Sunday, 7 December 2025
HomeOpiniPendidikan Spiritual Sufistik sebagai Solusi Holistik untuk Kesehatan Mental Remaja di Indonesia

Pendidikan Spiritual Sufistik sebagai Solusi Holistik untuk Kesehatan Mental Remaja di Indonesia

Fenomena meningkatnya masalah kesehatan mental pada remaja Indonesia menegaskan urgensi isu yang selama ini kerap berada di bawah permukaan perhatian publik. .

Datata Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 34,9% setara dengan sekitar 15,5 juta remaja berusia 10–17 tahun, mengalami sedikitnya satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.

Gangguan yang paling banyak dilaporkan meliputi depresi, kecemasan, stres pascatrauma, masalah perilaku, serta gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

Dari keseluruhan temuan tersebut, 5,5% setara 2,45 juta remaja Indonesia memenuhi kriteria gangguan mental yang diakui secara klinis, dengan gangguan kecemasan sebagai diagnosis yang paling dominan.

Meskipun prevalensinya tidak menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin secara umum, pola variasi tetap terlihat, seperti tingkat kecemasan yang lebih tinggi pada remaja perempuan dan tingkat hiperaktivitas yang lebih tinggi pada remaja laki-laki.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah rendahnya tingkat pemanfaatan layanan kesehatan mental oleh remaja. Hanya 2,6% remaja yang melaporkan pernah mengakses layanan dukungan atau konseling dalam satu tahun terakhir.

Mayoritas memilih menangani permasalahan secara mandiri atau melalui dukungan informal dari teman dan keluarga, sebuah kecenderungan yang mencerminkan kuatnya stigma sosial dan rendahnya literasi kesehatan mental dalam masyarakat. Sebagian besar pengasuh utama memilih untuk menangani masalah tersebut secara mandiri, sementara hambatan stigma, minimnya literasi kesehatan mental, serta akses yang terbatas menjadikan remaja sulit mendapatkan intervensi yang tepat.

Situasi krisis kesehatan mental remaja saat ini merupakan ancaman serius terhadap masa depan bangsa, karena kualitas sumber daya manusia sangat bergantung pada kondisi mental generasi muda.

Dalam konteks Indonesia, peluang besar terbuka untuk menggunakan pendekatan yang inklusif, kontekstual, dan mudah diakses, mengingat mayoritas penduduk Indonesia, sekitar 86–87% atau sekitar 244–247 juta jiwa tahun 2025, menganut agama Islam.

Hal ini menandakan bahwa pendekatan kesehatan mental yang mengintegrasikan nilai dan budaya Islam, khususnya pendidikan spiritual sufistik, memiliki potensi besar untuk diterapkan secara luas.

Pendidikan Spiritual Sufistik
Pendidikan spritual tampaknya sudah banyak dibahas secara luas oleh berbagai ahli. Salah satunya Ahmad Suhailah, dia mengemukakan pendidikan spiritual adalah penanaman cinta Allah di dalam hati peserta didik yang menjadikannya mengharapkan ridha Allah SWT di setiap ucapan, perbuatan, sikap, dan tingkah laku, kemudian menjauhi hal-hal yang menyebabkan murka-Nya (Aziz, 2017).

Abu Bakar Aceh mendefinisikan pendidikan spiritual sebagai upaya mencari hubungan dengan Allah yang dilakukan melalui proses pendidikan dan latihan sehingga seseorang dapat menemui (liqa) dan mempersatukan diri dengan Tuhan-Nya (Supriaji, 2019).

Adapun Mudlofir mendefinisikan pendidikan spiritual dalam Islam merupakan upaya pembersihan jiwa menuju Allah SWT. Dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari akal yang belum tunduk kepada syariat menuju akal yang sesuai dengan syariat, dari hati keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat, dari roh yang menjauh dari pintu Allah SWT. lalai dalam beribadah dan tidak sungguh-sungguh melakukannya, menuju roh yang mengenal (arif) kepada Allah SWT, senantiasa melaksanakan hak-hak untuk beribadah kepada-Nya, dari fisik yang tidak mentaati aturan syariat menuju fisik yang senantiasa memegang aturan-aturan syariat Allah SWT (Mudlofir, 2011).

Pendidikan spiritual berbasis sufistik dapat pahami sebagai sebuah upaya sadar dan terencana dalam menanamkan rasa cinta kepada Allah SWT. melalui upaya memperkenalkan asma dan keagungan-Nya sebagai Tuhan yang harus disembah, ditaati serta dilaksanakan segala aturan, ketentuan dan petunjuk-Nya, baik secara lahiriah maupun ruhaniah melalui latihan pembersihan jiwa sehingga terlahir jiwa yang suci, akal yang bercahaya, akhlak yang mulia serta badan yang bersih dan sehat.

Perihal tersebut disebabkan adanya hubungan yang kokoh antara diri seseorang dengan Allah SWT senantiasa ridha dan pasrah sekaligus yakin akan pertolongan, hidayah dan taufik-Nya (Rohman, 2017).

Strategi pendidikan spiritual dipahami sebagai cara bagaimana mengajarkan pendidikan spiritual kepada anak sehingga diharapkan mereka mengalami pertumbuhan dan perkembangan spiritual secara optimal.

Strategi pendidikan spiritual berbasis sufistik menurut Nazar dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu, (Suhendi, 2017): Pertama, manzilat al-taubat yakni seseorang berupaya meninggalkan berbagai hal yang haram serta melakukan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya sekaligus senantiasa mengutamakan berbagai kebaikan dalam kehidupannya.

Kedua, manzilat alzuhd yakni seseorang mulai melepaskan urusan dunia serta perhiasaan dunia dari dirinya secara proporsional serta menjauhi berbagai ke-subhat-an yang ada disekeliling kehidupannya.

Ketiga, permusuhan dengan dirinya, artinya ia tidak pernah mendengar dan menuruti isyarat-isyarat kehendak nafsunya secara berlebih-lebihan namun ia senantiasa menjaga, mengoreksi, mengawasi jiwanya untuk tunduk kepada perintah Allah SWT. serta terus berjalan menempuh jalur yang menghubungkan kepada-Nya.

Keempat, manzilat al-mahabbah (cinta) dan qurbah (kedekatan). Manzilah ini berbeda dengan tiga manzilah sebelumnya. Dalam tiga manzilah sebelumnya seorang hamba berjalan terus menuju Allah SWT. atau pada tujuan akhir yang ditempuhnya yaitu hikmah dan makrifat dengan mujahadah, meninggalkan, berpaling, menghadang dan mengaitkan hatinya kepada lokus tertinggi (Allah).

Akan tetapi dalam manzilah ini hatinya ditujukan kepada Allah SWT bukan kepada kekuasaan. Sebab kekuasaan itu sesungguhnya hanyalah milik Allah SWT.

Kelima, manzilah memerangi hawa nafsu. Adapun cara seorang hamba dalam menempuh manzilah yang kelima ini dengan khudu (ketundukan), tadarruj (langkah secara bertahap), dan khashah (ketakutan). Keenam, manzilah ketersingkapan hijab Ketuhanan.

Artinya Allah SWT senantiasa melihat hamba ketika ia tiada henti-hentinya melakukan tadarru (ibadah) kepada-Nya, keterhubungan dengan-Nya dan kekhusyukan terhadap-Nya.

Ketujuh, manzilah penampakan keagungan Ilahi. Ini terjadi ketika seorang hamba mengalami ketersingkapan pada hijab ke-Tuhanan, sehingga ia mengalami keheranan dan kebingungan tiada tara di samudera makrifat.

Kemudian ia diterpa kecemasan dan ketercekaman. Ia tidak tahu sama sekali tentang keberadaannya. Allah SWT. memandang si hamba dengan penampakan (tajalli). Allah SWT menghendaki untuk memberi petunjuk kepadanya sehingga tersingkaplah hijab yang menampakan keagungan ketuhanan.

Maka si hamba mendapat petunjuk untuk menuju kepada Tuhannya, mengenali-Nya, akrab bersama-Nya, dan hidup bersama-Nya. Ia telah menjadi kekasih yang maha pengasih. Ia berada dalam genggaman-Nya. Ia diperlakukan semuanya oleh Allah SWT. Dan ia pun menjadi salah satu diantara tiang-tiang bumi (autad al-ard), sedang bumi tidak dapat berdiri tanpanya.

Selain strategi pendidikan spiritual berbasis sufistik di atas, al-Husaini menjelaskan implementasi pendidikan spiritual berbasis sufistik dapat dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut, (Rahayu, 2021): a) Menggantungkan hati kepada Allah SWT. dan membina hubungan yang erat dengan-Nya. b) Berzikir kepada Allah SWT. secara kontinyu. c) Memperbanyak ibadah baik ibadah shalat, infak, sedekah, membaca al-Qur‟an dan menghidupkan malam (qiyam al-lail) yang dapat menghidupkan hati, membersihkan jiwa, dan membangun relasi dengan Allah SWT. d) Merasakan pengawasan Allah SWT. baik dalam keadaan sendiri ataupun ramai. e) Merenungi dan memikirkan mahluk ciptaan Allah SWT. f) Mencintai Allah SWT. dan mengharapkan ridha-Nya. g) mencintai Rasulullah dan keluarganya. h) mencintai sahabat dan kaum muslimin. i) mengingat mati dan mempersiapkan akhiratnya.
Implikasi Praktis Pendidikan Sufistik: Studi Kasus di Yala Thailand
Thamavittaya Mulniti School berada di wilayah komunitas Muslim Melayu Patani yang cukup kuat di Yala, Thailand Selatan. Sekolah ini menerima siswa pada jenjang menengah pertama dan menengah atas dengan latar sosial ekonomi yang beragam, meskipun mayoritas berasal dari keluarga Muslim pedesaan dan perkotaan menengah ke bawah.

Secara umum, para remaja menunjukkan semangat belajar yang tinggi serta keterikatan kuat terhadap nilai-nilai agama dan keluarga. Namun, hasil observasi dan wawancara dengan guru dan siswa menunjukkan bahwa tantangan kesehatan mental tetap signifikan, terutama akibat pengaruh lingkungan sosial, tekanan akademik, serta posisi mereka sebagai minoritas di negara dengan mayoritas non-Muslim.

Meskipun tumbuh dalam lingkungan sekolah yang religius, para remaja menghadapi kompleksitas identitas ganda sebagai warga negara Thailand sekaligus bagian dari komunitas Muslim Melayu. Kondisi ini tidak jarang menimbulkan konflik identitas, terutama ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan luar yang lebih sekuler.

Selain itu, beberapa wilayah di Yala masih memiliki dinamika keamanan yang belum sepenuhnya stabil, sehingga sebagian remaja menyimpan kecemasan laten terkait situasi sosial dan politik setempat.

Berbagai faktor tersebut memperkuat kebutuhan akan dukungan emosional dan terciptanya lingkungan sekolah yang aman secara psikologis bagi perkembangan mereka.

Pengabdian masyarakat di Thamavittaya Mulniti School memperlihatkan keberhasilan pendekatan pendidikan spiritual berbasis sufistik. Penelitian ini melibatkan guru, konselor sekolah, ustadz pembimbing, serta perwakilan remaja dengan mengintegrasikan program utama pesantren.

Hasil pengamatan menunjukkan beberapa dinamika yang menarik dan penting untuk dijadikan dasar perumusan program pendidikan spiritual sufistik.
Lebih lanjut, nilai-nilai seperti muhasabah (introspeksi diri), dzikrullah (mengingat Allah), dan mujahadah (kesungguhan dalam melawan hawa nafsu) memberikan fondasi kepada para siswa/i untuk mengembangkan ketenangan batin dan kontrol emosi. Praktik-praktik ini membantu mereka membangun daya tahan menghadapi tekanan psikologis dan sosial, terutama dalam konteks minoritas.

Aktivitas spiritual ini secara praktis menumbuhkan keseimbangan emosional remaja melalui rutinitas refleksi dan dzikir yang terstruktur, menurunkan rasa stres, kecemasan, serta memperkuat identitas batin yang resilien dalam keadaan sulit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program ini secara signifikan meningkatkan stabilitas emosional remaja, yang terukur dengan skor rata-rata 95,2%.

Secara teoretis, pengabdian ini memperkuat basis pendidikan sufistik dengan mengadopsi gagasan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, yang menekankan bahwa pendidikan spiritual tidak hanya ritual, tapi juga pembentukan kepribadian insan kamil, pribadi yang matang dan seimbang secara spiritual, intelektual, dan sosial. Pemikir modern seperti Haedar Nashir (2013) mengembangkan konsep ini lebih jauh sebagai model pendidikan karakter relevan menghadapi krisis spiritual dan sosial kontemporer.

Model pendidikan sufistik yang diterapkan di Thamavittaya Mulniti mengimplementasikan pendidikan karakter yang holistik melalui pembinaan kesabaran, keikhlasan, dan kepercayaan diri sebagai modal utama dalam menjaga mental dan keseimbangan jiwa. Hal ini menjadi alternatif efektif dalam konteks sekolah Islam minoritas yang menghadapi tekanan ekstrim akibat politik mayoritas dan diskriminasi kebijakan.

Di ranah sosiokultural, nilai sufistik menjadi jembatan penting bagi remaja muslim minoritas dalam navigasi tantangan multikultural. Praktik sufistik yang mengedepankan empati, toleransi, dan refleksi rutin memungkinkan remaja memahami dan mengelola konflik batin.

Interaksi sosial mereka tidak hanya terbentuk atas dasar identitas agama, tapi juga sikap saling menghargai keberagaman yang membawa pada kohesi sosial dan mitigasi stres sosial.
Partisipasi remaja dalam kelompok dzikir dan refleksi spiritual menjadikan mereka aktif membangun ketahanan sosial psikologis, mengurangi rasa terasing, serta membentuk solidaritas dalam masyarakat yang beragam. Eksistensi nilai sufistik menjadi kenyataan nyata bagaimana pendidikan keagamaan dapat berperan strategis dalam memperkuat keberlangsungan sosial dan budaya komunitas minoritas Muslim.

Integrasi Pendekatan Spiritual Sufistik dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Data Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS, 2022) menunjukkan bahwa layanan kesehatan mental formal bagi remaja masih sangat terbatas, baik dari segi ketersediaan tenaga profesional maupun sistem rujukan.

Dalam situasi ini, staf sekolah, termasuk guru, pembina, dan konselor informal sering kali menjadi aktor pertama yang dihubungi ketika remaja mengalami tekanan psikologis. Namun, kemampuan mereka dalam melakukan intervensi masih bersifat sporadis, tidak terstandar, dan bergantung pada pengalaman personal. Hal ini memperlihatkan adanya treatment gap yang signifikan, sehingga dibutuhkan pendekatan alternatif yang dapat melengkapi sistem layanan formal yang belum memadai. Integrasi pendidikan dengan pendekatan spiritual, khususnya sufistik, menjadi salah satu strategi potensial untuk mengisi kekosongan tersebut.

Pendekatan spiritual sufistik memiliki karakter khas yang berpusat pada pembinaan jiwa, penguatan kesadaran diri, dan penanaman ketenangan batin melalui praktik-praktik seperti dzikir, tafakkur, cinta kasih (mahabbah), dan introspeksi diri (muhasabah). Modul pendidikan spiritual yang mengintegrasikan nilai-nilai ini dapat dikembangkan dan diadaptasi ke dalam kurikulum formal pendidikan umum maupun sistem pesantren. Melalui pelatihan guru sebagai pembimbing ruhani (murabbi), pembentukan kelompok sebaya berbasis dzikir dan diskusi spiritual, serta penciptaan ruang aman untuk refleksi emosional, remaja memiliki kesempatan untuk membangun regulasi emosi, ketangguhan psikologis, dan kecerdasan spiritual secara berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga preventif, karena memampukan remaja menghadapi stres sosial, tekanan akademik, serta tantangan perkembangan diri secara lebih holistik.
Strategi ini sekaligus sejalan dengan rekomendasi nasional untuk memperluas cakupan layanan kesehatan mental primer melalui pendekatan multisektor yang menghubungkan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial (I-NAMHS, 2022). Integrasi spiritual sufistik dapat berfungsi sebagai bridging mechanism, yakni jembatan penghubung antara kebutuhan kesehatan mental remaja dan kapasitas layanan yang tersedia. Dengan demikian, pendekatan ini dapat berkontribusi signifikan dalam meningkatkan literasi kesehatan mental, menurunkan stigma, serta memperluas akses pendampingan emosional bagi remaja di berbagai konteks pendidikan.

Pengalaman pengabdian masyarakat di Yala, Thailand Selatan, menunjukkan bahwa pendekatan sufistik yang terstruktur mampu menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman secara psikologis, sekaligus membantu remaja minoritas menemukan kejelasan identitas dan ketenangan spiritual. Temuan ini, jika dikontekstualisasikan dengan data I-NAMHS, memberikan dasar argumentatif yang kuat bagi para pembuat kebijakan untuk mendorong integrasi pendidikan spiritual sufistik ke dalam pembangunan kesehatan mental remaja di Indonesia, baik melalui RPJMN, standar layanan kesehatan mental sekolah, maupun kurikulum akademik pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan pesantren.

Ke depan, kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, lembaga riset, dan institusi keagamaan menjadi kunci untuk mereplikasi program-program berbasis sufistik secara lebih luas. Upaya ini tidak hanya berfungsi sebagai intervensi preventif, tetapi juga sebagai penguatan mental dan spiritual remaja di tengah perubahan sosial yang cepat, penetrasi digital, dan meningkatnya risiko masalah psikologis. Investasi pada bidang ini berpotensi mengurangi risiko gangguan mental kronis di masa dewasa, menekan beban sosial-ekonomi negara, serta menumbuhkan generasi muda yang tangguh secara psikologis, matang secara spiritual, dan selaras dengan visi Indonesia Emas 2045, yakni lahirnya generasi yang sehat fisik, mental, dan rohani.

Kesimpulan

Pendidikan spiritual sufistik menawarkan solusi holistik dan kontekstual yang relevan dengan kebutuhan kesehatan mental remaja di Indonesia.

Implementasi dan pengembangan lebih lanjut melalui sistem pendidikan dan layanan sosial dapat menutup akses yang selama ini terbatas, mengurangi stigma, dan memberikan ruang bagi generasi muda untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia utuh secara fisik, mental, dan spiritual.

Rekomendasi ini bukan sekadar aspirasi, melainkan panggilan untuk aksi nyata berbasis bukti ilmiah dan pengalaman lapangan yang mendalam. Masa depan bangsa terletak pada kesehatan mental generasi muda, dan sufisme adalah kunci untuk menguatkan jiwa mereka dalam mengarungi era penuh tantangan.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here