Wednesday, 26 November 2025
HomeOpiniCoretax Bikin Fiskus Kewalahan, Akal Imitasi Jadi Jawaban?

Coretax Bikin Fiskus Kewalahan, Akal Imitasi Jadi Jawaban?

Bogordaily.net – Penerimaan pajak merupakan pilar utama yang menopang penerimaan negara. Kehadiran pajak digunakan untuk mendanai penyelenggaraan negara, seperti pendidikan, perlindungan sosial, kesehatan, dan berbagai aspek lainnya. Oleh karenanya, diperlukan strategi untuk menjaga pajak sebagai sumber penerimaan negara yang ajeg dan berkelanjutan.

Pada tahun 2024, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), realisasi penerimaan pajak yang berhasil dihimpun oleh DJP mencapai Rp1.921,9 triliun atau tumbuh 3,37% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski meningkat, laju pertumbuhan tersebut melambat bila dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencatat kenaikan 8,80% dari tahun 2022.

Sementara itu, dalam RAPBN 2025, pemerintah menetapkan target penerimaan seluruh jenis pajak sebesar Rp2.490,9 triliun. Angka tersebut mencakup keseluruhan penerimaan perpajakan nasional dan merepresentasikan kurang lebih 83% dari total target pendapatan negara sebesar Rp2.996,9 triliun. Target yang meningkat ini secara otomatis menjadi beban kinerja bagi DJP untuk mengoptimalkan fungsi budgetair pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara.

Adapun, mewujudkan target penerimaan pajak dapat ditempuh melalui dua cara, yakni ekstensifikasi dan juga intensifikasi. Ekstensifikasi menekankan pada perluasan basis pajak, seperti halnya menambah objek dan subjek pajak baru. Adapun intensifikasi merupakan upaya untuk menggali potensi penerimaan pajak melalui objek dan subjek pajak yang telah terdaftar. Tindakan ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan dan juga penegakan hukum pajak.

Salah satu kunci utama dari keberhasilan intensifikasi adalah kinerja yang optimal dari pihak pemungut pajak. Maka dari itu, dalam usaha optimalisasi penerimaan pajak, pemerintah memerlukan pegawai pajak atau fiskus, yang cakap dan juga kompeten. Selain itu, diperlukan pula fiskus dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah keseluruhan wajib pajak di Indonesia.

Ketimpangan Proporsi Wajib Pajak dengan Otoritas Pajak

Berdasarkan data DJP pada Juli 2024, jumlah sumber daya manusia DJP berada pada angka 44.137 pegawai. Jumlah ini terdiri dari jabatan struktural, seperti direktur jenderal hingga jabatan pelaksana, seperti halnya account representative. Akan tetapi, banyaknya sumber daya manusia yang dimiliki DJP tetap dirasa kurang proporsional apabila dibandingkan dengan jumlah wajib pajak di Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 2024 yang menjunjukkan bahwa terdapat sebanyak 86,70 Juta wajib pajak, yang terdiri dari 80,27 juta wajib pajak orang pribadi, 5,54 Juta wajib pajak badan, dan 880 ribu wajib pajak bendahara. Apabila mengacu kepada data tersebut, rasio antara fiskus dengan wajib pajak adalah 1 banding 1.814. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian, terlebih dengan semakin meningkatnya target penerimaan pajak di Indonesia dari tahun ke tahun.

Sebagai respons atas ketimpangan antara jumlah wajib pajak dengan fiskus, disusunlah Sistem Inti Administrasi Pajak atau lebih dikenal dengan Coretax. Sistem tersebut merupakan bentuk reformasi sistem administrasi pajak, yang menekankan pada integrasi dan modernisasi. Melalui Coretax, wajib pajak diharapkan lebih mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dari sisi pemerintah, Coretax diharapkan mampu menjadi sarana pengawasan kepatuhan pajak secara lebih akurat dan efisien. Keberadaan Coretax memungkinkan pula terciptanya cooperative compliance yang didasarkan pada kepercayaan dan transparansi antara fiskus dan juga wajib pajak.

Status Quo Coretax di Indonesia

Sejak pertama kali dirilis pada awal Januari 2025, sistem Coretax langsung dilanda berbagai permasalahan. Sistem yang sulit diakses, server yang kerap down, fitur yang belum matang, serta tampilan antarmuka yang berbeda dari sistem sebelumnya menjadi deretan keluhan awal para pengguna. Hingga kini, berbagai kendala tersebut kerap kali timbul dari kalangan wajib pajak.

Layanan-layanan utama seperti pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pembuatan bukti potong, pembayaran pajak, hingga pembuatan faktur belum dapat berjalan lancar. Terhambatnya proses pemenuhan kewajiban perpajakan bukan hanya menimbulkan risiko sanksi bagi wajib pajak, tetapi juga mengganggu aktivitas usaha dan berpotensi berdampak langsung pada penerimaan negara.

Menanggapi banyaknya keluhan dari wajib pajak, DJP pun mengambil langkah solutif, salah satunya adalah tetap memungkinkan Wajib Pajak untuk mengakses sistem-sistem aplikasi pajak sebelumnya, seperti DJP Online dan E-faktur, meski terus mendorong adanya migrasi ke sistem Coretax. Namun, berbagai kendala yang muncul pada saat pengguna menggunakan Coretax menyebabkan meningkatkan jumlah pengaduan ke DJP. Sejatinya, DJP telah menyiapkan tindakan preventif melalui penyediaan kanal pengaduan daring di Coretax.

Pengalaman Wajib Pajak dalam Mengoperasikan Coretax

Namun, beberapa Wajib Pajak merasa pelayanan pengaduan di Coretax belum maksimal sehingga menimbulkan dorongan untuk melakukan pengaduan secara langsung ke kantor pajak. Segala permasalahan ini tentunya akan merugikan kedua belah pihak. Selaras dengan teori yang disampaikan Dziemianowicz (2017), dari sisi fiskus akan terjadi peningkatan workload yang menjadi bagian dari biaya administratif. Adapun dari perspektif wajib pajak, terjadi peningkatan biaya kepatuhan pajak, yang terdiri dari biaya psikis, waktu, dan uang yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Pengalaman negatif yang dirasakan dalam penggunaan Coretax turut menjadi perbincangan publik. Berkaca pada kanal media sosial seperti X dan Instagram, unggahan-unggahan yang berkaitan dengan Coretax dibanjiri dengan komentar-komentar negatif dari warganet. Umumnya, mereka mengeluhkan kesulitan yang dialami selama menggunakan sistem administrasi pajak terbaru ini. Hal tersebut menimbulkan pula sentimen negatif atas kinerja Direktorat Jenderal Pajak, yang dianggap kurang kompeten dalam mengakomodasi berbagai kebutuhan Wajib Pajak.

Kekhawatiran pun semakin mencuat mengingat pada 2026, pelaporan SPT PPh Orang Pribadi dan Badan Tahun Pajak 2025 yang sebelumnya dilakukan melalui DJP Online, akan dilakukan via Coretax. Hal ini tentunya akan meningkatkan traffic dari Wajib Pajak yang mengakses sistem Coretax. Berkaca pada kegaduhan pada awal tahun 2025, DJP perlu mengambil langkah preventif, solutif, dan inovatif untuk mengoptimalkan penggunaan Coretax agar sesuai dengan tujuan awal reformasi sistem administrasi pajak.

Saatnya Berkaca kepada Sistem Administrasi di Australia

Berangkat dari hal tersebut, dibutuhkan suatu instrumen yang dapat menjadi pendamping bagi wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan merevitalisasi sistem Coretax yang ada saat ini. Revitalisasi ini tentu bukan hal yang mustahil apabila Indonesia melakukan studi benchmarking dengan Australia. Hal ini karena Australian Tax Office (ATO) sendiri memiliki sistem asisten virtual untuk wajib pajak di dalam sistem perpajakannya dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya.

Lebih dari itu, diketahui bahwasanya asisten virtual ini telah berhasil menjawab lebih dari 8 juta wajib pajak di Australia dengan persentase terjawab hingga 95%. Di sisi lain, hal ini nyatanya berhasil menurunkan permintaan pusat panggilan dengan rata-rata sebesar 9% di setiap tahunnya.

Hal ini tentu dapat menjadi acuan dalam pengembangan Coretax ke depannya, terlebih dengan sedang meningkatnya tren penggunaan teknologi artificial intelligence (AI). Dengan integrasi teknologi ini, AI dapat menjadi asisten virtual bagi wajib pajak ketika mengalami kendala di dalam sistem Coretax, tanpa harus menghubungi otoritas pajak secara langsung, seperti datang ke KPP, penggunaan tiket melati, dan lain sebagainya.

Teknologi AI sendiri ini juga nantinya akan menjawab berbagai kendala atau panduan kepada wajib pajak berdasarkan informasi yang diberikan oleh internal DJP dan/atau identifikasi pola data. Dengan demikian, segala bentuk panduan ataupun penyelesaian kendala yang diberikan dapat sejalan dengan informasi yang dibutuhkan oleh wajib pajak sendiri. Hal ini tentunya secara simultan dapat memangkas biaya kepatuhan wajib pajak.

Estonia dengan Sistem Administrasi Pajak Mercusuarnya

Lebih jauh lagi, apabila Indonesia berkaca dari Estonia, Indonesia juga dapat memanfaatkan AI secara lebih komprehensif lagi. Teknologi AI ini nyatanya juga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi upaya transaksi yang mengindikasikan adanya potensi penghindaran pajak. Teknologi ini dapat dimanfaatkan sedemikian rupa karena dilatih untuk mengenali pola transaksi yang anomali dan mendeteksi potensi penghindaran pajak dengan keakuratan hingga 97% (E-Estonia, 2023).

Adapun, pemanfaatan ini juga didukung oleh Indonesia yang menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan pengguna AI tertinggi di dunia pada tahun 2023 (Writer Buddy, 2023). Hal ini tentunya merupakan momentum yang tepat untuk dilaksanakannya integrasi teknologi ini dengan sistem administrasi pajak di Indonesia saat ini, yakni Coretax. Terlebih, per tahun 2026 mendatang, Coretax juga akan digunakan untuk pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak orang pribadi.

Manfaat bagi Indonesia

Dengan adanya integrasi AI, terdapat dua poin manfaat utama yang memiliki pengaruh signifikan terhadap sistem perpajakan di Indonesia. Pertama, biaya kepatuhan pajak berpotensi menjadi lebih rendah karena wajib pajak menjadi tidak perlu lagi datang secara langsung ke kantor pajak ketika terjadi kendala. Di samping itu, dengan hadirnya AI sebagai asisten virtual, kemudahan pengoperasian Coretax menjadi lebih terjamin yang pada gilirannya dapat mendorong tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak.

Kedua, tingkat kepercayaan publik berpotensi meningkat karena Coretax dinilai menjadi wujud manifestasi keseriusan Indonesia dalam mereformasi perpajakannya. Hal ini juga dapat timbul dari perspektif teknologi yang digunakan untuk menyelesaikan sejumlah problematika di Coretax, yakni penggunaan teknologi yang sedang menjadi primadona di berbagai sektor, termasuk perpajakan.

Potensi Tantangan yang Perlu Diperhatikan

Kendati demikian, integrasi ini nantinya belum tentu menjadi integrasi yang penuh dengan euforia karena nyatanya terdapat hal yang perlu menjadi perhatian, sebelum memanfaatkan AI dalam Coretax. Hal ini berangkat dari adanya potensi resistensi masyarakat karena adanya sentimen negatif dari penggunaan AI bagi sebagian masyarakat. Sentimen tersebut timbul oleh adanya kekhawatiran tergerusnya tenaga kerja manusia oleh teknologi AI.

Walaupun terdapat potensi resistensi akibat sentimen tersebut, terbit sisi positif lain yang juga berpotensi timbul, yakni dengan adanya keinginan bagi masyarakat untuk mempelajari teknologi secara komprehensif, khususnya AI. Hal ini berangkat dari persaingan dengan AI yang mendorong masyarakat untuk dapat mampu bersaing dan unggul dibandingkan dengan AI. Dorongan ini juga nantinya akan membuahkan hasil berupa terlahirnya tenaga kerja yang kompeten di bidang teknologi yang tentunya perlu juga ditunjang dengan pelatihan yang memadai.

Pemanfaatan AI ini memang berpotensi memberikan suatu problematika lain. Namun, tidak ada salahnya untuk memilih alternatif terbaik untuk mencapai hasil berupa suatu sistem administrasi pajak yang optimal, salah satunya dengan pemanfaatan AI. Hal tersebut karena tanpa ada keberanian untuk bergerak, tidak akan terjadi perubahan yang berarti. Begitu pula spirit yang perlu ditanamkan dalam pengembangan Coretax karena dengan pertimbangan dan perencanaan yang matang, Coretax niscaya akan menjadi sistem administrasi pajak mercusuar di dunia.***

 

Oleh: Arya Dandi Purnama dan Caezar Putra Shidqie. Dartemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here