Bogordaily.net — Departemen Sejarah Universitas Indonesia resmi menutup rangkaian kegiatan History Fair UI 2025melalui acara Screening Film & Grand Closing yang digelar di Auditorium Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pada Senin (27/10).
Acara ini dihadiri oleh dosen, mahasiswa, pelajar, dan komunitas sejarah dari berbagai daerah.
Kegiatan dibuka dengan sambutan dari panitia dan perwakilan akademik. Pembawa acara menegaskan bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga sesuatu yang harus terus
diceritakan dan dikenang untuk masa depan.
Ketua Umum History Fair, Arina, menyampaikan apresiasi atas kerja keras seluruh panitia dan peserta selama persiapan hingga pelaksanaan.
“Butuh perjuangan panjang untuk sampai di titik ini. Setiap panitia dan peserta memberi kontribusi besar agar History Fair bisa jadi wadah belajar dan berekspresi bagi generasi muda pecinta sejarah,” ujar Arina.
Perwakilan dari Departemen Ilmu Sejarah UI turut menekankan pentingnya kegiatan semacam ini dalam menjaga relevansi studi sejarah di tengah perkembangan zaman.
“Sejarah tidak akan kehilangan relevansinya. Justru ke depan, sejarah harus jadi landasan berpikir
kritis dan reflektif bagi mahasiswa maupun masyarakat,” tuturnya.
Diskusi: Tantangan dan Harapan Pembuat Film Dokumenter Muda
Setelah sambutan pembuka, acara berlanjut dengan diskusi panel bertema tantangan dan peluang pembuat film muda dalam menggarap dokumenter bertema sejarah dan sosial.
Diskusi menghadirkan dua narasumber: Dr. Didik Pradjoko, S.S., M.Hum, dosen Departemen Sejarah UI, dan JJ Rizal, sejarawan.
Para pembicara menyoroti mahalnya biaya produksi dokumenter, terutama untuk mendapatkan arsip sejarah seperti rekaman Soekarno dari Library of Congress.
Dr. Didik menjelaskan bahwa dokumenter yang kuat tidak cukup hanya mengandalkan sinematografi, tetapi juga harus berangkat dari riset mendalam.
“Bagian riset yang terkait masyarakat ini harus diupayakan mendapatkan dukungan yang serius. Film dokumenter yang baik adalah hasil dari pengawasan pengetahuan yang cukup,” jelasnya.
Sementara itu, JJ Rizal menambahkan bahwa diperlukan subsidi, kolaborasi dengan lembaga pendidikan, dan dukungan pemerintah agar para pembuat film muda memiliki akses terhadap sumber sejarah dan pendanaan produksi. Ia juga menilai perlu adanya forum komunitas agar karya-karya dokumenter mahasiswa bisa lebih banyak dipamerkan di ruang publik.l
Menjelang akhir acara, panitiavmenampilkan film “Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan” sebelum dilanjutkan dengan sesi pengumuman pemenang lomba.
Dalam kategori Lomba Film Dokumenter, juara pertama diraih oleh Sembagi Aruntala Dananjaya, disusul Phoenix Studio di posisi kedua, dan d’armanville Wisdom di posisi ketiga.
Penghargaan tambahan diberikan kepada:
•Best Cinematography: d’armanville Wisdom
•Best Story: Phoenix Studio
•Best Poster: Sembagi Aruntala Dananjaya
Untuk Lomba Debat, juara pertama dimenangkan oleh SMA Negeri 18 Bandung, diikuti SMA Kristen 1BPK dan SMA Kristen Gamaliel di posisi ketiga.
Sedangkan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah, Tim Blora (Universitas Padjajaran) meraih juara pertama, disusul Tim Pembumi (Universitas Padjajaran) dan Tim Abipraya (Universitas Negeri Semarang).
Salah satu peserta debat, Evan Emmanuel Leslie dari SMAK Gamaliel, mengungkapkan rasa haru dan bangga atas pengalaman lombanya.
Ia menilai kompetisi ini bukan hanya ajang beradu argumen, tetapi juga wadah untuk melatih logika dan kerja sama tim.
Acara kemudian ditutup dengan sesi foto bersama seluruh peserta, panitia, dan tamu undangan sebagai simbol berakhirnya History Fair UI 2025.
Panitia berharap kegiatan ini menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus menelusuri sejarah melalui karya kreatif dan berpikir kritis terhadap masa depan.***
