Saturday, 13 December 2025
HomeOpiniDi Balik Sistem Tempel Peredaran Gelap Narkotika: Konsumen dalam Posisi Paling...

Di Balik Sistem Tempel Peredaran Gelap Narkotika: Konsumen dalam Posisi Paling Rentan yang Selalu Dikorbankan

Oleh: Bambang Yulistyo Tedjo
Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)

Laporan observasi ini disusun berdasarkan situasi lapangan dan pengaduan berulang yang masuk ke Hotline Forum Akar Rumput Indonesia (FARI) tentang pola peredaran gelap Narkotika. Operandinya hampir selalu sama: terlihat seseorang mondar-mandir di jalan-jalan sepi, fasilitas umum atau pemukiman warga, sesekali menatap layar ponsel, berhenti di sudut sepi, lalu mengais di titik yang ditandai peta digital.

Ada yang pergi dengan wajah lega karena “barang” ditemukan, ada pula yang pulang dengan umpatan karena titik tersebut zonk. Fenomena ini bukan peristiwa insidental, melainkan manifestasi dari sistem peredaran gelap NAPZA berbasis “tempel” yang kini telah menjadi tren nasional. Dalam praktiknya, pengguna NAPZA yang bergerak di lapangan hampir selalu berada di lapisan paling bawah.

Mereka bukan pengendali, melainkan konsumen atau orang suruhan yang sepenuhnya bergantung pada titik koordinat yang dikirim sepihak oleh operator. Risiko sistem ini sepenuhnya ditimpakan kepada mereka.

Ketika koordinat berujung zonk—barang tidak ada, telah dipindahkan, atau lokasi sudah dipantau aparat—yang menanggung konsekuensi adalah konsumen. Jaringan di atasnya lenyap, aman, dan tak pernah muncul di ruang publik.

Sistem “tempel” sendiri bukan hal baru. Pola ini mulai dikenal di Yogyakarta pada awal 2000-an, lalu menyebar ke Solo, Semarang, dan Bali, sebelum akhirnya menjadi metode peredaran gelap NAPZA ilegal secara nasional.

Mulai marak di Jadebotabek di awal tahun 2016 sampai sekarang. Seiring berjalannya waktu, muncul pula fakta yang berulang dalam berbagai perkara: kendali peredaran tetap berjalan, bahkan dari balik penjara.

Di luar, manusia bergerak dan menanggung risiko; di dalam, komando tetap hidup. Situasi ini diperparah oleh pendekatan penegakan hukum yang masih berorientasi pada hilir.

Aparat lebih mudah membidik individu yang tampak di ruang publik ketimbang membongkar struktur kendali, aliran dana, dan sistem operasional jaringan. Hasilnya paradoksal: angka penindakan naik, tetapi peredaran gelap tidak melemah.

Temuan lapangan memperlihatkan bahwa pengguna NAPZA sebagai konsumen narkotika ilegal berada dalam posisi korban berlapis. Mereka didorong oleh tekanan adiksi , lalu dipaksa masuk ke mekanisme yang sejak awal merugikan.

Konsumen diwajibkan mentransfer sejumlah uang terlebih dahulu kepada operator. Setelah uang berpindah, barulah titik keberadaan barang dikirim. Tidak ada jaminan apa pun—tidak ada kepastian barang tersedia, lokasi aman, atau titik bukan jebakan.

Ketika transaksi gagal, uang tidak kembali, dan risiko hukum sepenuhnya ditanggung konsumen. Dalam logika jaringan, kegagalan individu bukan persoalan; selalu ada korban berikutnya.

Kondisi ini menegaskan bahwa peredaran gelap bekerja dengan cara memindahkan seluruh risiko ke manusia paling lemah. Pengguna dijadikan objek, tameng hidup, sekaligus alat uji situasi. Jika titik aman, jaringan diuntungkan. Jika titik bermasalah, pengguna yang ditangkap. Aparat memperoleh hasil penindakan, sementara aktor utama tetap berada di luar jangkauan.

Berdasarkan observasi yang dihimpun oleh FARI, baik dari pengalaman komunitas dan keterangan dari dampingan bahwa modus ini sebagian besar dikendalikan dari dalam penjara, rata-rata tidak kenal dengan operator peredaran, hanya komunikasi lewat Handphone.

Pengawasan ketat terhadap lembaga pemasyarakatan juga menjadi keharusan mutlak. Selama alat komunilasi masih digenggam para warga binaan pemasayarakatan , kendali peredaran masih bisa dijalankan dari balik penjara, maka negara secara tidak langsung membiarkan kejahatan beroperasi dari dalam sistemnya sendiri.

Di sisi lain, edukasi publik berbasis realitas perlu diperkuat agar masyarakat memahami bahwa orang yang tampak mencurigakan sering kali adalah korban, bukan ancaman utama.

Bagi warga, situasi ini menciptakan ketegangan sosial. Orang asing di wilayahnya dipersepsikan sebagai ancaman, memicu kecurigaan dan potensi konflik.

Padahal yang terlihat di jalan sering kali bukan pelaku utama, melainkan korban dari sistem ilegal yang terorganisir dan dilanggengkan oleh kegagalan memutus rantai di hulu.

Kolom SAY KNOW TO DRUGS menegaskan bahwa memahami narkotika tidak cukup dengan penindakan semata. Selama kebijakan masih memusatkan bidikan pada pengguna sebagai target utama, peredaran gelap akan terus beradaptasi dan hidup. Map boleh zonk, titik boleh dijaga, korban akan terus berganti.

Yang harus dihentikan bukan langkah manusia di hilir, melainkan sistem yang secara sadar menjadikan mereka tumbal. Tanpa keberanian membongkar sistem dan menggeser paradigma, laporan pengaduan masyarakat akan terus berulang—dengan wajah korban berbeda, tetapi pola yang sama.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here