Bogordaily.net – Dalam ekosistem pendidikan yang dinamis, sistem evaluasi memegang peran strategis. Tes Kemampuan Akademik (TKA) hadir bukan semata-mata sebagai alat ukur kognitif, tetapi sebagai strategi sistemik dalam mengoreksi ketimpangan evaluasi antarsatuan pendidikan. Berdasarkan data Kemendikbudristek, lebih dari 65% satuan pendidikan masih menggunakan standar evaluasi internal yang berbeda-beda, yang menyulitkan proses seleksi masuk pendidikan lanjutan secara adil. Hal ini diperkuat oleh temuan bahwa nilai rapor di sekolah-sekolah berbeda tingkatannya, bahkan untuk mata pelajaran yang sama.
Dalam hal ini, TKA menjadi alat bantu penting yang terstandar secara nasional, untuk mengukur capaian akademik siswa secara objektif dan lintas sekolah. Hal ini secara langsung menjawab tantangan seleksi yang selama ini hanya bergantung pada nilai rapor, yang tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif antar sekolah. TKA bukan sekadar alat ukur, melainkan bagian dari upaya membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar. Dengan instrumen tes yang dikembangkan secara nasional, TKA memberikan gambaran utuh tentang kemampuan akademik siswa secara seimbang dan setara.
Secara yuridis, pelaksanaan TKA memiliki dasar hukum kuat dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Secara filosofis dan sosiologis, TKA berangkat dari kebutuhan untuk membangun keadilan dan akuntabilitas dalam sistem evaluasi, sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada input, tetapi juga kualitas luaran.
Lebih dari itu, TKA mengemban peran sebagai pengendali mutu yang mendorong refleksi dan peningkatan kualitas pendidikan. Hasil TKA dapat menjadi indikator integritas sekolah dalam pelaksanaan evaluasi internal. Jika ditemukan kesenjangan besar antara hasil ujian sekolah dan capaian TKA, maka sekolah dapat menjadikan hal tersebut sebagai bahan introspeksi. Dari sinilah lahir perbaikan menyeluruh berbasis data.
Kolaborasi Lintas Sektor: Memastikan Kualitas Pendidikan Merata
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga daerah, sekolah, guru, serta masyarakat luas. Kolaborasi dalam pelaksanaan TKA menjadi cerminan paradigma ini. Pada jenjang SD dan SMP, penyusunan soal TKA dilakukan bersama antara pusat dan daerah. Kolaborasi ini tidak hanya teknis, melainkan strategi untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menyelenggarakan evaluasi bermutu.
Hingga tahun 2024, sebanyak 28 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota telah menyatakan kesiapan berkolaborasi dalam penyusunan dan implementasi TKA di daerahnya. Ini menunjukkan antusiasme daerah dalam terlibat langsung, dan mengafirmasi bahwa kebijakan pendidikan tidak bisa lagi bersifat top-down semata.
Pendekatan ini juga menumbuhkan rasa kepemilikan lokal terhadap kebijakan nasional.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan, kepemilikan ini penting agar pelaksanaan kebijakan berjalan efektif. Dengan melibatkan daerah sejak awal, kebijakan menjadi lebih kontekstual dan inklusif. TKA pun tidak sekadar menjadi titah dari pusat, tetapi menjadi hasil karya bersama yang memuat warna dan karakter lokal.
Kolaborasi ini juga sejalan dengan agenda percepatan pendidikan berkualitas yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Melalui pendekatan berbagi peran, TKA menjadi bagian dari sistem yang mendorong efektivitas program seperti Merdeka Belajar dan penguatan Asesmen Nasional.
Menuju Pendidikan Bermutu: Komplementaritas, Bukan Kompetisi TKA bukan reinkarnasi Ujian Nasional yang selama ini dianggap membebani siswa. TKA tidak menentukan kelulusan dan bersifat opsional. Dalam desainnya, TKA melengkapi, bukan menggantikan. Ia hadir sebagai salah satu komponen dalam sistem penilaian, berdampingan dengan nilai rapor dan ujian sekolah.
Empat tahun terakhir, sistem pendidikan kita menggabungkan asesmen nasional sebagai alat ukur makro dan penilaian harian oleh guru sebagai asesmen mikro. Kini, TKA memperkaya lanskap ini sebagai evaluasi meso—pada level individu yang terstandar secara nasional.
Kehadiran TKA sebagai pelengkap ujian sekolah justru memperkuat peran guru. Guru tetap menjadi penentu kelulusan, tetapi kini memiliki cermin objektif tambahan untuk merefleksikan hasil ajar. Sekolah-sekolah yang menjunjung integritas akan menunjukkan hasil TKA yang selaras dengan ujian internal mereka.
Sebaliknya, ketimpangan mencolok menjadi alarm untuk peninjauan ulang sistem pengajaran. Agar tidak menjadi tekanan tambahan, TKA harus dikomunikasikan secara jernih ke publik. Sosialisasi yang konsisten dibutuhkan agar siswa dan orang tua paham bahwa TKA bersifat sukarela, tidak menentukan kelulusan, dan justru menjadi peluang untuk mendapatkan pengakuan prestasi akademik yang lebih adil. Berdasarkan survei Balitbangdiklat Kemendikbudristek, 72% orang tua siswa menyatakan lebih percaya dengan hasil TKA ketimbang hanya nilai rapor dalam seleksi masuk sekolah lanjutan.
Tentu, tantangan akses masih ada. Ketimpangan digital dan sumber daya masih menjadi pekerjaan rumah. Untuk itu, Kemendikbudristek telah mengalokasikan anggaran 6,2% dari total Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik Pendidikan tahun 2025 untuk pelatihan dan peningkatan kesiapan sekolah menghadapi TKA, termasuk bagi siswa dari daerah tertinggal.
Ke depan, TKA akan menjadi referensi tambahan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan lanjutan. Bagi perguruan tinggi, TKA memberikan data objektif yang bisa digunakan dalam pemeringkatan seleksi berbasis prestasi. Hal ini sejalan dengan prinsip adil dan akuntabel, karena tidak hanya bergantung pada nilai rapor yang relatif.
Dalam konteks kebijakan strategis, TKA adalah bagian dari Program Transformasi Sekolah Indonesia yang mendorong akuntabilitas dan partisipasi publik dalam peningkatan kualitas pendidikan. Dengan data TKA, sekolah, orang tua, dan pemerintah bisa berdialog berdasarkan fakta, bukan persepsi.
Penutup
Tes Kemampuan Akademik bukanlah beban, melainkan peluang. Ia adalah langkah kecil yang jika dikelola dengan tepat, akan menghasilkan lompatan besar dalam sistem pendidikan kita. Tidak menggantikan peran guru, melainkan mendukung mereka dengan data yang objektif. Tidak menjatuhkan murid, melainkan menampilkan potensi mereka secara adil.
Dalam sistem pendidikan yang sehat, evaluasi bukan sekadar penilaian, melainkan proses reflektif dan strategis. TKA adalah cermin objektif yang menunjukkan di mana kita berada, agar kita tahu ke mana harus melangkah. Dengan kerja sama lintas sektor, pendekatan kolaboratif, serta komunikasi publik yang inklusif, TKA berpotensi menjadi tonggak penting dalam mewujudkan pendidikan bermutu, merata, dan berkeadilan sosial.
Langkah kecil TKA, bisa jadi adalah lompatan besar menuju masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah, terukur, dan terpercaya.***
PenuliaL: Raihan Khairi, Pengamat Hukum & Pendidikan UIN SAIZU