Bogordaily.net – Ratusan guru sekolah rakyat dilaporkan mengundurkan diri hanya dalam hitungan bulan setelah penempatan. Alasan utamanya, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Muti, karena lokasi penugasan yang terlalu jauh dari domisili.
Kementerian Sosial, sebagai penyelenggara program, memang telah mengisi kekosongan dengan guru pengganti. Di sisi lain persoalan ini tidak sesederhana “mengganti orang”. Justru, saatnya meninjau ulang sistem rekrutmen guru sekolah rakyat, Apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar manajemen sumber daya manusia yang berkelanjutan?
Pada dasarnya rekrutmen, dalam kerangka manajemen SDM modern merupakan tahap strategis yang menyimpan konsekuensi jangka panjang. Dengan kata lain hal tersebut bukan hanya pengisian kekosongan jabatan, melainkan gerbang awal pembentukan kualitas organisasi.
Guru bukan hanya pekerja teknis, tetapi aktor perubahan sosial, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi target program sekolah rakyat. Oleh karena itu, gagalnya penempatan bukanlah kesalahan individu semata, melainkan kegagalan sistemik dalam memahami bahwa setiap proses rekrutmen harus menyatukan kompetensi, kesiapan psikologis, konteks sosial-budaya, dan aspek kesejahteraan.
Tak jarang kita sering tergoda oleh kecepatan dan efisiensi dalam proses seleksi. Padahal, dalam konteks pendidikan sosial seperti sekolah rakyat, efisiensi tanpa empati bisa menjadi bumerang. Guru-guru yang direkrut lalu ditempatkan secara terburu-buru ke daerah terpencil tanpa kesiapan mental, minim informasi, dan kurang dukungan struktural akan mudah merasa terasing.
Mereka kehilangan rasa keterhubungan terhadap institusi yang menugaskan mereka. Hal itu bukan hanya masalah jarak geografis, tetapi juga jarak emosional dan struktural antara individu dan sistem.
Sementara itu dari kacamata sosiologi pendidikan, hal ini sebagai bentuk kegagalan institusional dalam membangun kohesi sosial antara aktor pendidikan dan sistemnya. Sekolah rakyat yang idealnya menjadi simbol negara hadir di tengah rakyat justru kehilangan daya ubahnya ketika SDM di dalamnya merasa tercerabut dan tak dihargai secara utuh.
Apalagi, bila banyak dari guru yang direkrut masih muda, baru lulus, dan berharap program ini bisa menjadi pijakan awal karier mereka. Ketika realitas tidak sesuai ekspektasi, maka pengunduran diri menjadi jalan terakhir yang dipilih. Lalu bagaimana seharusnya proses rekrutmen dibangun?
Dalam manajemen SDM yang sehat, proses rekrutmen idealnya memuat tiga hal mendasar antara lain seleksi berbasis konteks, komunikasi transparan, dan penempatan berbasis kesesuaian nilai. Guru-guru sekolah rakyat mestinya dipilih melalui pendekatan yang tidak hanya menilai kompetensi akademik atau administratif, tapi juga pemetaan psikososial dan kesiapan hidup dalam lingkungan yang menantang. Asesmen harus melibatkan simulasi lapangan, psikotes, dan wawancara berbasis skenario nyata di lapangan.
Lebih lanjut, proses rekrutmen juga harus terbuka mengenai tantangan yang akan dihadapi. Alih-alih menjanjikan hal-hal manis, lebih baik calon guru diberi informasi secara jujur tentang fasilitas, kondisi sekolah, karakteristik siswa, dan lingkungan sosial. Transparansi ini penting bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangun kejujuran relasional antara institusi dan individu. Sehingga di tahap akhir peserta rekrutmen merupakan mereka yang benar-benar siap secara mental dan memahami peran yang akan dijalankan.
Di sisi lain, strategi rekrutmen berbasis lokalitas patut menjadi pertimbangan utama dalam reformasi ini. Mengapa kita tidak memaksimalkan potensi SDM dari wilayah sekitar sekolah rakyat? Guru lokal cenderung lebih tahan banting karena memiliki kedekatan kultural, pemahaman sosial, dan ikatan emosional dengan daerah tersebut. Dalam manajemen SDM, strategi ini disebut contextual hiring, yaitu praktik merekrut orang yang tidak hanya cocok secara kompetensi, tetapi juga selaras secara nilai dengan konteks organisasi.
Selain itu perlu menata ulang relasi kekuasaan dalam struktur perekrutan. Apakah guru merasa dilibatkan secara utuh dalam prosesnya? Apakah ada ruang untuk menyuarakan keberatan atau aspirasi sejak awal? Di sinilah pentingnya membangun sistem rekrutmen yang tidak top-down, tetapi partisipatif. Rekrutmen yang baik memberi ruang negosiasi, bukan hanya kontrak kerja satu arah. Guru sebagai aktor sosial juga berhak mengetahui, mempertimbangkan, dan bahkan menolak penempatan jika memang tidak sesuai kapasitasnya.
Transformasi ini tentu menuntut perubahan cara pandang dari institusi. Guru bukan hanya “alat pelaksana program”, tetapi mitra dalam membangun masa depan. Bila kita sungguh-sungguh ingin menjadikan sekolah rakyat sebagai jembatan keadilan sosial, maka proses awalnya antara lain proses rekrutmen guru mesti dibangun dengan prinsip keadilan, kepantasan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Pada akhirnya, kegagalan rekrutmen adalah alarm penting bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk tidak lagi menggunakan logika rekrutmen berbasis proyek, melainkan membangun sistem SDM yang berkelanjutan. Peningkatan daya tahan guru bukan dengan mengatur ulang jadwal atau memperketat kontrak, tetapi dengan menciptakan sistem yang memanusiakan guru sejak proses perekrutan. Dengan demikian sekolah rakyat bukan hanya program, tetapi menjadi gerakan sosial yang hidup dan berakar dalam masyarakat. ***
Penulis: Agus Jatmika (Praktisi Pendidikan di Bogor, alumni Magister Managemen SDM Universitas Pakuan Bogor)