Tuesday, 19 August 2025
HomeOpiniEstetika Anggaran dan Nasib Guru: Menanggapi Pernyataan Menteri Keuangan

Estetika Anggaran dan Nasib Guru: Menanggapi Pernyataan Menteri Keuangan

Apakah gaji guru harus ditanggung negara?

Pernyataan itu keluar dari seorang Menteri Keuangan. Dan bagi saya, kalimat itu adalah tamparan bagi logika nurani bangsa ini.

Guru, yang setiap hari berhadapan dengan generasi penerus, justru dipertanyakan keberadaannya. Menanamkan ilmu dan akhlak, justru diposisikan sebagai angka dalam tabel APBN. Mereka mencetak menteri, presiden, pengusaha, hingga teknokrat, justru dianggap beban negara karena tidak fiskal!

Sebagai seorang yang banyak diberikan ilmu oleh seorang guru, saya merasa penting untuk menyoroti persoalan ini.

Mengapa? Karena profesi mereka bukan sekadar profesi administratif, melainkan pilar utama dalam pembangunan bangsa. Mereka adalah aktor strategis yang membentuk generasi penerus, menanamkan nilai, dan membangun peradaban. Namun ironisnya, penghargaan terhadap mereka justru masih jauh dari kata layak.

Guru Bukan Pelengkap

Mari kita buka mata! tanpa guru, tidak ada ruang kelas. Tanpa mereka, tidak ada pengetahuan. Tanpa mereka, negeri ini hanyalah sekumpulan beton dan aspal tanpa arah. Mereka bukan pelengkap, guru adalah fondasi peradaban!

Tetapi lihatlah realitas di lapangan. Berapa banyak guru honorer yang masih digaji Rp300 ribu? Berapa banyak yang harus mencari kerja sampingan demi menyambung hidup, sementara mereka diminta melahirkan generasi emas? Bukankah ini bentuk pengkhianatan negara terhadap amanat konstitusi?

Kita sering mendengar jargon bahwa guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun, sayangnya, jargon ini sering dimaknai secara keliru. Mereka memang berjasa besar, tetapi mengapa jasanya tidak pernah dibalas dengan penghargaan yang setimpal? Jangan sampai frasa itu justru menjadi legitimasi untuk terus membiarkan mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan.

Apresiasi terhadap guru tidak boleh berhenti pada seremonial Hari Guru, ucapan manis di panggung, atau baliho penuh kata mutiara. Apresiasi sejati adalah memastikan mereka memperoleh gaji yang layak, mendapatkan kepastian status kepegawaian, serta memperoleh jaminan sosial yang memadai.

Jika seorang Menteri Keuangan masih mempertanyakan apakah gaji mereka harus ditanggung negara, maka sesungguhnya kita sedang mengalami krisis cara pandang terhadap pendidikan. Pendidikan tidak boleh dipandang sebagai beban anggaran, melainkan sebagai investasi jangka panjang.

Jasa Guru

Mereka seakan hanya dipandang sebagai angka dalam laporan keuangan, bukan sebagai manusia yang mengabdi untuk peradaban. Padahal, di balik setiap kemajuan bangsa, selalu ada jasa guru yang bekerja dalam senyap di ruang-ruang kelas.

Dalam UUD 1945, negara sudah dengan tegas mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, pendidikan adalah kewajiban konstitusional, bukan pilihan. Dan bagaimana mungkin misi mencerdaskan bangsa bisa tercapai jika guru sebagai ujung tombak pendidikan tidak dijamin kesejahteraannya?

Bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki gedung-gedung megah, jalan tol berkilau, atau infrastruktur canggih semata. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia unggul, berkarakter, dan berdaya saing tinggi. Dan semua itu berawal dari ruang kelas dari guru yang mendidik dengan hati dan penuh pengabdian.

Kritik saya sederhana, jangan pernah menempatkan guru dalam dilema “ditanggung atau tidak ditanggung negara”. Karena sesungguhnya, keberlangsungan bangsa ini ada di tangan mereka. Mereka bukanlah beban, melainkan investasi terbesar yang dimiliki Indonesia.

Mari kita tegaskan sekali lagi! Guru adalah aset bangsa, bukan sekadar angka dalam neraca keuangan negara!

(Abdullah Nuruz Zaini)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here