Saturday, 26 July 2025
HomeOpiniStrawberry Parent: Orangtua Rapuh yang Merusak Masa Depan Pendidikan

Strawberry Parent: Orangtua Rapuh yang Merusak Masa Depan Pendidikan

Oleh: Irwan Maulana

Akhir-akhir ini dunia pendidikan kembali diwarnai oleh fenomena orang tua yang terlalu ikut campur dalam proses pendidikan anak. Pola asuh yang tampaknya penuh kasih sayang ini, pada kenyataannya justru dapat merusak pendidikan anak. Tipe orang tua seperti ini dikenal dengan sebutan strawberry parent.

Istilah strawberry parent diambil dari analogi buah stroberi yang tampak indah dan menarik di luar, tetapi lembek dan mudah hancur ketika ditekan. Begitu pula dengan orang tua tipe ini, yang cenderung rapuh secara emosional dan tidak memahami esensi pendidikan anak.

Mereka sering kali bersikap terlalu protektif, tidak membiarkan anak menghadapi kesulitan, bahkan cenderung membela anak secara berlebihan meskipun anak telah berbuat salah.

Pola asuh seperti ini pada dasarnya membunuh daya juang, kreativitas, dan ketahanan mental anak. Padahal, dalam kehidupan nyata, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademis, tetapi juga oleh seberapa tangguh ia dalam menghadapi masalah.

Anak-anak yang terbiasa dimanjakan dan dilindungi dari kesulitan akan tumbuh menjadi pribadi yang rapuh, mudah menyerah, dan tidak siap menghadapi tantangan dunia nyata.

Fenomena strawberry parent ditandai dengan beberapa ciri khas. Orang tua tipe ini sangat protektif terhadap anaknya dan berusaha sebisa mungkin agar anak tidak menghadapi kesulitan.

Mereka juga sering membela anak secara membabi buta, seperti langsung memprotes guru ketika anak mendapat hukuman tanpa terlebih dahulu mencari tahu duduk perkaranya. Tidak jarang pula mereka menuntut perlakuan istimewa dari sekolah demi anaknya.

Fenomena ini bahkan sudah banyak ditemukan di sekolah. Di sebuah sekolah dasar, misalnya, seorang guru meminta muridnya menggambar taman.

Alih-alih membiarkan anak berproses, orang tua justru ikut mengerjakan tugas tersebut. Padahal, guru ingin menilai kreativitas anak, bukan orang tuanya.

Ada pula orang tua yang membuat grup WhatsApp untuk mencampuri kebijakan sekolah, pesantren, bahkan perguruan tinggi. Pola intervensi semacam ini jelas berbahaya karena mengganggu sistem pendidikan yang telah dirancang secara profesional.

Dampaknya pun serius. Bagi anak, pola asuh ini menjadikannya manja, cengeng, kurang mandiri, tidak tahan terhadap tekanan, dan cenderung menghindari tanggung jawab.

Sementara itu, bagi lembaga pendidikan, fenomena ini menyebabkan wibawa guru dan ustaz menurun karena sering diprotes ketika mendisiplinkan anak.

Sekolah atau pesantren bahkan terpaksa mengalah demi memenuhi desakan orang tua. Budaya disiplin perlahan terkikis, sehingga pendidikan karakter menjadi sulit dibangun.

Mengapa fenomena ini terjadi? Salah satunya disebabkan kesalahpahaman orang tua dalam memahami konsep parenting.

Banyak orang tua yang menganggap anak harus selalu terlindungi dari kesulitan, tanpa menyadari nilai edukatif dari sebuah tantangan.

Selain itu, ambisi sosial juga turut memengaruhi; orang tua merasa harga diri mereka tercermin dari keberhasilan anak, sehingga menuntut kesempurnaan.

Budaya serba instan pun memperparah keadaan, karena orang tua ingin anaknya sukses secepat mungkin tanpa melalui proses belajar yang wajar.

Padahal, peran orang tua dalam pendidikan anak seharusnya lebih kepada mitra sekolah, bukan pengendali sekolah. Orang tua perlu memahami batasan antara peran mereka dan peran guru.

Anak perlu diberi kesempatan merasakan kegagalan karena dari kegagalan itulah mental mereka akan terasah menjadi tangguh. Kasih sayang orang tua memang penting, tetapi harus diimbangi dengan ketegasan dan pengajaran tentang tanggung jawab.

Masa depan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum atau guru, tetapi juga oleh pola asuh orang tua di rumah. Strawberry parent mungkin tampak penuh cinta, tetapi kenyataannya justru melemahkan karakter anak.

Sudah saatnya orang tua berhenti menjadi strawberry parent dan mulai mendidik anak dengan pola asuh yang seimbang—penuh kasih sayang, tetapi juga tegas—agar anak tumbuh menjadi generasi yang tangguh, cerdas, dan berkarakter kuat.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here