Bogordaily.net – Tanah Longsor di Cilacap kembali mengingatkan bahwa bencana sering datang diam-diam, lalu mencabut apa saja yang berdiri di hadapannya.
Tanah Longsor di Cilacap bukan sekadar kabar musibah, tapi juga potret bagaimana manusia dan alam selalu hidup berdampingan—kadang terlalu dekat.
Tanah Longsor di Cilacap itu terjadi di Desa Cibeunying, Majenang. Malam Kamis, sekitar pukul 20.00 WIB. Hujan memang tidak deras pada hari kejadian, kata Camat Majenang Aji Pramono.
Tapi tanah—yang setiap hari menerima guyuran sejak akhir pekan lalu—rupanya sudah penuh. Sudah jenuh. Tinggal menunggu momen untuk melorot.
Dan ketika waktunya tiba, 12 rumah rusak. 16 rumah lainnya terancam. Nama-nama seperti Surip, Ahmad, Kuswoyo, Subakir, Muslihin, Rohman, Abdul, Econg, Hendrik, Ayu, Atit, Ekem, Warim, Tarim, Warko, sampai Imong, mendadak masuk daftar warga terdampak bencana. Bukan karena pilihan, tapi karena nasib.
Tim SAR gabungan yang dipimpin Kantor SAR Cilacap langsung bergerak. Pagi tadi mereka kembali menyisir dusun Cibuyut dan Tarukahan.
Masih ada 21 warga yang belum ditemukan. Dua sudah ditemukan meninggal dunia. Lima selamat. Sisanya masih menjadi ketegangan tiap menit.
“Tanah masih bergerak di sejumlah titik,” kata Budi Setyawan, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Cilacap.
Itu sebabnya warga di zona rawan langsung dievakuasi. Mereka diminta menjauh. Menunggu tanah kembali stabil. Menunggu kabar dari tim pencari.
Aji, sang Camat, menduga akar masalahnya ada pada hujan yang menumpuk selama beberapa hari. Tanah tak mampu lagi menahan akumulasi air. Seperti ember yang terus dituang tanpa henti.
Begitulah. Di desa itu, malam kini terasa lebih panjang dari biasanya. Warga menunggu kabar keluarga.
Tim penyelamat menyisir lumpur demi lumpur. Dan semuanya berharap satu hal: agar tidak ada nama tambahan dalam daftar korban.
Bencana memang tak pernah datang pada waktu yang baik. Tapi manusia selalu mencoba berdiri lagi—meski pelan, meski perih—setelah tanah berhenti bergerak.***
