Oleh: Dipo Satria Ramli, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia
Pemerintah melalui Danantara meluncurkan Patriot Bond senilai Rp50 triliun dengan kupon hanya 2% per tahun.
Instrumen ini dipromosikan sebagai wujud gotong royong untuk membiayai proyek strategis, mulai dari waste to energy hingga transisi energi. Narasi patriotisme terdengar manis.
Pertanyaan fundamentalnya, apakah Patriot Bond solusi pembiayaan inovatif atau justru distorsi pasar yang berisiko menggerus iklim investasi? Kuponnya jauh di bawah harga pasar.
Yield obligasi pemerintah saat ini di kisaran 6%–6,5%, sementara suku bunga acuan Bank Indonesia 5%. Perbedaan tajam berisiko mengganggu efisiensi alokasi modal, menekan likuiditas pasar utang, dan menciptakan preseden berbahaya tentang politisasi instrumen keuangan.
Patriot Bond menyasar kelompok usaha besar yang dianggap punya ‘kewajiban moral’ untuk berpartisipasi. Padahal, mereka umumnya tidak memiliki dana tunai menganggur Rp2 triliun–Rp5 triliun.
Struktur modal mereka sudah padat dengan rasio utang terhadap ekuitas relatif tinggi (leverage). Dengan kupon 2% per tahun, partisipasi hampir pasti mengorbankan investasi produktif yang menawarkan imbal hasil jauh lebih tinggi, atau bahkan menambah utang baru hanya untuk membeli Patriot Bond.
Dana yang seharusnya mengalir ke sektor bernilai tambah malah terparkir di instrumen berimbal hasil rendah. Ini bentuk nyata misallocation of capital, salah alokasi modal, yang merugikan perekonomian jangka panjang.
Prinsip dasar pasar adalah efisiensi alokasi: modal mengalir ke proyek dengan imbal hasil terbaik setelah memperhitungkan risiko. Patriot Bond memaksa logika sebaliknya, dana masuk bukan karena prospek, melainkan tekanan politik. Nilai Rp50 triliun bukan jumlah kecil. Angka ini lebih dari separuh proyeksi penerbitan obligasi korporasi domestik 2025 yang hanya sekitar Rp90 triliun. Pasar obligasi Indonesia sendiri dangkal dan minim likuiditas.
Masuknya instrumen baru sebesar itu menimbul-kan risiko crowding out.Masalahnya, Danantara tidak meminjam langsung ke pasar, melainkan “mengalihkan” beban pembiayaan ke kelompok usaha besar yang didorong untuk membeli obligasi ini. Akibatnya, utang quasi pemerintah berubah wujud menjadi utang korporasi.
Banyak perusahaan harus menambah pinjaman demi memenuhi kewajiban ‘patriotik’ ini. Terjadilah fenomena double leverage: liabilitas meningkat tanpa penciptaan aset produktif. Risiko sistem keuangan pun membengkak. Efek lanjutan lebih serius.
Dengan Rp50 triliun tersedot ke Patriot Bond, ruang pembiayaan proyek swasta menyempit. Likuiditas di pasar berkurang, biaya pin-jaman bagi perusahaan lain justru naik. Terjadi kontradiksi: pemerintah menikmati dana murah 2% per tahun, sementara sektor swasta menghadapi lonjakan biaya pinjaman.
Patriot Bond menciptakan efek crowding out di sistem perbankan yang merugikan sektor riil. Untuk membeli Patriot Bond, konglomerat tak serta-merta menggunakan kas internal. Sebagian besar harus menambah pinjaman bank atau menarik plafon kredit. Inilah jebakan tersembunyi.
Dana bank yang seharusnya bisa mengalir ke 500.000 UMKM itu, kini tersedot untuk membiayai ‘investasi patriotik’ konglomerat. Bank terpaksa mengalihkan portofolio kredit dari sektor produktif, warung, bengkel, hingga usaha kelu-arga, ke pembiayaan obligasi pemerintah dengan imbal hasil rendah.
Ini bentuk salah alokasi sumber daya finansial dalam skala besar. Dampaknya langsung terasa di sektor UMKM yang menjadi mesin pertumbuhan inklusif.
Employment multipliernya jauh lebih tinggi. Setiap Rp100 juta kredit bisa menciptakan 8–12 lapangan kerja baru. Sebaliknya, Rp100 juta yang terserap ke proyek teknologi Danantara hanya menampung 1–2 tek-nisi spesialis.
Artinya, sistem finansial berpotensi kehilangan ratusan ribu peluang kerja demi membiayai proyek elite. Pasar membaca sinyal, dan sinyal Patriot Bond negatif. Tidak ada korporasi besar di Indonesia yang mampu menerbitkan obligasi berbu-nga 2% per tahun ketika BI rate 5% per tahun. Bahkan pemerintah harus membayar yield 6% per tahun.
Kupon 2% per tahun hanya mungkin bagi negara berperingkat AAA seperti Jerman atau Singapura, dengan cadangan devisa raksasa dan kredibili-tas fiskal tinggi. Jika Danantara bisa di 2% per tahun, jelas alasannya bukan fundamental, melainkan tekanan politik.
Investor asing bisa menangkap pesan berbahaya: Indonesia bersedia mengorbankan logika pasar demi agenda politik. Konsekuensinya, policy risk meningkat dan kepercayaan pasar terganggu. Patriot Bond lahir dari niat baik untuk mengusung gotong royong.
Namun tanpa studi kelayakan dan roadmap penciptaan kerja yang jelas, ia rawan sekadar menjadi par kir dana murah 2% di SUN, kosmetik bagi kinerja keuangan Danantara. Dengan risiko crowding out, double leverage, dan terimpitnya ruang kredit UMKM, Patriot Bond lebih menyerupai solusi semu ke timbang jawaban nyata.
Alih-alih inovasi pembiayaan pe merintah, Patriot Bond justru berpotensi merusak iklim investasi dan memperlambat pertumbuhan. Padahal, pemerintah memiliki opsi pembiayaan yang le bih sehat dan kredibel.
Misalnya, green bond dengan kupon kompetitif, skema public-private partnership dengan government guaran-tee, atau instrumen credit enhancement yang menurunkan biaya pinjaman karena faktor fundamental, bukan tekanan politik.
Bahkan di luar pasar, corporate and social responsibility (CSR) atau dana gotong royong tetap bisa digalang tanpa mengorbankan kredibilitas sistem keuangan. Patriotisme tidak boleh dibayar dengan distorsi pasar.
Apabila pemerintah ingin menjaga semangat gotong royong, instrumen pembiayaan harus tetap kredibel, transparan, dan mampu mendorong penciptaan nilai tambah bagi.***