Bogordaily.net – Diera di mana dunia bergerak cepat mengejar Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, khususnya target SDG 4: Pendidikan Berkualitas, Indonesia menghadapi dua sisi mata: kesempatan besar dan tantangan nyata. Di satu sisi, kemajuan dalam akses pendidikan dasar dan menengah telah terlihat—anak-anak lebih banyak bersekolah, pemerataan jumlah sekolah meningkat. Namun di sisi lain, kualitas pembelajaran, fasilitas penunjang, dan kesetaraan antarwilayah masih jauh dari ideal. Menurut UNESCO dalam Asia-Pacific Education 2030: SDG 4 Midterm Review (akhir 2024), banyak negara termasuk Indonesia masih mengalami kurangnya kualitas dalam materi pembelajaran dan dukungan teknologi yang memadai untuk wilayah terpencil. Revitalisasi Bukan Hanya Sekolah Negeri
Direktur Jendral Pendidikan Anak Usia Dini (Dirjen PAUD) Gotot Suharwoto menyampaikan sasaran program tidak eksklusif hanya untuk satuan Pendidikan tertentu. Semua dapat mengajukan menjadi penerima manfaat program revitalisasi. “jadi swasta pun bisa menerima dana dan ikut program revitalisasi selama memang sekolah itu membutuhkan, nanti dilihat dari data Data Pokok Pendidik Pendidikan (Dapodik) dan hasil verval,” kata Gogot dikutip dari detik.com Jumat 12 September 2025.
Ini menjadi angin segar bagi Pengelola satuan Pendidikan swasta yang selama ini kesulitan dalam segi finansial untuk menjaga keberlangsungan sekolahnya. Bahkan sebagain sampai harus gulung tikar karena tidak sanggup mendanai oprasional.
Pemerintah menjawab tantangan ini melalui Program Revitalisasi Satuan Pendidikan tahun 2025, yang dilandasi oleh Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2025 mengenai percepatan pembangunan, salah satunya di bidang pendidikan. Tidak hanya itu, revitaslisasi ini juga sejajar dengan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang dirancang agar layanan pendidikan bermutu bisa dirasakan merata oleh semua lapisan masyarakat (Humas Setkab, 2025).
Langkah nyata terlihat dalam alokasi anggaran Rp17,1 triliun untuk memperbaiki sarana prasarana di 10.440 satuan pendidikan di seluruh penjuru negeri. Fokus revitalisasi meliputi ruang kelas, ruang guru, administrasi, perpustakaan, laboratorium, toilet dan UKS—bukan sebagai tambahan kosmetik, tetapi sebagai pondasi ekosistem belajar yang sehat, aman, nyaman, dan modern.
Fakta internasional memperkuat urgensi ini. UNESCO-UIS dalam World Education Statistics 2024 mencatat bahwa meskipun enrolmen pendidikan formal dan nonformal usia muda (15-24 tahun) di Indonesia cukup tinggi, banyak siswa yang masih mengalami kualitas pengajaran dan fasilitas yang tidak memadai. Selain itu, laporan UNESCO GEM (2023-24) menekankan bahwa teknologi pendidikan bila tidak didukung akses internet yang memadai, khususnya di pulau-terluar dan daerah 3T, bisa memperlebar kesenjangan daripada menutupnya.
Pendekatan inklusif melalui revitalisasi sekolah dengan swakelola dan partisipasi masyarakat menjadi jalan keluar. Melibatkan warga lokal dalam pembangunan dan pengelolaan fasilitas mendorong rasa kepemilikan dan memastikan bahwa fasilitas yang dibangun sesuai kebutuhan nyata. Bila semangat ini dijaga, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai SDG 4 secara nyata: pendidikan berkualitas yang bukan hanya untuk kota besar, tapi juga untuk desa-desa di ujung Nusantara.
Urgensi Revitalisasi Sekolah dan Peningkatan Kualitas Guru
Pembangunan bangsa tidak bisa dilepaskan dari kualitas sumber daya manusianya. Dan kualitas manusia hanya dapat dibentuk melalui pendidikan yang baik dan merata. Tokoh-tokoh pendidikan menegaskan bahwa fungsi utama sekolah bukan semata tempat belajar formal, tetapi ruang pembinaan potensi individu—baik fisik, intelektual, maupun moral.
Penelitian Donni Muhammad (Muhamad et al., 2021) menunjukkan bahwa revitalisasi sarana pendidikan berdampak langsung pada terciptanya suasana pembelajaran yang lebih fokus, kondusif, dan nyaman.
Lingkungan belajar yang mendukung membuat peserta didik lebih termotivasi, guru lebih leluasa mengajar, dan interaksi antarwarga sekolah lebih harmonis.
Fakta di lapangan menguatkan temuan tersebut. Menurut data Kemendikbudristek (2024), masih terdapat lebih dari 27% sekolah dasar di wilayah 3T yang tidak memiliki perpustakaan layak, sementara 19% SMP belum memiliki laboratorium sains.
Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak siswa di pelosok masih belajar di ruang kelas sempit dengan kursi reyot, tanpa fasilitas dasar penunjang.
Dalam konteks ini, revitalisasi sekolah tidak lagi bisa ditunda—ia menjadi kebutuhan mendesak untuk menghapus kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah.
Namun, revitalisasi fisik hanyalah salah satu sisi mata uang. Sisi lainnya adalah kualitas guru. Sebab, sebagus apa pun gedung dan fasilitas, sekolah tidak akan bermakna tanpa pendidik yang profesional.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2025, pemerintah menegaskan komitmen percepatan pembangunan manusia lewat revitalisasi satuan pendidikan, dengan fokus pada penguatan kapasitas guru.
Peningkatan kualitas guru masuk dalam prioritas besar anggaran pendidikan. Diah Dwi Utami, Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Kementerian Keuangan, menuturkan bahwa sebagian besar alokasi dana negara di sektor pendidikan diarahkan untuk penguatan kompetensi guru dan pemenuhan hak dasar berupa gaji serta tunjangan. Tahun 2025, pemerintah juga meluncurkan beasiswa lanjutan bagi 12.000 guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang D4 atau S1, serta program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) bagi guru yang sempat kuliah namun belum lulus.
Tak berhenti di situ, skala lebih besar hadir dalam Program Profesi Guru (PPG). Kemendikdasmen menargetkan 806.000 guru mengikuti PPG sepanjang 2025—jumlah terbesar sepanjang sejarah pendidikan Indonesia.
Program ini bukan sekadar formalitas sertifikasi, tetapi diarahkan untuk membentuk guru profesional yang menguasai pedagogi modern, literasi digital, serta strategi pengajaran kreatif yang relevan dengan karakter generasi Z dan Alpha.
Realitas di lapangan juga menegaskan pentingnya fokus pada tenaga pendidik. Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI, 2024) menunjukkan lebih dari 60% guru masih terbebani pekerjaan administratif sehingga mengurangi fokus mereka pada pembelajaran di kelas.
Menjawab keluhan klasik ini, pemerintah melakukan reformasi penilaian kinerja guru dengan melimpahkan kewenangan kepada kepala sekolah dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
Selain itu, diperkenalkan pula kebijakan “Hari Belajar Guru”, yakni satu hari khusus setiap pekan di mana guru dibebaskan dari kewajiban mengajar untuk fokus pada pengembangan diri.
Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan paradigma baru: revitalisasi sekolah tidak hanya mengubah tembok dan kursi, tetapi juga membangun ekosistem yang menempatkan guru sebagai jantung pendidikan.
Harapannya, dengan sarana memadai dan guru berkualitas, cita-cita mewujudkan generasi emas 2045 tidak lagi sekadar retorika, tetapi menjadi kenyataan yang lahir dari ruang-ruang kelas di seluruh penjuru Nusantara.
Program Revitalisasi selaras dengan Tujuan SDG’s
Program revitalisasi sekolah yang digulirkan pemerintah pada tahun 2025 tidak hanya sebatas pembangunan fisik, melainkan bagian dari strategi besar untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-4: “Quality Education” atau pendidikan berkualitas untuk semua.
Fokus utamanya adalah inklusi dan pemerataan pendidikan, meningkatkan mutu pembelajaran, serta mendorong kesejahteraan masyarakat.
Seperti yang diungkapkan Humaida dalam penelitian Difani Hayati et al. (2024), program ini menjadi instrumen penting untuk memperluas akses pendidikan yang berkeadilan sekaligus menjawab kesenjangan kualitas layanan di Indonesia.
Keterkaitan ini semakin relevan ketika melihat kondisi pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Menurut Safitri dalam Difani Hayati et al. (2024), kualitas pendidikan Indonesia masih berada di posisi tertinggal. Hasil Survei PISA 2022 pun menegaskan fakta serupa: Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 81 negara untuk kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains.
Gap ini menunjukkan bahwa revitalisasi sarana dan prasarana bukan hanya program domestik, tetapi juga kebutuhan mendesak untuk meningkatkan daya saing bangsa di kancah global.
Sarana prasarana pendidikan, menurut Sinta dalam Difani Hayati et al. (2019), menjadi tolok ukur kualitas pembelajaran.
Sekolah dengan laboratorium sains yang lengkap, perpustakaan yang modern, dan ruang kelas yang nyaman akan lebih mampu mendorong inovasi serta pengembangan keterampilan abad ke-21.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih ada lebih dari 27% SD di wilayah 3T tanpa perpustakaan layak dan 19% SMP tanpa laboratorium sains (Kemendikbudristek, 2024).
Revitalisasi menjadi jawaban untuk memastikan setiap anak Indonesia, baik di perkotaan maupun pelosok, mendapatkan fasilitas pendidikan yang setara.
Lebih jauh, Wahyudiono et al. (2025) menekankan bahwa lingkungan belajar yang nyaman berfungsi sebagai rangsangan positif bagi perkembangan anak.
Ruang kelas yang aman, ventilasi yang baik, dan fasilitas sanitasi yang memadai tidak hanya meningkatkan kualitas belajar, tetapi juga mendukung kesehatan mental dan fisik siswa.
Dalam jangka panjang, ini menjadi investasi penting untuk menyiapkan generasi emas 2045—generasi produktif, sehat, dan berdaya saing global.
Namun, revitalisasi tidak berhenti pada pembangunan fisik. Tahap berikutnya yang krusial adalah bagaimana satuan pendidikan menjaga, melestarikan, dan mengembangkan aset yang telah dibangun. Menurut pedoman Kemendikdasmen (2025), sekolah penerima bantuan diwajibkan menyusun rencana pemeliharaan yang melibatkan guru, komite sekolah, orang tua, hingga masyarakat lokal. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat rasa memiliki, tetapi juga memastikan nilai dan fungsi fasilitas bertahan dalam jangka panjang.
Fenomena gotong royong di lapangan menjadi buktinya. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, orang tua siswa terlibat langsung mengecat ruang kelas dan membangun pagar sekolah.
Praktik serupa juga tercatat di Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana bahan bangunan untuk rehabilitasi sekolah diambil dari toko lokal sehingga menggerakkan ekonomi desa.
Hal ini menunjukkan bahwa revitalisasi bukan hanya proyek fisik, melainkan juga motor penggerak sosial dan ekonomi daerah.
Dengan begitu, Program Revitalisasi Sekolah dapat dipandang sebagai strategi multi-dimensi:
Mendukung pencapaian SDGs melalui inklusi dan pemerataan pendidikan.
Memperbaiki sarana prasarana sebagai pondasi mutu pembelajaran.
Meningkatkan daya saing bangsa di tingkat global dengan mempersempit gap pendidikan ASEAN.
Membangun partisipasi masyarakat dalam menjaga keberlanjutan aset pendidikan.
Menggerakkan ekonomi lokal melalui pemanfaatan sumber daya setempat dalam pembangunan.
Jika konsistensi kebijakan ini terjaga, maka pada tahun 2030 target SDGs di bidang pendidikan akan lebih realistis untuk dicapai.
Dan pada 2045, revitalisasi sekolah dapat menjadi salah satu tonggak sejarah yang mengantar Indonesia menuju status negara maju dengan kualitas sumber daya manusia unggul.
Revitalisasi sebagai Jalan Menuju Generasi Perubahan yang Cemerlang
Revitalisasi sekolah bukanlah proyek jangka pendek, melainkan investasi peradaban. Dengan dukungan anggaran Rp17,1 triliun pada tahun 2025, pemerintah berusaha menjawab ketimpangan fasilitas pendidikan yang selama ini menghambat kualitas pembelajaran.
Lebih dari sekadar membangun ruang kelas atau laboratorium, program ini menghadirkan harapan baru: sekolah sebagai pusat pembentukan karakter, pusat pengembangan ilmu, dan sekaligus pusat kebersamaan masyarakat.
Selaras dengan tujuan SDGs 2030, revitalisasi sekolah di Indonesia mencerminkan semangat inklusi dan keberlanjutan.
Tidak ada anak yang boleh tertinggal hanya karena lahir di wilayah 3T, dan tidak ada guru yang terabaikan hanya karena distribusi tenaga pendidik timpang.
Semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah, perguruan tinggi, hingga masyarakat lokal, memegang peran penting dalam memastikan program ini benar-benar berdampak.
Namun, keberhasilan revitalisasi tidak hanya bergantung pada besar kecilnya dana, melainkan pada integritas dan konsistensi pelaksanaan.
Transparansi anggaran, partisipasi masyarakat, serta pengawasan yang ketat akan menentukan apakah program ini sekadar menjadi catatan laporan atau benar-benar menjadi monumen pendidikan.
Harapannya, pada 2045—saat Indonesia genap 100 tahun merdeka—hasil revitalisasi sekolah akan terlihat nyata: ruang-ruang belajar yang modern dan inklusif, guru-guru yang berkualitas, dan generasi muda yang siap bersaing di panggung dunia.
Revitalisasi sekolah adalah cermin dari mimpi besar bangsa: membangun kualitas manusia Indonesia yang unggul, berkarakter, dan berdaya saing global.****
Oleh: Abdul Jabbar Hekmatyar
Pengamat Ekonomi dan Pendidikan UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto