Bogordaily.net – Akhirnya, kepala desa Cikuda, Kecamatan Parungpanjang, Kabupaten Bogor, berinisial AS, resmi ditahan polisi.
Kasusnya? Ia diduga terlibat korupsi dokumen jual beli tanah—sebuah praktik yang kerap dianggap “biasa” di level desa, tapi kali ini berujung jeruji besi.
“Sudah kami lakukan penahanan,” kata Kasatreskrim Polres Bogor AKP Anggi Eko Prasetyo, singkat saja, Sabtu, 24 Oktober 2025.
Tidak banyak yang ia ungkap. Soal waktu dan lokasi penangkapan, Anggi memilih diam. “Sementara itu dulu yang bisa saya sampaikan,” ujarnya.
Tapi publik sudah tahu lebih dulu. Sebuah Surat Ketetapan Nomor: S.Tap / 409 / X / Res.T.24 / 2025 / Reskrim, yang ditandatangani AKP Teguh Kumara pada 3 Oktober lalu, telah menetapkan AS sebagai tersangka tindak pidana korupsi gratifikasi penerbitan dokumen jual beli objek tanah di wilayahnya.
Dalam surat itu juga disebutkan, penyidik menemukan dua alat bukti yang sah—baik dari keterangan saksi maupun barang bukti—yang cukup untuk menyeret AS ke meja hijau.
Korupsi Kades: Modus Lama, Aktor Baru
Kasus seperti ini sesungguhnya bukan hal baru di tingkat desa. Modusnya pun klasik: memanfaatkan jabatan untuk memperlancar proses administratif tanah.
Bedanya, kali ini polisi bertindak cepat. Kades Cikuda diduga menerima “sesuatu”—uang atau fasilitas—sebagai imbalan atas tanda tangan yang seharusnya gratis.
Ia pun dijerat pasal korupsi karena “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”.
Bahasanya formal, tapi maknanya jelas: ada uang pelicin di balik tanda tangan seorang kepala desa.
DPMD: Bisa Diberhentikan Sementara
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Bogor), Hadijana, mengatakan Kades AS bisa diberhentikan sementara bila sudah ada penetapan resmi dari kepolisian.
“Harus ada penetapannya dulu, sesuai Perbup,” ujar Hadijana.
Menurutnya, surat penetapan tersangka itu kini tengah dikonsultasikan ke bagian hukum. “Nanti BPD bisa mengajukan permohonan pemberhentian kepada bupati,” katanya.
Kini, masyarakat Cikuda hanya bisa menunggu. Siapa penggantinya? Bagaimana nasib administrasi tanah yang tersendat?
Dan yang paling penting—apakah kasus ini jadi pelajaran bagi kepala desa lain yang masih bermain di wilayah abu-abu antara pelayanan publik dan godaan uang mudah?
Karena seperti biasa, korupsi di desa sering dimulai dari selembar surat tanah.***
