogor. Saat ini ada 73 SMP swasta yang menampung lebih dari 7.255 siswa baru.
Mengutip dari situs resmi Sistem Penerimaan Siswa Baru (SPMB) https://spmb.kotabogor.go.id, diketahui secara detil Jalur Afirmasi Pendaftar/Kuota yakni 2388/1657, Jalur Mutasi Pendaftar/Kuota 72/69, Jalur Prestasi Pendaftar/Kuota 2464/1753, Jalur Domisili Pendaftar/Kuota 7366/2746.
Artinya, ada 7.002 siswa yang terluka, yang kecewa, karena gagal seleksi masuk SMP negeri di Kota Bogor setelah sebelumnya ikut memperebutkan ribuan kursi. Bahkan, anak-anak cerdas pun mungkin tersingkir. Bukan karena tidak layak, tetapi karena kalah jumlah.
Idealnya, kepala daerah tak hanya sekedar membuat seruan yang tak tertampung untuk melanjutkan pendidikan di sekolah swasta. Karena, tanpa diserukan pun para orangtua murid sudah pasti akan memilih sekolah swasta.
Sejatinya, yang diperlukan adalah jaminan pendidikan setiap warga negara yang tak mampu bisa sekolah hingga tuntas tanpa meninggalkan tunggakan di SMP swasta. Sebab, sudah jadi budaya di banyak sekolah swasta, bila tak menunaikan SPP hingga saat kelulusan, ijazah akan ditahan. Cerita itu terjadi di banyak sekolah swasta.
Jadi, Pemkot Bogor perlu mencadangkan anggaran untuk penebusan ijazah siswa tak mampu, warga Kota Bogor dengan anggaran yang diperkirakan lebih besar dari tahun sebelumnya. Sebagaimana rujukan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 50 Tahun 2023, bantuan maksimal untuk SMP dan MTS adalah Rp2 juta.
Menimbang, putusan MK yang telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) agar Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, juga tak kunjung ada kepastian sikap dari Pemkot Bogor.
Berikut ini kutipan Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat,” kata Ketua MK Suhartoyo.
Bicara pencerdasan warga negara, begitu juga bicara Bogor Cerdas tentunya jangan sekedar Bahasa manis diatas kertas. Butuh tindaklanjut dan pembuktian. Siswa tak mampu butuh jaminan, tak lagi ada kisah pilu ijazah ditahan di sekolah swasta sehingga menyulitkan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
Selama tak ada keberanian melakukan investasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur pendidikan, maka kisah pilu warga tak mampu akan jadi cerita berulang setiap tahunnya.
Sistem seleksi boleh diganti berkali-kali, tapi selama kursinya tetap terbatas, akan selalu ada yang tersingkir secara tidak adil. Akibatnya, bukan hanya siswa yang kecewa, tapi juga muncul ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan itu sendiri.
Di negeri ini sesungguhnya tidak sedang kekurangan anak-anak pintar. Tapi, banyak siswa dari latarbelakang ekonomi tak mampu tak tertampung hanya kekurangan ruang sekolah negeri terbatas. Juga, sistem dan kebijakan yang belum berpihak pada warga miskin, dan hanya terkesan manis di janji atau slogan tapi buruk dalam realisasi. Karena pendidikan bukan soal siapa yang lolos seleksi, tapi tentang siapa yang diberi kesempatan. (*)
Penulis : Aktivis 98, Eko Okta