Bogordaily.net – Tidak ada bangsa yang bisa melangkah jauh tanpa berani menoleh ke belakang. Sejarah bukan beban, melainkan cermin, tempat sebuah bangsa mengenali dirinya sendiri.
Kematangan sebuah bangsa tidak diukur dari banyaknya pahlawan yang diagungkan, melainkan dari cara mereka memahami makna kepahlawanan itu sendiri. Negeri Belanda memberi pelajaran penting tentang hal ini.
Raymond Westerling
Antara tahun 1946 dan 1947, Raymond Westerling memimpin pasukan khusus Kolonial di Sulawesi Selatan. Ia membantai ribuan orang yang bersimpati pada Republik muda yang sedang bangkit. Sebuah lembaga di Belanda bahkan menyebut angka puluhan ribu.
Westerling adalah personifikasi dari kekerasan kolonial yang dingin dan sistematis. Wajah dari imperium yang berusaha bertahan di tengah dunia yang sedang berubah.
Ia kembali ke Belanda tanpa diadili. Selama puluhan tahun, ia dianggap oleh sebagian kalangan di tanah airnya sebagai pahlawan perang.
Pada 2022, setelah penyelidikan resmi membuktikan adanya kekerasan eksesif yang sistematis oleh pasukan kolonial, pemerintah Belanda akhirnya menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia atas kekejaman Westerling.
Butuh waktu tujuh puluh lima tahun bagi Belanda untuk menyebut pembantaian itu dengan namanya sendiri dan dalam pengakuan itu, Belanda berdamai dengan bagian paling gelap dari dirinya.
Joris Ivens
Pada tahun 1946, Joris Ivens membuat film Indonesia Calling di Australia. Inilah film dokumenter tentang penolakan buruh pelabuhan Australia di Sydney memuat pasokan senjata ke kapal kapal kolonial Belanda yang akan berlayar ke Indonesia.
Film itu, yang menyuarakan keberpihakan Ivens pada kemerdekaan Indonesia, membuat Ivens dianggap penghianat oleh bangsanya sendiri. Paspornya dicabut dan ia tersingkir dari kehidupan kebudayaan negerinya.
Ia kemudian hidup berpindah-pindah di Prancis, Jerman Timur, Tiongkok, hingga Vietnam membuat film tentang perjuangan anti-imperialisme dan kemanusiaan.
Empat puluh tahun kemudian, pada Juni 1985, pemerintah Belanda memanggilnya pulang dan memberinya penghormatan resmi.
Elco Brinkman, Menteri Kebudayaan, dalam acara penghormatan di Den Haag, menyampaikan pengakuan penuh atas jasa-jasa Ivens bagi seni dan kemanusiaan.
Brinkman menyebut film-film Ivens adalah bukti “seni dapat menjadi kekuatan moral dan kemanusiaan yang melampaui politik negara.”
Pidato ini diterima publik Belanda sebagai rehabilitasi resmi terhadap Ivens — pengakuan bahwa negara akhirnya berdiri di sisi nilai-nilai yang dulu diperjuangkan Ivens. Indonesia Calling, karya yang pernah dianggap buah pengkhianatan, kini diakui sebagai bagian dari sejarah antikolonial yang perlu dihormati.
Memetik Pelajaran
Westerling dan Ivens berdiri di dua ujung yang berlawanan dari sejarah kolonial yang sama. Dan dari pengalaman Pemerintah Belanda berdamai dengan masa lalunya itu, kita mungkin bisa belajar sesuatu.
Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif: cara sebuah bangsa mendidik anak-anaknya tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang patut dihormati dan mana yang harus dijadikan pelajaran.
Ia bukan sekadar penghargaan atas jasa, melainkan pernyataan tentang nilai-nilai yang hendak dipertahankan oleh suatu bangsa.
Dalam masyarakat demokratis, kepahlawanan tidak boleh terjerumus ke dalam kultus individu. Ia bukan kemegahan bagi seseorang dan keluarganya, melainkan kompas moral bagi kehidupan bersama.
Negara yang sehat tidak menabalkan pahlawan untuk mengaburkan masa lalu, tetapi untuk menerangi masa depan.
Secara sosial, pahlawan juga menjadi titik temu moral dalam masyarakat yang beragam. Ia adalah simbol persatuan, bukan alat pembelahan.
Kita di Indonesia mungkin sekarang perlu bertanya. Dengan menobatkan Soeharto sebagai “Pahlawan Nasional”, nilai-nilai apa yang sesungguhnya bangsa ini ingin ajarkan kepada anak-anaknya sendiri?
Jawaban terhadap pertanyaan moral itu akan menentukan siapa sesungguhnya kita sebagai bangsa.*
(Rachland Nashidik)
