Bogordaily.net – Fenomena pernikahan dini masih jadi sorotan serius di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Selama periode Januari hingga akhir Juli 2025, tercatat sebanyak 37 anak Madiun di bawah umur telah mengajukan nikah ke Pengadilan Agama.
Yang mengejutkan, 16 di antaranya sudah dalam kondisi hamil saat permohonan diajukan.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Madiun, Yeni Mayawati, mengungkapkan bahwa kasus permohonan diska masih terus terjadi, meskipun ada tren penurunan dibandingkan dua tahun terakhir.
“Dari awal tahun hingga akhir Juli 2025, kami telah mendampingi 37 calon pengantin anak yang mengajukan permohonan ke pengadilan agama. Dari jumlah itu, 16 di antaranya sudah dalam keadaan hamil,” ujar Yeni, Selasa 5 Agustus 2025.
Penyebab utama dari maraknya permohonan diska ini adalah kehamilan di luar nikah dan perjodohan yang diatur oleh orang tua.
Selain itu, tekanan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan keluarga juga menjadi faktor pemicu yang tak bisa diabaikan.
Yeni menjelaskan, banyak orang tua memilih jalan pintas dengan menikahkan anaknya di usia muda demi menghindari rasa malu atau beban sosial di lingkungan sekitar.
“Banyak orang tua yang menganggap pernikahan dini sebagai solusi atas masalah yang dihadapi anak-anak mereka, terutama jika sudah terjadi kehamilan,” katanya.
Namun, Yeni menegaskan bahwa DP2KBP3A hanya memiliki kewenangan sebatas memberikan pendampingan dan konseling kepada anak dan orang tua pemohon diska. Sedangkan keputusan akhir berada di tangan pengadilan agama.
Dalam upaya menekan angka pernikahan dini, DP2KBP3A Kabupaten Madiun terus gencar melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan komunitas masyarakat, terutama organisasi perempuan.
Sosialisasi ini berfokus pada edukasi seputar risiko pernikahan dini, pentingnya pendidikan, serta kesehatan reproduksi remaja.
“Pendidikan dan pemahaman yang benar kepada anak dan orang tua adalah kunci utama untuk mencegah pernikahan dini,” jelas Yeni.
Fenomena ini mencerminkan masih rendahnya literasi seksualitas, pendidikan, dan hak anak di sejumlah kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, sekolah, tokoh agama, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk melindungi masa depan anak-anak dari dampak negatif pernikahan dini.***