Thursday, 4 December 2025
HomeOpiniPerang Argumentasi di Senayan Untuk Kebijakan Narkotika serta Pertarungan Komunitas...

Perang Argumentasi di Senayan Untuk Kebijakan Narkotika serta Pertarungan Komunitas dan Masyarakat Melawan Kebijakan Turunannya

Bogordaily.net – Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana di DPR RI kembali menghidupkan harapan akan perbaikan sistem hukum narkotika.

Temuan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) menunjukkan bahwa akar masalah dalam kebijakan narkotika tidak dapat diselesaikan hanya dengan memperbaiki pasal.

Reformasi yang hanya fokus pada teks undang-undang berisiko mengabaikan kerusakan yang justru lahir dari implementasi kebijakan di lapangan, tempat masyarakat merasakan konsekuensi paling nyata. JRKN memaparkan data yang tidak dapat diabaikan.

Lebih dari separuh perkara kepemilikan sabu di bawah satu gram, tepatnya 52,25 persen tetap berujung pada pidana penjara antara empat hingga sepuluh tahun.

Angka ini menggambarkan bagaimana pidana minimum khusus dalam UU Narkotika telah menjadi instrumen yang menghukum secara berlebihan, tidak memberikan ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan proporsionalitas, dan tidak selaras dengan pendekatan kesehatan yang sering dikemukakan negara.

Penelitian IJRS semakin menegaskan persoalan tersebut dengan menemukan bahwa 44,6 persen pengguna justru dipidana sebagai pengedar.

Temuan ini menandakan kegagalan sistem hukum membedakan tindakan penggunaan dari peredaran gelap, sebuah distorsi yang menempatkan pengguna kecil dalam kategori pelaku kejahatan serius.

Masalah lainnya muncul dari struktur denda pidana narkotika yang tidak realistis secara sosial. Dalam konteks di mana hanya 1,7 persen penduduk Indonesia memiliki saldo tabungan di atas seratus juta rupiah, ancaman denda ratusan juta rupiah tidak mencerminkan keadilan.

Sanksi semacam ini tidak mendorong pencegahan, melainkan membuka jalan bagi kerentanan baru berupa penyitaan aset, beban ekonomi keluarga, dan hukuman penjara pengganti bagi mereka yang tidak mampu membayar.

Di ruang legislasi, JRKN berupaya memastikan agar RUU Penyesuaian Pidana mengoreksi ketidakadilan tersebut melalui harmonisasi dengan KUHP 2023, penghapusan pidana minimum, serta penguatan kerangka hukum yang menjamin proporsionalitas.

Namun efektivitas revisi undang-undang tetap bergantung pada bagaimana kebijakan ini diterjemahkan ke dalam mekanisme operasional di lapangan. Pada titik inilah masalah yang dihadapi masyarakat sering kali lebih rumit dibandingkan perdebatan pasal di Senayan.

Pengalaman pendampingan Forum Akar Rumput Indonesia (FARI) memperlihatkan sisi lain dari kebijakan narkotika yang tidak muncul dalam dokumen legislasi. Salah satu instrumen yang paling menentukan nasib warga adalah Surat Edaran Bareskrim Polri No 1/II/2018.

Surat edaran tersebut memberikan pedoman teknis bagi aparat untuk menentukan apakah seseorang dirujuk ke rehabilitasi atau diproses sebagai pelaku pidana.

Namun dalam praktik, pedoman ini kerap digunakan tanpa konsistensi, tanpa supervisi ketat, dan tanpa memastikan bahwa fasilitas yang menjadi tujuan rujukan memenuhi standar hukum maupun standar layanan kesehatan.

Data pengaduan yang dihimpun FARI sepanjang tahun 2025 memperkuat gambaran tersebut. Dari 78 laporan pengaduan yang masuk, hanya empat kasus sekitar lima persen yang berlanjut ke proses hukum formal.

Sebanyak 20 kasus, atau lebih dari seperempatnya, memilih penyelesaian transaksional di luar mekanisme pendampingan sehingga tidak dapat diteruskan oleh FARI karena bertentangan dengan prinsip perjuangan.

Sementara sisanya, 54 kasus atau sekitar 69 persen, diarahkan ke rehabilitasi melalui proses hukum dengan merujuk pada Surat Edaran Bareskrim No 1/II/2018.

Komposisi ini menunjukkan bahwa mekanisme rujukan rehabilitasi bukan lagi sekadar alternatif, melainkan jalur dominan yang menentukan nasib warga, sering kali tanpa kejelasan standar, tanpa verifikasi kelayakan fasilitas, dan tanpa pengawasan memadai.

Ketika hampir seluruh kasus masyarakat bergantung pada sebuah surat edaran yang tidak memiliki kekuatan hukum setingkat undang-undang, sementara sebagian lainnya tersedot ke penyelesaian transaksional yang tidak transparan, jelas bahwa persoalan utama bukan hanya berada pada rumusan pasal, melainkan pada bagaimana kebijakan dijalankan dan diawasi di lapangan.

Berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat dirujuk ke fasilitas rehabilitasi swasta yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) Rehabilitasi, tidak terdaftar sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), dan dalam sejumlah kasus tidak memiliki izin operasional dari pemerintah daerah.

Kondisi ini pernah teridentifikasi di Kota Bogor dan di beberapa wilayah lainnya. Ketidakhadiran standar dan pengawasan membuat mekanisme rujukan kehilangan sifat perlindungannya, menjadikan rehabilitasi berpotensi menjadi ruang yang tidak aman dan tidak memberikan kepastian hukum. Kesenjangan antara norma dan implementasi memperlihatkan dua realitas yang bertolak belakang.

Di Senayan, negara berbicara tentang reformasi dan pendekatan humanis. Di lapangan, warga menghadapi kebijakan turunan yang menimbulkan kebingungan prosedural, risiko salah rujuk, dan beban finansial yang tidak pernah terduga. Situasi ini menunjukkan bahwa reformasi narkotika tidak dapat hanya berhenti pada perbaikan undang-undang.

Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan operasional, termasuk SE Bareskrim No 1/II/2018, reformasi akan sekadar menjadi pembaruan administratif tanpa dampak nyata bagi masyarakat.

Kebijakan narkotika idealnya berjalan selaras antara hukum tertulis dan praktik lapangan. Perbaikan norma hukum harus diikuti oleh penguatan standar rujukan, transparansi fasilitas rehabilitasi, serta mekanisme pengawasan yang memastikan bahwa setiap tindakan aparat sejalan dengan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan pendekatan kesehatan.

Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa reformasi tidak hanya hadir di ruang pengambilan keputusan, tetapi juga di titik di mana masyarakat paling rentan bersinggungan dengan kebijakan.

Sampai koreksi di tingkat regulasi dan implementasi dapat berjalan beriringan, kelompok akar rumput seperti FARI akan tetap menjalankan peran pendampingan terhadap warga.

Peran tersebut bukan pengganti fungsi negara, tetapi bagian dari upaya memastikan bahwa hak-hak masyarakat tetap terlindungi di tengah sistem yang belum sepenuhnya responsif.

Reformasi narkotika hanya akan berhasil ketika keadilan terasa tidak hanya dalam teks undang-undang, tetapi juga dalam pengalaman warga yang bersentuhan langsung dengan sistem tersebut.

(Bambang Yulistyo Tedjo/Forum Akar Rumput Indonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here