Bogordaily.net — Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) merilis Indeks Investasi Hijau III 2025, laporan independen yang menilai kinerja lingkungan, sosial dan tata Kelola (Environment Social and Governance-ESG) dari 13 bank nasional dan asing.
Hasil tahun ini menunjukkan pencapaian signifikan: bank-bank nasional untuk pertama kalinya unggul di sebagian besar kategori, menggeser bank asing yang sebelumnya mendominasi sejak 2018.
Bank Nasional Unggul
Indeks Investasi Hijau 2025 menempatkan Panin, Mandiri, BCA, BNI, CIMB, Danamon, BSI, dan BRI sebagai bank dengan skor tertinggi. Bank asing seperti OCBC dan DBS berada di papan tengah, sementara satu bank asing besar masuk kategori merah.
Perbandingan hasil kajian
Indeks Investasi Hijau II dan Indeks Investasi Hijau III
Direktur Eksekutif IWGFF, Willem Pattinasarany, menyatakan bahwa pencapaian tersebut merupakan kemajuan penting bagi transformasi keuangan berkelanjutan Indonesia, namun tetap membutuhkan kehati-hatian:
“Perbankan nasional menunjukkan kemajuan dalam laporan keberlanjutan, namun ternyata mereka belum memiliki Standard Redflag yang memadai di sektor lingkungan dan kehutanan, yang dapat mengidentifikasi investasi dan dugaan terjadinya kerusakaan bahkan kejahatan akibat investasi mereka di sektor lingkungan dan sumberdaya alam. Hal ini ditunjukan dengan minimnya Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan-LTKM (Suspicous Transacation Report-STR) yang dilaporkan oleh perbankan kepada PPATK terkait dugaan kejahatan di sektor kehutanan dan lingkungan yang dilakukan oleh nasabahnya.
Data PPATK menunjukkan LTKM sepanjang Januari 2023 -Februari 2025 hanya 0,05 persen di sektor kehutanan, dan 0,33 persen di sektor lingkungan dari total 428.021 laporan yang masuk ke PPATK, demikian disampaikan Willem.
Peneliti IWGFF, Marius Gunawan, menjelaskan:
“Kebijakan ESG di atas kertas sudah lebih baik dengan memperlihatkan indeks investasi hijau perbankan ke jalur investasi yang pro lingkungan, namun Perbankan perlu meningkatkan Risk Assessment dan Enhance Due Diligence terhadap dukungan investasi mereka di sektor lingkungan yang berpotensi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, dan sumberdaya alam, bencana hidrometereologis, serta gejolak sosial di lapangan.
Peneliti IWGFF lainnya, Derry Wanta, menambahkan:
“Risiko lingkungan harus menjadi bagian wajib dalam proses Anti Money Laundering (AML) dan uji tuntas kredit. Tanpa integrasi menyeluruh, bank akan tetap rentan mendanai aktivitas yang dapat menimbulkan risiko hukum, reputasi, dan finansial.”
IWGFF menilai bahwa sektor perbankan Indonesia berada pada jalur yang benar menuju praktik keuangan berkelanjutan, namun beberapa hal yang perlu dilakukan oleh perbankan maupun regulator guna pencapaian target iklim nasional dan menciptakan ekonomi hijau yang lebih kuat dan resilien antara lain:
- Integrasikan Indeks Investasi Hijau sebagai bagian dari sistem pengawasan OJK dan penilaian risiko bank.
- Perlu transparansi kredit sektor berisiko tinggi, termasuk laporan berkala yang dapat diakses publik.
- Hentikan pembiayaan baru untuk aktivitas tidak berkelanjutan seperti energi fosil dan kegiatan yang tidak memenuhi izin lingkungan.
- Perkuat integrasi OJK–PPATK, menjadikan risiko lingkungan sebagai komponen penting dalam sistem AML.
- Percepat penerapan Taksonomi Hijau Indonesia, termasuk daftar pengecualian (exclusion list) untuk aktivitas yang tidak dapat dibiayai.***

