Bogordaily.net – Penyebab perang Thailand dan Kamboja kembali menyalakan bara yang selama ini hanya tertutup abu tipis.
Kamis pagi (24/7), dentuman senjata terdengar di kawasan perbatasan Provinsi Oddar Meanchey, Kamboja—tepat di sekitar kuil kuno Ta Moan Thom, wilayah yang sudah lama disengketakan.
Dua warga sipil dilaporkan tewas. Dua tentara terluka. Puluhan ribu warga Thailand dievakuasi.
Pecah sudah ketegangan yang selama ini seperti disimpan dalam lemari tua: berdebu, usang, tapi tetap menyimpan bara.
Isu ranjau darat menjadi pemicu terakhir. Seorang tentara Thailand kehilangan kakinya pada Rabu (23/7). Negeri Gajah Putih pun menuding Kamboja sebagai pihak yang menanam ranjau.
Padahal, menurut pihak Phnom Penh, ranjau itu sisa-sisa masa lalu—sisa perang saudara mereka sendiri. Tapi dalam konflik, tak ada istilah ‘masa lalu’. Yang ada hanyalah siapa menuduh lebih dulu.
Thailand langsung bertindak. Jet tempur F-16 dikerahkan. Artileri berat dikeluarkan. Bahkan, hubungan diplomatik pun diturunkan levelnya.
Penyebab perang Thailand dan Kamboja pun melebar: dari sebuah ranjau menjadi perang narasi, dari luka kaki menjadi retak diplomasi.
Kamboja tak tinggal diam. Mereka menuduh Thailand lebih dulu menembak. Mereka bilang hanya membela diri. Dan seperti biasa, media sosial menjadi medan perang berikutnya.
Mantan PM Hun Sen turut bicara. Ia menyebut bahwa pasukan Thailand telah menembaki dua wilayah di perbatasan mereka: Oddar Meanchey dan Preah Vihear.
Maka jadilah perang ini bukan hanya tentang wilayah. Tapi tentang ego. Tentang sejarah. Tentang siapa yang lebih dahulu merasa benar.
Penyebab perang Thailand dan Kamboja bukan barang baru. Sudah lebih dari satu abad kedua negara ini bersitegang soal perbatasan sepanjang 817 km.
Tapi yang membuatnya terus menyala adalah simbol. Kuil kuno. Jalur patroli. Peta lama. Dan nasionalisme yang gampang terbakar.
Dulu, mereka sempat berdamai. Tapi setiap kali ada pergantian kekuasaan, titik-titik rawan itu kembali disentuh.
Entah disengaja, entah sebagai pengalih isu. Lalu rakyat kecil jadi korban. Desa-desa dibakar. Anak-anak dievakuasi. Impor-ekspor diblokir. Bahkan buah dan sayur tak luput dari dampaknya.
Lalu apa ujungnya? Mungkin tak ada. Seperti banyak perang lainnya, akhir bukan ditentukan oleh siapa menang, tapi oleh siapa yang lebih dulu lelah.
Dan selama rasa ‘terluka’ itu belum pulih, jangan harap bara ini bisa benar-benar padam.***