Monday, 29 September 2025
HomeOpiniRevitalisasi Guru: Kompetensi, Pemerataan, dan Bebaskan dari beban Administrasi

Revitalisasi Guru: Kompetensi, Pemerataan, dan Bebaskan dari beban Administrasi

Oleh: Thoriq Anshorullah, Pengamat Ekonomi serta Pendidikan Jabodetabek Raya

Pemerintah telah menetapkan tahun 2025 sebagai tonggak besar transformasi pendidikan nasional. Sebanyak 10.440 satuan pendidikan di seluruh Indonesia ditargetkan masuk dalam program Revitalisasi Sekolah, dengan alokasi anggaran mencapai Rp17,1 triliun.

Dana ini kini dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), setelah sebelumnya berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Pergeseran kewenangan ini bukan sekadar langkah administratif, melainkan strategi agar pembangunan sekolah benar-benar sejalan dengan kebutuhan pembelajaran dan ekosistem pendidikan yang lebih komprehensif.

Prioritas revitalisasi meliputi ruang kelas, ruang guru, ruang administrasi, perpustakaan, toilet, laboratorium, hingga Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Semua fasilitas tersebut dianggap sebagai elemen vital dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat, aman, dan mendukung proses pembelajaran.

Uniknya, program ini dijalankan melalui mekanisme swakelola, di mana dana revitalisasi ditransfer langsung ke rekening sekolah dan dikelola mandiri oleh Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP). Panitia ini melibatkan masyarakat lokal, komite sekolah, serta tenaga pendidik, sehingga prinsip gotong royong tetap terjaga dalam pembangunan sarana pendidikan.

Namun, di balik gemerlap angka-angka besar itu, pertanyaan mendasar perlu diajukan: apakah sekolah yang bagus otomatis melahirkan pendidikan berkualitas?

Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia masih tertinggal dalam literasi membaca, matematika, dan sains dibanding rata-rata OECD. Dengan kata lain, infrastruktur pendidikan saja belum cukup.

Laboratorium canggih hanya akan menjadi ruangan kosong bila tidak ada guru yang mampu menggunakannya sebagai sarana eksperimen pembelajaran. Perpustakaan modern bisa sekadar pajangan buku bila pendidik tidak terlatih untuk menumbuhkan budaya literasi di kalangan siswa.

Fenomena ini semakin relevan jika dikaitkan dengan isu-isu hangat yang tengah menjadi perbincangan publik: mulai dari kesiapan Indonesia menghadapi bonus demografi 2030–2045, kesenjangan kualitas pendidikan antara kota besar dan daerah 3T, hingga tantangan digitalisasi yang memaksa sekolah beradaptasi dengan teknologi.

Di banyak daerah, masih ada ironi: sekolah mendapat perangkat pintar, tetapi guru tidak dibekali keterampilan untuk mengoperasikan dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran.

Karena itu, revitalisasi sejati tidak berhenti pada tembok dan kursi baru, melainkan pada revitalisasi guru. Di sinilah titik krusial yang sering luput dari perhatian: sekolah bagus tidak ada artinya tanpa guru yang hebat. Guru adalah jiwa dari pendidikan. Tanpa kompetensi, motivasi, dan pemerataan tenaga pendidik, transformasi pendidikan hanya akan berakhir pada pembangunan fisik tanpa makna.

Guru Berkualitas, Pemerataan, dan Bebas Administrasi

Kesadaran akan pentingnya peran guru dalam membentuk masa depan bangsa memang tidak bisa ditawar. Di atas kertas, pemerintah sudah berani mengambil langkah progresif.

Permendikdasmen No. 1 Tahun 2025 menjadi contoh nyata: guru ASN kini diperbolehkan mengajar di sekolah swasta atau sekolah yang dekat dengan domisili mereka. Kebijakan ini disebut sebagai “angin segar” setelah bertahun-tahun persoalan distribusi guru seolah jadi lingkaran setan yang tidak selesai.

Data Kemendikbudristek (2024) menunjukkan, rasio guru dan murid secara nasional memang terlihat memadai, tetapi distribusinya sangat timpang. Ada sekolah negeri di Jakarta atau Surabaya yang kelebihan tenaga pendidik hingga dua kali lipat kebutuhan, sementara sekolah di pedalaman Kalimantan atau Papua kekurangan guru hingga 40%.

Kondisi ini membuat siswa di daerah perkotaan bisa belajar dengan pilihan mata pelajaran lengkap, sedangkan siswa di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) hanya diajar oleh satu atau dua guru yang merangkap hampir semua mata pelajaran.

Tapi apakah kebijakan baru ini cukup? Realitas di lapangan menunjukkan tantangan lain. Banyak guru ASN yang enggan pindah atau mengajar di daerah karena faktor infrastruktur, fasilitas hidup, hingga keamanan. Jalan rusak, akses listrik terbatas, dan sinyal internet yang nyaris tak ada, membuat minat guru untuk bertugas di daerah pedalaman sangat rendah.

Artinya, meski aturan memberi izin fleksibilitas, dibutuhkan insentif nyata—baik berupa tunjangan khusus, jaminan perumahan, maupun dukungan logistik—agar kebijakan ini tidak sekadar berhenti di atas kertas.

Selain pemerataan, kompetensi guru menjadi isu besar berikutnya. Pemerintah menyalurkan beasiswa lanjutan untuk 12.000 guru melalui program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). Skema ini penting karena banyak guru di lapangan sebenarnya sudah memiliki pengalaman mengajar bertahun-tahun, tetapi terhambat oleh gelar formal.

Namun, jumlah ini masih jauh dari cukup jika dibandingkan dengan total guru di Indonesia yang mencapai lebih dari 3,3 juta orang (Kemendikbudristek, 2024).
Lebih ambisius lagi, pemerintah menargetkan 806.000 guru mengikuti Program Profesi Guru (PPG). Target ini memang terdengar spektakuler, bahkan disebut sebagai yang terbesar dalam sejarah pendidikan Indonesia.

Tapi tantangan di lapangan sering muncul: mulai dari keterbatasan kuota pelatihan di kampus LPTK, kualitas materi PPG yang tidak selalu adaptif dengan kebutuhan zaman, hingga gap teknologi yang membuat sebagian guru senior kewalahan menghadapi platform digital. Jika tidak dibarengi dengan evaluasi berkala, PPG berpotensi sekadar menjadi “formalitas sertifikasi”, bukan benar-benar transformasi kompetensi.

Isu lain yang paling sering jadi keluhan guru adalah beban administrasi. Selama ini, guru di Indonesia bukan hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai “tukang tulis” laporan. Dari RPP, jurnal harian, hingga setumpuk dokumen evaluasi, waktu guru banyak tersedot untuk administrasi ketimbang mendampingi siswa. Di beberapa sekolah, guru bahkan menghabiskan lebih dari separuh jam kerjanya hanya untuk menyiapkan laporan yang sebenarnya bisa diringkas melalui sistem digital.

Langkah pemerintah untuk menyederhanakan birokrasi patut diapresiasi. Kini, penilaian kinerja guru dilakukan oleh kepala sekolah dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), bukan lagi oleh guru sendiri. Ditambah dengan kebijakan Hari Belajar Guru, satu hari khusus dalam seminggu di mana guru tidak mengajar, melainkan belajar dan mengembangkan diri.

Namun, efektivitasnya masih perlu diuji. Di daerah perkotaan, kebijakan ini relatif mudah diterapkan, tetapi di sekolah kecil dengan jumlah guru terbatas, satu guru tidak mengajar sehari saja bisa membuat proses belajar terganggu.

Realitas di lapangan memperlihatkan bahwa guru masih berjuang dalam keterbatasan. Di banyak sekolah pedesaan, guru merangkap menjadi bendahara, operator Dapodik, hingga petugas kebersihan. Sebagian besar guru honorer masih menerima gaji di bawah UMR, bahkan ada yang hanya Rp300 ribu per bulan. Ironis, mengingat mereka memegang peran krusial dalam mendidik generasi penerus.

Di titik inilah kritik harus ditegaskan, revitalisasi pendidikan tidak bisa hanya berorientasi pada infrastruktur dan regulasi, tetapi juga harus menyentuh kesejahteraan, kemandirian, dan martabat guru. Guru butuh lebih dari sekadar pelatihan; mereka butuh ekosistem yang mendukung untuk tumbuh. Tanpa itu, kebijakan bagus hanya akan jadi dokumen di lembaran negara.

Harapannya jelas: ketika guru memiliki akses pemerataan, kompetensi yang mumpuni, dan terbebas dari jeratan administrasi, barulah mereka bisa menghadirkan kelas yang hidup. Kelas yang bukan sekadar ruang empat dinding, melainkan ruang interaksi, ruang inspirasi, dan ruang transformasi.

Pada akhirnya, cita-cita besar menuju Indonesia Emas 2045 tidak akan ditentukan oleh megahnya bangunan sekolah atau canggihnya laboratorium. Ia akan ditentukan oleh sosok guru yang bersemangat, berdaya, dan dihargai. Sebab, seperti kata pepatah lama yang relevan hingga kini: “Guru bukan hanya pengajar, tetapi penggerak peradaban.”
Harapan, Proyeksi, dan Cita-Cita Bangsa
Revitalisasi sekolah dan guru pada tahun 2025 ini menyimpan harapan besar. Bukan hanya memperbaiki fisik sekolah atau meningkatkan jumlah guru bersertifikat, tetapi menciptakan ekosistem pendidikan yang menyeluruh.
Bayangkan tahun 2030, ketika seluruh sekolah dasar dan menengah di Indonesia sudah memiliki fasilitas minimal sesuai standar nasional.

Ruang kelas terang, toilet bersih, laboratorium berfungsi, perpustakaan hidup dengan kegiatan literasi, dan UKS siap melayani kesehatan siswa. Di saat yang sama, guru sudah terbebas dari beban administrasi, fokus pada mengajar dengan metode kreatif, memanfaatkan teknologi, serta memiliki kompetensi profesional yang diakui.

Lebih jauh lagi, pada 2045—saat Indonesia genap satu abad merdeka—anak-anak yang kini duduk di bangku sekolah dasar akan menjadi generasi produktif. Mereka bukan hanya mewarisi sekolah yang kokoh, tetapi juga mendapatkan pendidikan dari guru yang inspiratif. Itulah generasi emas yang diimpikan: sehat, cerdas, berkarakter, dan siap bersaing di panggung global.

Tentu, jalan menuju cita-cita itu tidak mudah. Tantangan selalu ada—mulai dari keterbatasan anggaran, resistensi birokrasi, hingga kemungkinan penyalahgunaan dana. Karena itu, mekanisme pengawasan diperkuat. Pendampingan teknis dari perguruan tinggi, Dinas Pendidikan, hingga tim Kemendikdasmen wajib dilakukan di setiap sekolah penerima program. Semua pihak, termasuk masyarakat, dilibatkan dalam P2SP agar transparansi tetap terjaga.

Seperti yang ditegaskan Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah, Gogot Suharwoto, revitalisasi bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan pembangunan masa depan. “Ini bukan sekadar membangun ruang kelas, tetapi membangun generasi,” ujarnya.

Pendidikan adalah investasi paling mahal sekaligus paling berharga. Revitalisasi guru menjadi bukti bahwa negara menyadari hal itu. Sebab tanpa guru yang berkualitas, semua mimpi tentang sekolah bagus hanyalah bayangan semu.
Kini harapan bangsa dititipkan pada ruang-ruang kelas di pelosok negeri, pada guru-guru yang mengajar dengan hati, dan pada murid-murid yang tumbuh dengan semangat. Jika semua elemen bergerak bersama, revitalisasi guru akan menjadi jalan lapang menuju Indonesia Emas 2045—bangsa yang berdaulat, adil, berkarakter, dan berdaya saing global.

Penutup

Revitalisasi guru bukanlah proyek instan yang hasilnya bisa dipetik dalam semalam. Ia adalah proses panjang, penuh dinamika, dan melibatkan banyak pihak, dari pusat hingga daerah, dari sekolah hingga masyarakat.

Namun, justru di situlah letak kekuatannya: ia menjadi ruang kolaborasi nyata, di mana negara, guru, orang tua, dan komunitas lokal bersatu membangun pondasi pendidikan Indonesia. Tanpa itu, segala bangunan fisik sekolah, betapapun megahnya, hanya akan menjadi ruang kosong tanpa jiwa.

Kita harus berani jujur melihat realitas: kualitas pendidikan Indonesia masih timpang. Data Kemendikdasmen tahun 2024 menunjukkan, masih ada lebih dari 30% sekolah di wilayah 3T yang belum memiliki laboratorium layak, dan 25% sekolah menengah pertama tidak memiliki perpustakaan fungsional.

Padahal, di sisi lain, kita berbicara tentang ambisi besar menuju Indonesia Emas 2045. Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin kita bicara tentang bangsa unggul bila ruang belajar anak-anak kita masih bocor ketika hujan, bila guru masih disibukkan dengan laporan administrasi yang tebal, dan bila perpustakaan hanya jadi ruang kosong dengan rak berdebu?

Harapan hadir lewat program revitalisasi ini. Dengan 10.440 satuan pendidikan yang menjadi sasaran pada tahun 2025, ditopang anggaran Rp17,1 triliun, serta mekanisme swakelola yang transparan, publik kini menaruh ekspektasi besar. Program ini tidak hanya membenahi ruang kelas, ruang guru, ruang administrasi, toilet, hingga laboratorium, tetapi juga membangun rasa memiliki di kalangan masyarakat. Orang tua murid yang ikut mengecat tembok kelas atau membangun pagar sekolah bukan sekadar memberi tenaga, melainkan menyumbang energi moral yang jauh lebih besar: semangat gotong royong yang diwariskan leluhur. Inilah modal sosial yang akan menjaga keberlanjutan pendidikan.

Namun, revitalisasi fisik hanyalah salah satu sisi koin. Di sisi lain, kompetensi dan pemerataan guru menjadi inti dari segala upaya. Tanpa guru yang berkualitas, sekolah bagus hanyalah bangunan megah yang sunyi. Karena itu, kebijakan beasiswa lanjutan bagi 12.000 guru, PPG untuk 806.000 guru, dan Hari Belajar Guru patut dipandang sebagai investasi jangka panjang.

Ketika guru diberi ruang untuk belajar, ketika beban administrasi mereka dipangkas, dan ketika distribusi guru lebih merata berkat Permendikdasmen No. 1 Tahun 2025, maka ekosistem pendidikan kita akan lebih sehat dan adil.
Proyeksi ke depan, jika seluruh kebijakan ini berjalan konsisten, Indonesia bukan hanya sekadar memperbaiki rapor PISA atau statistik global. Lebih dari itu, kita akan melahirkan generasi yang benar-benar siap menghadapi era industri 5.0—generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh, kreatif, dan berkarakter. Cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan besar dunia di tahun 2045 akan lebih realistis bila pendidikan ditempatkan di garis depan pembangunan nasional.

Pada akhirnya, revitalisasi guru dan sekolah harus dipahami sebagai misi kebangsaan. Ia bukan sekadar program kementerian, bukan pula proyek pemerintah yang bisa selesai dengan laporan seremonial. Ini adalah investasi lintas generasi. Sebuah komitmen yang akan kita wariskan kepada anak cucu, bahwa kita pernah berjuang memastikan mereka belajar di ruang kelas yang layak, dibimbing oleh guru yang berdedikasi, dan tumbuh dalam sistem yang adil.

Bila komitmen ini dijaga, maka pada tahun 2045 kita tidak hanya merayakan seratus tahun kemerdekaan, tetapi juga panen besar dari benih pendidikan yang hari ini kita rawat dengan penuh kesungguhan.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here