Friday, 28 November 2025
HomeOpiniPesantren dan Pemikiran Al-ghazali: Relevansi, Transformasi, dan Arah Pendidikan Islam Indonesia

Pesantren dan Pemikiran Al-ghazali: Relevansi, Transformasi, dan Arah Pendidikan Islam Indonesia


I. LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah instrumen peradaban. Dalam sejarah panjang manusia, pendidikan bukan hanya sekadar media untuk menanamkan keterampilan atau menghafal sejumlah pengetahuan, tetapi merupakan usaha holistik untuk membentuk kualitas jiwa manusia.

Dalam tradisi Islam, pendidikan memiliki posisi yang sangat istimewa. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca (iqra’), yang menjadi simbol bahwa kebangkitan umat selalu lahir dari budaya ilmu.

Namun sejarah tidak berjalan lurus. Dunia Islam pernah mengalami masa-masa stagnasi intelektual dan kemunduran sosial. Di Mesir pada abad ke-18 dan 19 misalnya, pendidikan agama lebih menekankan hafalan teks, minim kajian rasional, dan kurang memberi ruang bagi pengembangan ilmu modern.

Kemandegan ini memunculkan respons keras dari para pembaharu, salah satunya Syekh Muhammad Abduh (1849–1905), yang menyerukan agar umat Islam kembali pada semangat ijtihad rasional dan bahwa ilmu agama harus dipahami secara kritis dan kontekstual.

Tetapi jauh sebelum Muhammad Abduh, seorang ulama besar sudah meletakkan dasar utama pendidikan Islam yang komprehensif: Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M).

Melalui karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din, Al-Ghazali mengkritik kecenderungan pendidikan yang semata intelektual dan menekankan bahwa inti pendidikan adalah penyucian jiwa, bukan sekadar penambahan informasi. Baginya, ilmu yang tidak melahirkan amal dan akhlak hanyalah beban.

Konsep Al-Ghazali sangat relevan dengan lembaga pendidikan Islam yang paling tua, mandiri, dan khas Indonesia: pesantren. Pesantren mempraktikkan pendidikan sebagai pembentukan adab, perjuangan spiritual, disiplin hidup, dan pengabdian sosial—sebuah model yang secara alami selaras dengan pemikiran Al-Ghazali.

Dalam konteks modern, pesantren sedang menghadapi arus globalisasi, revolusi teknologi, dan perubahan sosial-budaya yang cepat. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk memperkuat fondasi pendidikan agar tidak hanya melahirkan santri yang paham kitab, tetapi juga mampu membaca zaman.

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menguraikan relevansi pemikiran Al-Ghazali bagi pengembangan pesantren sebagai pusat pendidikan yang tetap berakar pada tradisi, tetapi juga adaptif terhadap tantangan modern.

II. PESANTREN DI INDONESIA: IDENTITAS, PERJALANAN, DAN TRANSFORMASI

A. Akar Historis Pesantren

Pesantren telah hadir di Nusantara setidaknya sejak abad ke-15, menjadi cikal bakal pendidikan Islam yang bersifat organik dan berbasis masyarakat. Keberadaannya senantiasa terkait dengan:

1. Peran kiai sebagai pusat intelektual dan moral.
2. Santri sebagai murid yang mengabdi.
3. Masjid sebagai ruang ibadah dan intelektual.
4. Asrama sebagai tempat pembiasaan karakter.
5. Kitab kuning sebagai panduan spiritual dan akademik.

Ciri khas pesantren terletak pada sistemnya yang mandiri, sederhana, dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang kehidupan spiritual dan sosial.

B. Karakteristik Utama Pendidikan Pesantren

1. Berbasis Tradisi Turats
Pesantren mempertahankan pengajaran kitab klasik yang memiliki akar ribuan tahun, terutama karya fiqih, tafsir, akhlak, dan tasawuf.
2. Adab sebagai inti pendidikan
Aspek moral dan etika menjadi fondasi, bahkan lebih penting daripada kecerdasan intelektual.
3. Pendidikan berasrama (boarding)
Sistem 24 jam yang membentuk disiplin, kemandirian, dan pembiasaan ibadah.
4. Keteladanan Kiai
Pendidikan melalui contoh (uswah hasanah) menjadi metode utama.
5. Kemandirian dan kehidupan sederhana
Santri dibiasakan hidup hemat, disiplin, dan tidak bergantung pada fasilitas mewah.

C. Transformasi Pesantren Modern
Memasuki abad ke-21, pesantren mengalami transformasi besar, meliputi:
1. Masuknya sekolah formal dan kurikulum modern
2. Integrasi teknologi dan literasi digital
3. Penguasaan bahasa asing (Arab-Inggris)
4. Program kewirausahaan dan kompetensi kerja
5. Pembinaan karakter kepemimpinan santri
6. Internasionalisasi—santri yang melanjutkan studi ke kampus luar negeri
Transformasi ini diperlukan untuk menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan ruh pesantren tradisional.

III. KONTEKS TOKOH PENDIDIKAN (UMUM) DALAM PESANTREN
Dinamika pesantren Indonesia dapat dipetakan melalui tiga generasi besar:

1. Generasi Pendiri
Tokoh ulama yang mendirikan pesantren sejak masa kolonial, seperti:
• KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng),
• KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah),
• Syekh Nawawi al-Bantani, dan ulama Nusantara lainnya.
Mereka menekankan ilmu agama, adab, dan dakwah sebagai inti pendidikan.
2. Generasi Pengembangan
Generasi kedua memperluas fungsi pesantren dengan:
• mendirikan madrasah,
• menyusun kurikulum,
• meningkatkan administrasi dan kelembagaan.
3. Generasi Pembaharu
Generasi ketiga mengadopsi:
• ilmu pengetahuan modern,
• teknologi digital,
• manajemen pendidikan,
• orientasi global.
Pesantren kini mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat modern tanpa menghilangkan nilai spiritual.

IV. KONSEP & PROGRAM MODEL PESANTREN (VERSI UMUM)
Bagian ini memaparkan struktur pendidikan pesantren modern yang dapat ditemukan di berbagai lembaga, seperti:
A. Pesantren Transformasional
Model pesantren yang menggabungkan:
• tradisi keislaman klasik,
• kurikulum umum modern,
• keterampilan hidup (life skills),
• dan teknologi digital
B. Ethnic Islamic Boarding School
Model asrama dan arsitektur bernuansa budaya Nusantara yang:
• ramah,
• menenangkan,
• dan meningkatkan kenyamanan belajar.
C. Visi Pesantren Modern
“Menjadi lembaga pendidikan Islam unggul yang melahirkan pemimpin berakhlak mulia, berilmu luas, dan relevan dengan perkembangan zaman.”
D. Misi Utama
1. Penguatan ilmu agama
2. Penguasaan ilmu umum
3. Pembentukan karakter & kepemimpinan
4. Pembiasaan ibadah
5. Pengabdian sosial
E. Program Unggulan (Tribina Pesantren)
• 1. Bina Iman
• Tahfidz Al-Qur’an
• Kitab kuning
• Bahasa Arab
• Pembinaan ibadah
• 2. Bina Akhlak
• Adab santri
• Disiplin harian
• Pembiasaan ibadah
• Etiket sosial
• 3. Bina Ilmu
• Sains modern
• Teknologi
• Kewirausahaan
• Bahasa asing
• Literasi digital

V. KORELASI FILSAFAT AL-GHAZALI DENGAN PENDIDIKAN PESANTREN

1. Tazkiyah al-Nafs: Inti Pendidikan
Al-Ghazali menegaskan bahwa pendidikan harus membersihkan hati. Pesantren mempraktikkannya melalui:
• ibadah teratur,
• tirakat,
• zikir harian,
• disiplin hidup sederhana.
2. Adab sebagai Epistemologi
Dalam pandangan Al-Ghazali:
Ilmu tidak masuk ke hati yang kotor.
Pesantren sangat serius dalam menanamkan:
• adab kepada guru,
• adab dalam majelis ilmu,
• adab dalam belajar,
• adab dalam makanan, pakaian, dan kehidupan sehari-hari.
3. Integrasi Akal dan Wahyu
Al-Ghazali tidak menolak akal. Ia menempatkan akal sebagai anugerah besar, tetapi harus dipandu oleh wahyu. Pesantren menerapkan ini melalui:
• kurikulum umum,
• analisis kitab,
• diskusi,
• logika dasar (manthiq),
• bahasa asing.
4. Pembiasaan Amal
Al-Ghazali menolak ilmu tanpa amal.
Pesantren menekankan:
• khidmah,
• gotong royong,
• dakwah,
• bakti sosial,
• pengabdian pada masyarakat.
5. Keteladanan Guru
Al-Ghazali menulis:
“Hati murid mengikuti hati gurunya.”
Pesantren menjadikan kiai sebagai:
• model kedisiplinan,
• ketenangan spiritual,
• keikhlasan,
• dan kebijaksanaan moral.
6. Pendidikan Sebagai Jalan Menjadi Manusia
Imam Al-Ghazali memandang pendidikan sebagai proses menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Pesantren melihat santri bukan hanya calon ulama—tetapi calon manusia utuh:
• berilmu,
• beradab,
• mandiri,
• berguna bagi masyarakat.

VI. RELEVANSI PESANTREN & AL-GHAZALI DI ERA MODERN

1. Menghadapi Krisis Moral
Pesantren menjadi benteng akhlak di tengah krisis moral global—sejalan dengan misi AlGhazali.
2. Mengisi Ruang Spiritualitas Kosong
Di era digital yang bising, pesantren memberikan ruang hening bagi penyucian jiwa.
3. Menjawab Kebutuhan Kompetensi Global
Pesantren menanamkan:
• literasi digital,
• bahasa asing,
• sains,
• kewirausahaan.
Sehingga santri bisa relevan dalam dunia kerja global tanpa meninggalkan nilai spiritual.
4. Pesantren sebagai Lembaga Moderasi Beragama
Al-Ghazali menekankan keseimbangan. Pesantren menjadi hamparan moderasi:
• ada fiqih,
• ada tasawuf,
• ada logika,
• ada sains.
5. Pesantren sebagai Lembaga Solusi Masa Depan
Dengan integrasi ilmu-akhlak, pesantren bisa menjadi pusat lahirnya:
• ulama modern,
• peneliti Muslim,
• pemimpin bangsa,
• dan agen perubahan global.

VII. KESIMPULAN (VERSI PANJANG)

Pendidikan Islam yang ideal bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi transformasi jiwa. Itulah
esensi yang diajarkan Imam Al-Ghazali dan dipraktikkan pesantren selama berabad-abad.
Pesantren mampu memadukan:
• adab dan akal,
• kitab kuning dan teknologi,
• spiritualitas dan sains,
• tradisi dan modernitas.
Dengan fondasi Al-Ghazali, pesantren bukan hanya lembaga masa lalu, tetapi lembaga masa depan.

Mereka menjaga tradisi lama yang baik, mengambil hal baru yang relevan, dan melahirkan generasi Muslim yang siap menjadi pemimpin, intelektual, dan pembaharu.***

Ditulis Oleh: Ustadz Daniel Zein S.Pd, Pengajar di Pesantren Modern Ummul Quro AlIslami dan Mahasiswa Magister Management Pendidikan Islam di IUQI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here