Thursday, 16 October 2025
HomeNasionalPendidikan yang Hidup Kembali: Dari Revitalisasi Sekolah hingga Digitalisasi Harapan

Pendidikan yang Hidup Kembali: Dari Revitalisasi Sekolah hingga Digitalisasi Harapan

Bogordaily.net – Aflah Hatur Aufa, Pengamat Pendidikan & Ekonomi Banyumas Raya
Di berbagai pelosok negeri, gema perubahan pendidikan kini mulai terasa nyata. Dari ruang kelas sederhana di Pulau Sabu yang berdinding bata hingga sekolah menengah di lereng Gunung Panderman, Batu, denyut baru pendidikan Indonesia perlahan berirama. Suara tawa anak-anak yang belajar dengan tablet, papan tulis yang kembali penuh coretan, hingga gotong royong warga memperbaiki pagar sekolah — semua menandai bahwa pendidikan bukan lagi wacana, melainkan gerakan yang hidup di tengah masyarakat.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat capaian penting sepanjang Oktober 2024–Oktober 2025 melalui tujuh program prioritas dengan total anggaran Rp181,72 triliun. Visi utamanya sederhana tapi fundamental: memastikan setiap anak Indonesia, tanpa memandang di mana ia lahir, memiliki kesempatan belajar yang bermutu dan bermartabat.

Salah satu tonggak utama dari visi itu adalah Program Revitalisasi Satuan Pendidikan. Dengan alokasi dana Rp16,97 triliun, program ini tidak hanya mencapai, tetapi melampaui target—dari 10.440 menjadi 15.523 satuan pendidikan, mencakup PAUD hingga SLB. Namun, keberhasilan ini sejatinya bukan semata soal jumlah sekolah yang berdiri, melainkan tentang bagaimana ruang belajar itu kembali menemukan jiwanya.

Di banyak tempat, masyarakat tidak lagi menunggu bantuan datang, melainkan menjadi bagian dari perubahan. Di Kudus, misalnya, warga dan guru di SMPN 1 Bae bergotong royong membangun toilet ramah disabilitas dengan bahan lokal. Di Wonosobo, para petani menyumbangkan hasil panen untuk memperbaiki ruang kelas anak-anak mereka. Sementara di Kota Batu, bantuan revitalisasi senilai Rp1,7 miliar dimanfaatkan untuk memperbarui fasilitas di 293 satuan pendidikan.

“Pendidikan bukan urusan angka, melainkan urusan masa depan dan peradaban,” ujar Wakil Wali Kota Batu, Henry Suyanto, mengingatkan bahwa setiap bangunan sekolah sejatinya adalah investasi sosial yang berdampak lintas generasi.

Fenomena ini menggambarkan sesuatu yang lebih dalam: pendidikan kini mulai kembali ke pangkuan rakyatnya. Program revitalisasi tidak hanya menciptakan ruang belajar yang layak, tetapi juga menumbuhkan kembali gotong royong—nilai yang dulu menjadi roh pendidikan nasional sejak era Ki Hajar Dewantara. Ketika masyarakat turut serta, sekolah bukan lagi milik pemerintah, tetapi milik bersama.

Dampak ekonominya pun terasa. Ribuan pekerja lokal terlibat dalam proses pembangunan, dari tukang, pengrajin, hingga penyedia material. Di beberapa daerah, dana revitalisasi menjadi pemicu ekonomi mikro yang menghidupkan usaha kecil di sekitar sekolah.

Namun, capaian ini menyisakan satu catatan penting: pembangunan fisik hanyalah kulit luar dari pembaruan pendidikan. Tantangan sesungguhnya ada pada revitalisasi pedagogi dan mentalitas belajar. Banyak sekolah memang sudah berdiri megah, tetapi cara mengajar dan mengelolanya sering masih berorientasi pada hafalan, bukan pada pembentukan karakter dan kreativitas.

Bangunan yang kokoh perlu diisi dengan semangat belajar yang baru—lebih kontekstual, kolaboratif, dan berakar pada kehidupan nyata. Jika tidak, tembok baru itu hanya akan menjadi monumen tanpa jiwa.

Karena itu, keberhasilan revitalisasi harus diukur bukan hanya dari berapa banyak ruang kelas dibangun, tetapi dari seberapa banyak hati dan pikiran yang tersentuh di dalamnya.

Digitalisasi Pendidikan: Menjembatani Jarak, Menghapus Sekat
Transformasi berikutnya adalah digitalisasi pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025. Inpres ini membuka akses pembelajaran digital bagi lebih dari 285.000 sekolah—dari PAUD hingga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).

Kini, televisi pendidikan di Papua menjadi ruang belajar kolektif; radio komunitas di Kalimantan Utara menyiarkan pelajaran setiap sore; dan di Sulawesi Tengah, tablet menjadi jendela ilmu bagi siswa pedalaman. Perubahan ini membuktikan bahwa smart classroom bukan lagi milik kota besar semata.

Namun, transformasi digital tak berhenti pada perangkat. Pemerintah juga menyiapkan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai langkah menuju standardisasi mutu pendidikan. Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) 2025, 87,6% orang tua murid menilai TKA penting sebagai alat ukur objektif hasil belajar. Meski begitu, hanya 46,2% yang memahami bahwa TKA bersifat sukarela, bukan syarat kelulusan atau pengganti Ujian Nasional.

Peneliti KIC, Satria Triputra Wisnumurti, menegaskan, “TKA disambut positif karena menjadi alat ukur objektif, bukan sekadar hafalan.” Ia menambahkan, hasil survei menunjukkan dukungan tinggi: 9 dari 10 responden mendukung penerapan TKA sebagai seleksi jenjang berikutnya.

Meski demikian, tantangan besar masih menanti. Banyak sekolah belum memiliki infrastruktur digital memadai, terutama di wilayah 3T. Direktur Sekolah Menengah Atas Kemendikdasmen, Winner Jihad Akbar, mengakui bahwa ketimpangan akses internet masih menjadi PR serius. Ia berjanji, sosialisasi dan peningkatan kualitas sekolah akan menjadi fokus agar digitalisasi tak menciptakan kesenjangan baru.

Kritik konstruktif juga datang dari kalangan akademisi: digitalisasi tak boleh berhenti pada hardware dan software. Yang terpenting adalah mindware—kesiapan guru dan siswa beradaptasi dengan pola belajar baru. Sebab, teknologi tanpa filosofi hanya akan melahirkan ruang kelas yang modern secara tampilan, tapi miskin interaksi.

Guru dan Siswa Berdaya: Pondasi dari Semua Perubahan
Tak ada reformasi pendidikan yang berhasil tanpa menempatkan guru di pusat perubahan. Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru. Pemerintah mengalokasikan Rp13,2 triliun untuk berbagai kebijakan afirmatif: 785 ribu guru non-ASN menerima tunjangan profesi Rp2 juta per bulan; 253 ribu guru PAUD nonformal mendapat BSU Rp300 ribu; 804 ribu guru mengikuti Program Profesi Guru (PPG); dan 16.197 guru mendapat fasilitasi kuliah lanjutan ke jenjang S1/D4.

Mulai Agustus 2025, insentif tambahan Rp2,1 juta diberikan kepada guru non-ASN selama tujuh bulan berturut-turut. Sementara itu, Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik sebesar Rp70 triliun disalurkan bagi guru ASN dalam tiga skema: Tunjangan Profesi Guru (TPG) untuk 1,52 juta guru, Dana Tambahan Penghasilan (DTP) untuk 332 ribu guru, dan Tunjangan Khusus Guru (TKG) untuk 62 ribu guru di daerah tertinggal.

Kebijakan ini mulai menunjukkan hasil. Guru lebih aktif mengikuti pelatihan daring, mengembangkan media ajar digital, dan menerapkan pembelajaran berbasis proyek. Guru yang sejahtera tak hanya mengajar, tetapi menginspirasi. Namun, agar kebijakan ini berkelanjutan, sistem pengawasan dan pemerataan perlu diperkuat—terutama di daerah yang aksesnya terbatas.

Di sisi lain, pemerintah juga memperkuat kebijakan afirmatif bagi siswa. Program Indonesia Pintar (PIP) menjangkau 18,5 juta penerima manfaat dengan anggaran Rp13,5 triliun, sementara Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) menargetkan 4.679 siswa wilayah 3T. Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) menyalurkan Rp59,3 triliun untuk 422.106 sekolah dan lebih dari 50 juta peserta didik.

Selain itu, kebijakan baru Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) menggantikan PPDB sebagai upaya pemerataan akses pendidikan. Laporan Katadata Insight Center menunjukkan tingkat awareness publik terhadap SPMB mencapai 80%, dengan 88% responden menilai sistem ini lebih baik dari PPDB dan 90% menyebut sesuai harapan. Mayoritas orang tua menilai sistem ini memberi peluang lebih besar bagi siswa ekonomi rendah (94,4%) dan penyandang disabilitas (91,8%).

Manajer Riset KIC, Satria Triputra Wisnumurti, menjelaskan, “Di atas 90% responden sepakat bahwa manfaat SPMB banyak—dari transparansi hingga keadilan akses.” Survei juga menunjukkan SPMB meningkatkan pemerataan layanan (63,7%), transparansi (50,9%), serta mengurangi dominasi sekolah favorit (49,8%).

Namun demikian, survei juga mencatat tantangan: kurangnya sosialisasi (24,9%), kendala teknis sistem (10,2%), serta masih rendahnya pemahaman publik terhadap TKA (hanya 46,2%). Kritik ini menjadi pengingat bahwa kebijakan baik membutuhkan komunikasi publik yang lebih kuat agar tidak disalahpahami.

Pendidikan yang Hidup, Bangsa yang Tumbuh
Satu tahun perjalanan ini bukan sekadar rentetan capaian program, melainkan perjalanan bangsa menulis ulang makna pendidikan. Sekolah bukan lagi sekadar ruang kelas, tetapi pusat kehidupan sosial; guru bukan hanya pengajar, tapi penjaga harapan; dan teknologi bukan sekadar alat, tapi jembatan antara ketimpangan dan kesempatan.

Program “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” menjadi refleksi sederhana dari filosofi ini—menanamkan disiplin, spiritualitas, kesehatan, dan semangat belajar sejak dini. Laporan Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar 2025 menunjukkan bahwa 72% sekolah pelaksana mencatat peningkatan kehadiran siswa dan kedisiplinan guru.

Meski capaian ini menggembirakan, pekerjaan besar masih menanti. Masih ada kesenjangan infrastruktur di wilayah timur, ketimpangan kualitas guru, serta tantangan integrasi digital di sekolah kecil. Namun arah perubahan sudah benar. Pendidikan Indonesia sedang hidup kembali—bukan sekadar karena gedung yang berdiri megah, melainkan karena semangat belajar yang kembali menyala.

Seperti dikatakan Mendikdasmen Abdul Mu’ti dalam kunjungannya ke Kudus, “Pendidikan adalah kerja bersama. Bukan proyek pemerintah, tapi perjalanan bangsa untuk memastikan setiap anak Indonesia punya kesempatan yang sama untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi.” Dan di setiap ruang kelas—dari desa hingga kota—mimpi itu kini mulai tumbuh menjadi kenyataan.***

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here