Bogordaily.net – Dewan Kota Cianjur menyelenggarakan diskusi terbuka dengan tema Evaluasi Satu Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran.
Diskusi yang dipandu oleh Heri Firmnsyah ini berlangsung di Gedung Juang 45 Cianjur, tepat pukul 20.00 sampai pukul 23.30, dengan Narasumber Ray Rangkuti dan Teddy Wibisana.
Dalam sambutannya, Ketua Presidium Dewan Kota Cianjur Dian Rahardian menyatakan bahwa diskusi publik ini dilakukan dalam rangka mengembangkan wacana kritis sekaligus pendidikan politik bagi warga Cianjur.
“Dinamika yang terjadi di tingkat nasional terkait ketidak-adilan dan perusakan ekologi juga terjadi di Cianjur, itu sebabnya diskusi ini dilakukan. Dewan Kota Cianjur akan selalu ada untuk mengkritisi kondisi sosial, ekonomi dan politik di Cianjur,” ujar Dian.
Dalam paparannya Ray Rangkuti menegaskan, dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran yang ada adalah kesemrawutan. Hal itu terjadi karena kekuasaan diisi oleh elite politik yang tidak kompeten.
Ray mencontohkan bagaimana seorang anggota DPR dalam forum terhormat bisa mencela seorang warga negara yang berinisiatif menyalurkan sumbangan masyarakat kepada korban bencana banjir di Aceh, dan membandingkannya dengan apa yang telah dibuat oleh pemerintah.
“Sikap itu jelas menunjukan ketidak mengertian dia sebagai seorang elit politik. Warga negara tidak punya kewajiban membantu korban bencana, kalau itu dilakukan berarti dia berbuat diluar tanggungjawabnya. Sebaliknya jika pemerintah membantu warga yang terkena bencana, itu memang menjadi tugasnya. Kok membanding-bandingkan?” Ungkap Ray.
Kesemrawutan itu juga terjadi karena adanya mentalistas ‘pejabatisme’, mentalitas yang menurut Ray, dimana penguasa dianggap tidak pernah salah. Sikap itu terjadi karena masyarakat terlalu memuliakan kekuasaan.
“Sikap itu membuat kita tanpa sadar merendahkan standar kita dalam menilai kinerja penguasa. Tidak heran mengapa tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah mencapai 70-80 persen,” ungkap Ray.
Hal senada diungkapkan oleh Teddy Wibisana. Aktivis gerakan tahun 80’an-90’an menyampaikan, selain mental pejabatisme, ada pula upaya masif dari pemerintah Prabowo-Gibran untuk menyampaikan informasi yang tidak jujur terhadap capaian pemerintah, melalui para pendengungnya di sosial media.
Padahal menurut Teddy, ada kontradiksi yang terjadi antara angka-angka statistik yang menunjukan keberhasilan pemerintah dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat.
“Jika memang ekonomi tumbuh mengapa masyarakat terutama gen z merasa lapangan kerja makin sulit? Jika inflasi terkendali, mengapa terjadi kenaikan harga bahan pokok dan masyarakat merasa terbebani? Bahkan KADIN mengingatkan, 30 persen UMKM akan gulung tikar di tahun 2026 karena krisis global. Data-data tersebut dengan mudah ditemukan,” tegas Teddy.
Teddy kemudian menjelaskan, jika data-data statistik itu benar, maka pertumbuhan ekonomi yang terjadi adalah pertumbuhan yang tidak berkelanjutan.
Menurutnya, kegagapan pemerintah dalam merespon bencana di Sumatera, apakah bencana itu merupakan bencana nasional atau bukan, adalah bukti betapa sempitnya ruang fiskal kita untuk merespon hal-hal yang tidak terduga.
“Jelas capaian pemerintah yang diungkapkan dalam data-data statistik tidak meyakinkan dalam menunjukan ketahanan ekonomi jangka panjang. Prabowo-Gibran tidak mampu membangun negara ini,” ujar Teddy.
Dalam diskusi ini, juga terungkap adanya masalah ketidak-adilan dan potensi bencana ekologi yang akan terjadi juga di Cianjur.
Masalah relokasi pasar yang sedang diadvokasi oleh LBH Cianjur dan rencana pembangunan Geothermal di wilayah Gede Pangrango, adalah dua hal yang menurut para pembicara harus menjadi perhatian serius baik dari kelompok kritis di Cianjur maupun jaringan aktivis antar kota.
Kasus geothermal di Gunung Gede-Pangrango menurut Teddy selain akan menjadi konflik agraria yang dimulai dengan pematokan tanah masyarakat, juga akan menjadi krisis ekologi yang serius.
Menurut Teddy, momentum ini harus menjadi sarana konsolidasi gerakan kritis bukan hanya di Cianjur juga nasional. Himbauan ini ini pertegas oleh Ray, untuk membangun oposisi rakyat.
“Di Parlemen Prabowo-Gibran sudah menghimpun enam parpol dari delapan partai, sedang dua partai lagi sikapnya tidak jelas. Maka perlu kita bangun oposisi rakyat,” tegas Ray
