Friday, 17 October 2025
HomeOpiniMeneguhkan Arah Baru Pendidikan Indonesia: Bermutu, Merata, dan Berkarakter

Meneguhkan Arah Baru Pendidikan Indonesia: Bermutu, Merata, dan Berkarakter

Bogordaily.net – Pagi di Sabu, Nusa Tenggara Timur, seorang guru berdiri di depan kelas berdinding bata merah, mengawali pelajaran dengan doa dan senyum. Sementara di Batu, Jawa Timur, sekelompok siswa menatap layar interaktif di laboratorium digital mereka, belajar sains dengan semangat yang sama. Dua potret yang berbeda pulau, tapi kini terikat oleh satu hal, perubahan nyata dalam wajah pendidikan Indonesia.

Dalam satu tahun terakhir, gema reformasi pendidikan menggema dari ujung timur hingga barat negeri.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat, sepanjang Oktober 2024 hingga Oktober 2025, tujuh program prioritas berhasil dijalankan dengan total anggaran mencapai Rp181,72 triliun.

Sebuah langkah besar untuk mewujudkan mimpi lama bangsa ini — pendidikan yang bermutu, merata, dan berkarakter.

Salah satu capaian paling terasa adalah Program Revitalisasi Satuan Pendidikan, yang menandai babak baru pembenahan sekolah dari PAUD hingga SMA/SMK dan SLB.

Dengan alokasi Rp16,97 triliun, program ini tidak hanya melampaui target awal 10.440 satuan pendidikan, tapi berhasil menjangkau 15.523 sekolah di seluruh Indonesia.

Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen, Gogot Suharwoto (2025), menyebutkan hasil evaluasi menunjukkan potensi optimalisasi lebih luas lagi, hingga 16.000 satuan pendidikan.

Tak hanya itu, program Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) juga mencatat peningkatan signifikan, dari target 982 menjadi 1.943 satuan pendidikan, hampir dua kali lipat dari rencana awal.

Namun yang membuat program ini berbeda bukan sekadar jumlah sekolah yang direnovasi, melainkan cara masyarakat dilibatkan. Revitalisasi dijalankan dengan model swakelola berbasis gotong royong, di mana warga sekitar, guru, dan pemerintah daerah bahu-membahu memperbaiki ruang belajar.

Di Kudus, warga dan guru SMPN 1 Bae bersama-sama membangun toilet ramah disabilitas, memastikan setiap siswa — termasuk yang berkebutuhan khusus — punya akses yang sama untuk belajar dengan nyaman.

Sementara di Kota Batu, bantuan revitalisasi senilai Rp1,7 miliar menghidupkan kembali 293 satuan pendidikan.

“Pendidikan bukan sekadar urusan angka, tapi urusan masa depan dan peradaban,” ujar Henry Suyanto, Wakil Wali Kota Batu. “Kemajuan kota tak diukur dari tinggi gedungnya, tapi dari semangat belajar anak-anaknya.”

Di balik data dan proyek yang berjalan, ada denyut kehidupan yang baru. Para pekerja lokal mendapat penghasilan tambahan dari proyek perbaikan sekolah, pedagang kecil di sekitar area pembangunan ikut merasakan dampak ekonomi, dan yang terpenting — anak-anak kembali punya alasan untuk bersemangat datang ke sekolah.

Meski demikian, ada satu catatan yang tak boleh diabaikan: revitalisasi fisik tidak boleh berhenti di tembok dan genting baru.

Banyak bangunan kini berdiri megah, tapi tanpa transformasi pedagogi dan peningkatan kompetensi guru, ruang belajar itu bisa kehilangan ruhnya.

Pendidikan yang hidup bukan sekadar tempat yang layak, tetapi proses yang menumbuhkan cara berpikir dan karakter.

Di sinilah tantangan berikutnya dimulai — memastikan bahwa setiap bangunan yang berdiri, juga menegakkan martabat manusia yang belajar di dalamnya.

Transformasi Struktural Digital dan Keadilan Pengetahuan untuk Indonesia
Gelombang transformasi digital kini menjadi denyut utama dalam pembaruan pendidikan nasional.

Sejak diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Digitalisasi Pendidikan Nasional, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjadikan teknologi sebagai jembatan kesetaraan belajar, bukan sekadar simbol modernitas.

Program ini mencakup lebih dari 285.000 satuan pendidikan, dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), yang kini mulai terhubung dengan sistem pembelajaran digital terpadu.

Di banyak daerah, perubahan ini terasa nyata. Di Jayapura, televisi pendidikan kembali hidup sebagai pusat belajar komunitas; di Tarakan, radio lokal menyiarkan pelajaran setiap sore bagi anak-anak pesisir; sementara di
Palu, siswa SMP menggunakan tablet untuk mengakses modul Kurikulum Merdeka. Pemandangan semacam ini menandai bahwa digitalisasi kini bukan milik kota besar semata, tetapi mulai menyapa daerah yang dulu jauh dari jangkauan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menunjukkan bahwa 68% sekolah di wilayah 3T kini memiliki akses internet, meningkat 14% dari tahun sebelumnya.

Angka ini adalah kemajuan penting, namun juga cermin dari pekerjaan rumah besar: 32% sekolah masih belum memiliki konektivitas memadai.

Kesenjangan digital inilah yang menjadi tantangan utama bagi Indonesia dalam memastikan prinsip keadilan pengetahuan benar-benar terwujud.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan, “Digitalisasi bukan tentang teknologi semata, tapi tentang keadilan pengetahuan.”

Pernyataan ini menjadi garis bawah dari kebijakan digital yang berpihak pada pemerataan. Pemerintah tidak hanya mengandalkan jaringan internet, tetapi juga memperkuat sarana belajar digital dengan menyalurkan 288.000 Papan Interaktif Digital (Interactive Flat Panel/IFP) ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.

Di SMKN 1 Kudus, guru Puji Basuki menceritakan bahwa sejak perangkat tersebut digunakan, “Anak-anak jadi lebih antusias. Mereka merasa belajar itu bukan tugas, tapi pengalaman.”

Kalimat sederhana itu mengandung pesan besar: teknologi, ketika dimaknai dengan benar, dapat mengubah suasana kelas menjadi ruang tumbuh yang inspiratif.

Namun, para pengamat pendidikan mengingatkan bahwa distribusi alat tidak serta merta berbanding lurus dengan peningkatan mutu.

Kajian Pusat Studi Pendidikan UGM (2025) mengungkapkan bahwa pelatihan guru dalam mengintegrasikan teknologi baru menjangkau 47% tenaga pendidik di luar Pulau Jawa.

Artinya, hampir separuh guru di wilayah 3T belum memiliki kemampuan memadai untuk menggunakan Learning Management System (LMS) atau memproduksi konten pembelajaran digital secara efektif.

Menurut Darmaningtyas, pengamat pendidikan nasional, masalah utama bukan pada ketiadaan perangkat, tetapi pada minimnya literasi digital guru dan keberlanjutan program pelatihan.

Dalam wawancaranya dengan Kompas (2025), ia menegaskan, “Kita sering sibuk menyalurkan alat, tapi lupa menyiapkan manusianya. Tanpa kapasitas guru, digitalisasi hanya akan jadi pajangan teknologi.”

Kritik ini senada dengan laporan Bank Dunia (2024) yang menyoroti bahwa transformasi pendidikan di negara berkembang sering gagal karena ketidakseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan investasi pada sumber daya manusia.

Selain soal pelatihan, aspek kurasi konten digital pendidikan juga menjadi perhatian. Banyak sekolah mulai memanfaatkan sumber belajar daring tanpa pengawasan mutu yang memadai.

Indra Charismiadji, praktisi pendidikan digital, menyebutkan, “Teknologi tanpa panduan bisa menyesatkan. Yang dibutuhkan bukan sekadar akses, tapi arahan agar siswa belajar dari sumber yang kredibel, bukan sekadar viral.” (Republika, 2025).

Di sisi lain, kemajuan digital juga membawa implikasi sosial yang perlu diwaspadai. Sebagian orang tua di daerah menilai bahwa pembelajaran daring justru meningkatkan ketimpangan karena anak-anak mereka belum terbiasa belajar mandiri.

Hasil survei Katadata Insight Center (KIC, 2025) tentang Persepsi Publik terhadap Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) menunjukkan bahwa, meski 88% responden menilai sistem digitalisasi pendidikan lebih baik dari sebelumnya, sekitar 24,9% orang tua masih mengeluhkan minimnya sosialisasi dan kendala teknis sistem daring — mulai dari akses server hingga kejelasan prosedur pendaftaran.

Fakta ini menegaskan bahwa digitalisasi bukan hanya soal konektivitas, tetapi juga komunikasi. Tanpa sosialisasi yang masif dan literasi digital masyarakat yang kuat, kebijakan canggih bisa kehilangan maknanya di lapangan.

Maka, jika pemerintah ingin memastikan digitalisasi benar-benar menjadi jembatan kesetaraan, bukan jurang baru, dua langkah harus ditempuh.

Pertama, memperluas pelatihan guru dengan pendekatan berjenjang dan berbasis daerah. Kedua, memperkuat literasi digital masyarakat agar mampu mengawal perubahan ini dari bawah.

Karena pada akhirnya, keberhasilan digitalisasi bukan diukur dari seberapa banyak sekolah yang terkoneksi, melainkan seberapa jauh pengetahuan dapat diakses dan dimaknai oleh semua anak bangsa — dari Jakarta hingga Pegunungan Bintang.

Teknologi hanyalah alat; yang menentukan keadilan tetaplah manusia.
Bermutu, Merata, dan Berkarakter Demi Pendidikan Indonesia Emas
Pada akhirnya, perjalanan pendidikan Indonesia sepanjang Oktober 2024–Oktober 2025 bukan sekadar rentetan program dan angka anggaran.

Ia adalah kisah tentang bangsa yang sedang berusaha meneguhkan arah barunya — menata kembali nilai, membangun pondasi, dan menyalakan harapan dari ruang-ruang belajar yang dulu sunyi.

Dari revitalisasi satuan pendidikan yang kini menjangkau lebih dari 15 ribu sekolah di seluruh penjuru negeri, pemerintah tidak hanya membangun dinding dan atap, tetapi juga membangun rasa percaya diri anak-anak di pelosok.

Program ini menghidupkan kembali semangat gotong royong — dari tukang batu di Sabu hingga guru di Kudus, semua bergerak dengan tujuan yang sama: menghadirkan ruang belajar yang layak bagi setiap anak Indonesia.

Transformasi berlanjut melalui digitalisasi pendidikan nasional, yang kini membuka akses bagi lebih dari 285 ribu sekolah di bawah payung Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025.

Di banyak daerah, ruang kelas berubah menjadi pusat konektivitas — tablet menggantikan papan tulis, dan sinyal menjadi jembatan pengetahuan.

Namun di balik kemajuan itu, pekerjaan rumah tetap ada: masih ada 32% sekolah di wilayah tertinggal yang belum menikmati koneksi internet stabil (BPS, 2025). Tantangan ini mengingatkan bahwa teknologi tanpa pemerataan hanyalah kemewahan yang berpihak.

Di tengah transformasi digital, guru tetap menjadi jantung perubahan. Pemerintah menyalurkan lebih dari Rp13,2 triliun untuk mendukung kesejahteraan dan pengembangan profesi mereka — dari tunjangan profesi hingga fasilitasi pendidikan lanjut.

Di ruang kelas, perubahan itu mulai tampak: guru tak lagi sekadar pengajar, tapi fasilitator pembelajaran yang hidup.

Meski demikian, masih banyak yang menantikan sistem yang memberi ruang lebih luas untuk refleksi dan kreativitas, bukan hanya rutinitas administratif. Sebab, kesejahteraan tanpa kebebasan berpikir hanyalah separuh reformasi.

Untuk siswa, kebijakan afirmatif seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) menjadi benteng keadilan sosial.
Lebih dari 18 juta anak kini dapat terus bersekolah tanpa terbebani biaya, sementara program BOSP senilai Rp59 triliun memastikan sekolah-sekolah tetap hidup dan berfungsi optimal.

Di tengah semua itu, sistem Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) lahir sebagai simbol perubahan struktural — menggantikan PPDB dengan sistem yang lebih adil dan transparan.

Laporan Katadata Insight Center (2025) menunjukkan lebih dari 90% publik menilai SPMB memperbaiki pemerataan akses dan transparansi seleksi, meski tantangan sosialisasi dan kendala teknis masih perlu diperbaiki.

Seperti yang diingatkan oleh pengamat kebijakan publik Darmaningtyas, “reformasi administratif baru akan bermakna jika publik merasa menjadi bagian dari prosesnya.”

Dan di antara semua kebijakan besar itu, terselip program sederhana namun bermakna — “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat.”

Bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur tepat waktu — nilai-nilai yang sederhana, tapi justru menjadi inti pendidikan yang sejati: membentuk manusia yang sehat, berkarakter, dan tangguh.

Di banyak sekolah, kebiasaan kecil ini tumbuh menjadi budaya. Murid datang lebih pagi, guru lebih bersemangat, dan suasana belajar menjadi lebih hidup.
Menurut laporan Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (2025), kehadiran siswa meningkat 72% dan kedisiplinan guru meningkat signifikan di sekolah-sekolah pelaksana program tersebut.

Semua ini memberi pesan yang sama pendidikan Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih matang dan manusiawi.
Revitalisasi memberi tubuh, digitalisasi memberi jembatan, dan pembentukan karakter memberi jiwa.

Namun seperti halnya setiap perjalanan besar, masih banyak ruang untuk refleksi. Ketimpangan akses, beban administratif, dan sosialisasi kebijakan masih menjadi tantangan yang menuntut keberanian untuk terus memperbaiki diri.

Sebagaimana disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam kunjungannya ke Kudus, “Pendidikan bukan proyek pemerintah, tapi perjalanan bangsa — untuk memastikan setiap anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi.”

Dan mungkin di sanalah inti dari seluruh capaian ini pendidikan Indonesia tidak lagi sekadar mengejar angka, tetapi tengah menulis bab baru tentang kesetaraan, martabat, dan masa depan yang terbuka bagi semua.

Menyemai Nilai, Menumbuhkan Manusia

Setelah semua infrastruktur berdiri megah dan kebijakan dijalankan dengan anggaran besar, ujung dari setiap reformasi pendidikan selalu kembali pada satu hal yang paling mendasar: manusia. Sebab, pendidikan sejati bukan sekadar urusan membangun ruang kelas, melainkan membangun jiwa yang berkarakter.

Dalam semangat itulah lahir program “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” — sebuah gerakan sederhana namun sarat makna. Bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur tepat waktu.

Tujuh kebiasaan yang tampak biasa, tetapi justru di situlah pondasi luar biasa diletakkan: menanam disiplin, menumbuhkan empati, dan menghidupkan kesadaran moral sejak dini.

Program ini kini diterapkan di ribuan PAUD, SD, dan SLB di seluruh penjuru negeri. Berdasarkan laporan Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar (2025), tingkat kehadiran siswa meningkat hingga 72%, sementara kedisiplinan guru melonjak tajam di berbagai wilayah.

Dari data itu tampak bahwa perubahan perilaku bisa tumbuh ketika nilai tidak hanya diajarkan, tapi dihidupkan setiap hari.

Namun di balik capaian yang menggembirakan itu, ada pesan reflektif yang perlu direnungkan bersama. Pendidikan karakter tidak tumbuh dari slogan atau peraturan, tetapi dari keteladanan dan kebersamaan.

Di SMA Negeri 1 Kudus, misalnya, setiap pagi anak-anak memulai hari dengan senam bersama dan sarapan sehat.

Seorang kepala sekolah di Yogyakarta berujar dengan tulus, “Ketika anak belajar dengan gembira, karakter tidak diajarkan, melainkan tumbuh.”

Kalimat itu menegaskan bahwa pendidikan moral hanya akan hidup jika guru dan lingkungan menjadi cermin nilai yang ingin ditanamkan.

Kini, Indonesia sedang menulis bab baru dalam perjalanan pendidikannya — bukan lagi tentang ketimpangan dan keterbelakangan, melainkan tentang kesetaraan, martabat, dan kemanusiaan yang tumbuh dari ruang-ruang belajar yang hidup.

Revitalisasi yang menyentuh akar, digitalisasi yang menjembatani jarak, serta kebijakan afirmatif yang memuliakan guru dan murid — semuanya berpadu menjadi arah baru pendidikan nasional yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berjiwa.

Namun perjalanan ini belum selesai. Masih banyak ruang untuk memperbaiki, mendengar, dan berefleksi. Sebab kritik bukanlah penolakan, melainkan bentuk cinta terhadap masa depan bangsa.

Seperti disampaikan Abdul Mu’ti, “Pendidikan bukan proyek pemerintah, melainkan perjalanan bangsa.”

Dan perjalanan itu kini benar-benar sedang berlangsung — di ruang kelas yang kembali hidup, di wajah murid yang berani bermimpi, dan di hati para guru yang kembali percaya bahwa mengajar adalah bentuk cinta paling tulus kepada negeri.***

Penulis: Thoriq Anshorullah
Pengamat Pendidikan Asal Jabodetabek

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here