Oleh: Subhan Murtadla
Direktur Eksekutif Indonesian Green Community
Pulau Sumatera kembali berduka. Dalam beberapa hari terakhir, tiga provinsi — Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh — dilanda rangkaian bencana banjir dan longsor yang meluluhlantakkan pemukiman, infrastruktur, dan merenggut banyak nyawa.
Air bah datang tanpa ampun, membawa material lumpur, batu, hingga ribuan kubik kayu gelondongan yang hanyut seperti pasukan liar dari hulu sungai.
Kayu-kayu besar itu menghantam jembatan, menutup aliran sungai, menimbun rumah, dan memperparah daya rusak banjir bandang.
Pemandangan ini bukan sekadar musibah. Ini adalah peringatan keras tentang kerusakan ekologis yang sudah lama kita abaikan.
Fakta Lapangan: Banjir Bukan Lagi Sekadar “Bencana Alam”
Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu langsung. Namun akar persoalan jauh lebih dalam: rusaknya daerah aliran sungai (DAS), hilangnya tutupan hutan, dan lemahnya pengelolaan lingkungan di kawasan hulu.
Beberapa temuan di lapangan serta laporan lembaga lingkungan menunjukkan:
1. Banyaknya kayu gelondongan yang terbawa arus tidak mungkin berasal hanya dari pohon tumbang alami.
Ini indikasi kuat adanya kawasan hutan yang melemah atau diganggu aktivitas manusia.
2. Deforestasi massif dalam satu dekade terakhir terjadi di ketiga provinsi tersebut.
Ketika hutan hilang, tanah kehilangan akar penahan, air kehilangan ruang resapan, dan sungai kehilangan penyangga alami.
3. Longsor beruntun menunjukkan tidak stabilnya struktur tanah di lereng-lereng perbukitan yang sebelumnya berhutan lebat.
4. Kerusakan hulu yang tidak tertangani menyebabkan banjir di hilir menjadi berlipat ganda, jauh lebih merusak dibanding sekadar banjir akibat hujan deras.
Bencana ini adalah gabungan dari bencana hidrometeorologi dan bencana ekologis, sebuah “kombinasi maut” akibat intervensi manusia yang berlebihan.
Tanda Serius dari Alam: Kita Sudah Melewati Batas
Kayu-kayu besar yang hanyut bukan hanya material banjir.
Ia adalah pesan visual, tanda dari hulu yang sedang menangis.
Hutan adalah sistem penyerap air. Ia meredam banjir. Ia menstabilkan tanah. Ia menjaga sungai agar tetap berfungsi.
Ketika pohon-pohon itu hilang atau ditebang tanpa kontrol, maka:
√air hujan tidak diserap,
√tanah kehilangan kekuatan,
√sungai kehilangan keseimbangannya,
√dan bencana menjadi tidak terhindarkan.
Bencana di Sumatera adalah bukti bahwa alam sedang menagih utang atas kelalaian manusia.
Kegagalan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Tragedi ini menunjukkan adanya:
1. Kelemahan pengawasan perizinan hutan dan tambang
Aktivitas legal maupun ilegal di kawasan hulu seringkali tidak diawasi ketat.
Ketika fungsi hutan terganggu, masyarakat di hilir menjadi korban.
2. Tata ruang yang tidak disiplin
Banyak kawasan rawan banjir, longsor, dan bantaran sungai yang berubah menjadi permukiman, bahkan industri.
3. Minimnya rehabilitasi DAS
Rehabilitasi hulu tidak sebanding dengan laju kerusakan.
Pemulihan hutan berjalan lambat, sementara eksploitasi berjalan cepat.
4. Lemahnya penegakan hukum lingkungan
Tanpa sanksi tegas, kerusakan hanya akan berulang.
Bencana seperti ini hanyalah “episode terbaru” dari siklus kerusakan yang tidak pernah benar-benar dihentikan.
Dampaknya: Bukan Hanya Kerugian Fisik, Tetapi Kehidupan.
Musibah di tiga provinsi tersebut telah:
√menghanyutkan rumah dan kendaraan,
√merusak infrastruktur vital,
√mengisolasi ribuan warga,
√memutus transportasi dan ekonomi,
√serta menyebabkan korban jiwa yang terus bertambah.
Ini bukan kerugian sesaat.
Ini adalah kerugian generasi — dari anak-anak yang kehilangan keluarga hingga masyarakat yang kehilangan masa depan ekonominya.
Seruan Moral dan Spiritual: Alam Adalah Amanah, Bukan Komoditas
Sebagai bangsa yang religius, kita sering lupa bahwa merusak alam berarti merusak amanah.
Kerusakan yang terjadi bukan hanya fenomena ekologis tetapi juga krisis moral.
Kita harus kembali pada prinsip bahwa manusia adalah khalifah, di bumi.
Tugas kita bukan menghabiskan sumber daya, tetapi menjaga keseimbangan kehidupan.
Rekomendasi Mendesak: Jangan Biarkan Bencana Ini Menjadi Rutinitas
Tragedi ini harus menjadi titik balik.
Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, organisasi masyarakat, dan seluruh elemen bangsa harus melakukan langkah konkret:
1. Audit total perizinan hutan dan tambang di hulu DAS
Termasuk aktivitas yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem.
2. Moratorium aktivitas di kawasan rentan
Seluruh aktivitas berisiko tinggi harus dihentikan sampai kondisi lingkungan dinyatakan pulih.
3. Rehabilitasi besar-besaran kawasan hutan dan DAS
Ini bukan proyek seremonial, tetapi upaya penyelamatan jangka panjang.
4. Penguatan sistem peringatan dini dan tata ruang berbasis risiko bencana
5. Penegakan hukum tanpa kompromi
Kerusakan ekologis adalah kejahatan kemanusiaan.
Pelakunya tidak boleh dilindungi.
6. Gerakan masyarakat untuk konservasi lingkungan
Edukasi publik sangat penting agar masyarakat memahami bahwa menjaga alam sama dengan menjaga hidup.
Penutup: Jangan Tunggu Korban Berikutnya
Bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh bukan akhir, melainkan peringatan.
Jika kita tidak berubah sekarang, kita akan terus menyaksikan bencana demi bencana, dengan korban semakin banyak dan kerusakan semakin luas.
Kita harus bertindak.
Kita harus memperbaiki kebijakan.
Kita harus menghentikan kerakusan.
Kita harus menyelamatkan hutan dan sungai kita — karena di sanalah masa depan bangsa ini berada.
Semoga musibah ini membuka mata kita semua.
Alam sudah berbicara. Saatnya kita mendengarkan.***
