Monday, 27 October 2025
HomeKota BogorMuter-muter Benahi Angkot

Muter-muter Benahi Angkot

Pagi itu, suara klakson angkot masih berisik di seputaran Jalan Raya Kapten Muslihat. Seperti biasa, sopir-sopirnya berseru memanggil penumpang yang semakin jarang. Namun tak lama lagi, pemandangan ini bakal berubah.

Mulai 1 Januari 2026, Pemerintah Kota Bogor akan menurunkan “palang merah” bagi sekitar 1.940 unit angkot yang sudah berumur lebih dari dua dekade.

“Kendaraan yang umur teknisnya sudah lewat 20 tahun tidak boleh beroperasi lagi,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Bogor, Sujatmiko Baliarto, kepada wartawan.

Langkah ini bukan keputusan sepihak. Dishub mengaku sudah berkoordinasi dengan Organda Kota Bogor. Tiga mekanisme pengurangan disiapkan: konversi tiga jadi satu, pengurangan sukarela di jalur Sistem Satu Arah (SSA), serta pengurangan alami karena penurunan penumpang.

Angka penurunan memang nyata. Load factor angkot kini hanya 25–30 persen. Dari seratus kursi yang tersedia di seluruh kota, hanya sepertiganya yang terisi. “Usaha ini tidak lagi potensial,” kata Sujatmiko. “Banyak pemilik menyerahkan sendiri armadanya.”

Muter-muter Benahi Angkot

Untuk memastikan aturan ini berjalan, Dishub menggandeng polisi dan pemerintah provinsi menggelar operasi terpadu.

Targetnya: menertibkan angkot yang sudah tak laik jalan, termasuk “angkot modifikasi” seperti odong-odong yang sering menumpang jalur resmi.

Muter-muter Benahi Angkot

Sopir Gelisah, Organda Serba Salah

Namun kebijakan itu menimbulkan gelombang keluh kesah dari pengemudi. Di Terminal Bubulak, Warno—Ketua KKSU trayek 07—menghela napas panjang. “Kami bukan tidak mau peremajaan,” ujarnya. “Tapi bagaimana caranya, untuk beli satu angkot baru saja tidak ada uang. Leasing pun tidak mau bantu.”

Menurut Warno, jalur trayek 07 seharusnya bukan jalur utama, melainkan feeder. Ia menuding BusKita Transpakuan kini ikut masuk jalur itu, merebut penumpang yang tersisa. “Kami ini ingin ikut aturan, tapi tolong jangan matikan kami pelan-pelan,” katanya.

Dari sisi pengusaha, masalahnya bukan sekadar soal usia kendaraan, tapi ketiadaan skema finansial untuk peremajaan. “Kami ingin tahu aturan jelasnya. Tapi dari Organda sendiri belum bisa menjelaskan,” kata Warno.

Organda di Tengah Dua Arus

Ketua DPC Organda Kota Bogor, Sunaryana, berada di posisi sulit: di antara tekanan Dishub dan jeritan sopir. “Banyak angkot yang sudah melewati batas usia, surat-surat mati, kondisi tak laik jalan. Itu melanggar aturan,” katanya. Tapi ia juga paham keresahan anggotanya.

Organda, kata dia, sudah menyampaikan aspirasi sopir agar penindakan tidak langsung berupa penyitaan, melainkan diberi tanda larangan operasi dulu. “Kami tidak bisa memutuskan sepihak. Akan kami koordinasikan dengan Dishub,” ujar Sunaryana.

Meski begitu, Sunaryana mengakui desakan dari warga tak bisa diabaikan. “Masyarakat menginginkan transportasi yang lebih aman dan nyaman. Penertiban ini memang penting untuk perbaikan layanan.”

Ke depan, Organda dan Dishub tengah menyiapkan program rerouting dan reduksi trayek—serta usulan masa transisi dengan subsidi sopir agar tak kehilangan penghasilan saat kendaraannya diganti.

Rute Lama, Pasar Baru

Perubahan juga terjadi di jalur. Seiring pembongkaran Pasar Bogor, lima trayek angkot kini dialihkan ke Pasar Sukasari dan Pasar Gembrong, dua pusat ekonomi baru kota itu.

Trayek 11 AK, 04 AK, 03 AKDP, 04 A, dan 28 AP termasuk yang bergeser. Uji coba dilakukan sejak Oktober. Petugas Dishub disiagakan di titik-titik rawan macet seperti Surken dan Pahlawan untuk mengatur lalu lintas.

“Sentra perekonomian sudah bergeser ke Sukasari,” kata Sujatmiko. Ia memastikan armada yang berubah trayek tidak termasuk dalam program reduksi.

Angkot Dibelokkan, Pasar Dihidupkan

Dukungan datang dari parlemen daerah. Anggota DPRD Kota Bogor dari Fraksi PAN, Achmad Rifki Alaydrus, menilai kebijakan rerouting angkot bisa menjadi napas baru bagi aktivitas ekonomi di Pasar Jambu Dua yang sempat meredup.

“Harus ada pengalihan rute angkot agar pasar kembali hidup,” kata Rifki saat ditemui di kantor DPRD, pekan lalu. “Pembeli perlu akses langsung ke dalam pasar. Selama ini pedagang mengeluh karena pembeli malas berjalan jauh.”

Langkah ini tak berdiri sendiri. Di sisi lain, Direktur Utama Perumda Pasar Pakuan Jaya (PPJ), Jenal Abidin, memastikan rencana rerouting sudah dibahas bersama Dinas Perhubungan (Dishub) dan Organda.

“Angkot harus masuk ke area pasar. Itu sudah sering kami bicarakan,” ujar Jenal. “Mungkin pekan depan kami akan kembali berkoordinasi dengan Dishub.”

Menurut Jenal, respons Dishub kali ini cukup positif. “Alhamdulillah, mereka responsif. Komunikasi berjalan baik. Kami berharap kolaborasi ini benar-benar bisa dieksekusi,” katanya.

Skema pengalihan trayek menuju Pasar Jambu Dua ditargetkan mulai berlaku awal Oktober 2025. PPJ akan menggelar rapat teknis pekan depan untuk mematangkan langkah-langkah pelaksanaan.

Tak berhenti di sana, PPJ juga mengusulkan kebijakan serupa untuk Pasar Sukasari dan Pasar Bogor. “Kami ingin pola ini diperluas. Untuk Pasar Bogor, rencananya memang akan dibongkar dan ditata ulang,” ujar Jenal menutup pembicaraan.

Kota Sejuta Angkot yang Tak Kunjung Pensiun

Muter-muter Benahi Angkot

Meski berbagai upaya pembenahan dilakukan, Bogor masih sulit lepas dari julukan “kota sejuta angkot.” Jumlah BusKita Transpakuan yang disiapkan pemerintah masih jauh dari cukup. Warga pun belum benar-benar berpaling dari angkot, meski pelayanannya menurun.

“Bogor ini seperti terjebak di masa lalu,” ujar Yayat Supriatna, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti. “Moda transportasi baru belum mapan, sementara angkot yang sudah tua belum bisa ditinggalkan.”

Menurut Yayat, kunci masalahnya ada pada sinkronisasi kebijakan dan arah transportasi kota. “Harus ada kesepakatan bersama antara Pemkot dan pengusaha angkot. Kalau tidak, ya begini terus—muter-muter, tanpa kepastian.”

Bogor kini berdiri di persimpangan: tetap menjadi kota sejuta angkot, atau beranjak menjadi kota dengan transportasi publik modern. Tapi sebelum itu, pemerintah tampaknya masih harus memutar lebih lama—menyisir trayek lama dan mencari cara paling manusiawi untuk membenahi angkot.

Muter Roda, Melawan Nasib: Ratusan Sopir Angkot Geruduk Balai Kota Bogor

Pagi itu, Kamis 23 Oktober 2025, halaman Balai Kota Bogor berubah menjadi lautan warna biru tua dan abu-abu—warna-warna bodi angkot yang memenuhi sisi Jalan Ir. H. Djuanda.

Di antara deretan mobil yang berkarat dan spanduk lusuh bertuliskan “Sopir Juga Manusia”, ratusan sopir angkot berdiri berdesakan, sebagian masih mengenakan jaket seragam dengan logo trayek yang pudar.

Mereka datang bukan untuk mengangkut penumpang, tapi untuk mengadu nasib. Pemerintah Kota Bogor dianggap terlalu cepat menekan gas dalam menerapkan kebijakan pembatasan usia kendaraan.

“Kalau ini jalan terus, kami bisa mati pelan-pelan,” kata Nurdin Ahong, lelaki berusia 47 tahun yang siang itu menjadi orator utama. Suaranya parau, mungkin karena terlalu sering berteriak di atas mikrofon, atau mungkin karena terlalu sering menelan kecewa.

Muter-muter Benahi Angkot

Jalan Panjang Setelah Pandemi

Sejak pandemi Covid-19, roda ekonomi sopir angkot seolah terselip di lumpur. Pendapatan anjlok, cicilan kendaraan menumpuk, dan trayek makin sepi oleh serbuan transportasi daring. Pemulihan berjalan lambat, bahkan sebagian sopir kini bergantian narik dengan sistem harian agar tetap bisa makan.

“Baru juga mulai ramai penumpang lagi, tiba-tiba keluar aturan baru,” ujar seorang sopir dari trayek 03 jurusan Baranangsiang–Bubulak.

Kebijakan pembatasan usia kendaraan yang direncanakan Pemkot Bogor disebut sebagai “pukulan kedua setelah pandemi.” Tanpa dukungan kredit lunak, subsidi, atau program peremajaan yang nyata, mereka merasa diminta memperbarui kendaraan tanpa diberi peluang untuk hidup.

Antara Modernisasi dan Keadilan

Di mata para sopir, pemerintah tampak lebih berpihak pada transportasi modern. Mereka melihat kendaraan daring—dengan armada yang terus bertambah—kian merebut penumpang tanpa diimbangi pengawasan ketat.

“Kami bukan menolak modernisasi,” kata Nurdin lagi, “kami menolak ketidakadilan.”

Tuntutan mereka tidak muluk-muluk. Di antara deretan spanduk, tercantum enam poin aspirasi: penundaan batas usia kendaraan hingga 2030, reaktivasi program peremajaan angkot bersubsidi, pembukaan trayek baru, sistem shift bagi AKDP, percepatan pembangunan terminal perbatasan, dan pembatasan kendaraan online.

“Semua itu agar kami bisa tetap hidup berdampingan,” kata Nurdin.

Pemerintah yang Absen

Namun siang itu, tidak satu pun pejabat Pemkot Bogor turun menemui massa. Wali Kota, Wakil, bahkan perwakilan Dinas Perhubungan—semuanya absen. Suasana sempat memanas ketika massa menutup sebagian akses Jalan Ir. H. Djuanda.

“Kami datang damai, tapi tidak didengar,” keluh seorang sopir dari trayek 08.

Petugas kepolisian dan Satpol PP akhirnya turun tangan, menenangkan barisan agar tidak meluas. Aksi berakhir menjelang sore dalam suasana kecewa yang masih menggantung di udara.

Pertarungan Lama yang Belum Usai

Aksi sopir angkot Bogor bukan yang pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir. Sejak reformasi transportasi publik mulai digulirkan, mereka selalu berada di persimpangan: antara modernisasi dan kehilangan pekerjaan.

Bagi banyak warga, angkot memang lamban dan sering semrawut. Tapi bagi ribuan sopir dan keluarganya, kendaraan tua itu bukan sekadar alat angkut, melainkan sisa terakhir dari mimpi hidup mandiri.

Mereka tahu zaman berubah, tapi berharap perubahan tak datang secepat kebijakan yang melibas mereka. Seperti roda angkot yang berputar perlahan di tanjakan, mereka hanya ingin sedikit waktu untuk tetap berjalan di jalan yang sama—meski aspalnya kian menanjak.***

(Ibnu Galansa/Irfan Ramadan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here