Bogordaily.net – Diskriminasi rasial di Amerika Serikat (AS) kembali merebak. Kali ini adalah etnis Asia-Amerika (Asian-American) yang menjadi sasaran.
Stop AAPI Hate, organisasi yang melacak insiden kebencian dan diskriminasi terhadap orang Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik, mencatat setidaknya ada 500 insiden dalam dua bulan pertama tahun ini. Jika dilihat setahun terakhir, tentu angkanya lebih besar, mencapai 3.795 keluhan.
Mayoritas laporan mencatat 68% merupakan pelecehan verbal. Sementara 11% melibatkan serangan fisik.
Peningkatan kasus seperti ini tidak lepas dari pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Virus yang menjadi pandemi global ini awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China.
AS adalah negara yang paling parah dihantam pandemi. Berdasarkan catatan Wordometer, jumlah pasien positif corona di Negeri Paman Sam per 23 Maret 2021 adalah 30.580.072 orang. AS menjadi negara dengan pasien positif corona terbanyak di dunia.
Total pasien positif corona di seluruh negara adalah 124.423.295 orang. Artinya, hampir satu dari empat orang yang terjangkit virus corona di seluruh dunia ada di Negeri Paman Sam.
Tidak hanya jumlah pasien, AS juga menjadi negara dengan korban jiwa terbanyak di dunia. Sudah 556.003 orang di AS meninggal dunia akibat serangan virus corona.
Selain anggota keluarga dan sahabat yang dicintai, pandemi virus corona juga merenggut pekerjaan jutaan warga Negeri Adidaya. Tepat sebelum pandemi, tingkat pengangguran AS berada di 3,5%, terendah sejak 1969.
Pandemi, yang diatasi dengan pembatasan sosial (social distancing) dan karantina wilayah (lockdown), membuat ekonomi ‘mati suri’. Jutaan lapangan pekerjaan hilang dan puncaknya tingkat pengangguran berada di 14,8% pada April 2020, terendah sejak data pengangguran mulai dicatat pada 1948.
Lambat laun tingkat pengangguran terus turun, terakhir berada di 6,2% pada Februari 2021. Namun belum bisa mencapai level pra-pandemi, artinya masih banyak orang yang belum mendapat pekerjaan lagi.
Nestapa ini membuat sebagian warga AS melampiaskan kemarahan kepada etnis Asia-Amerika. Etnis ini dianggap sebagai penyebab pandemi, pembawa virus, yang memporak-porandakan seluruh sendi kehidupan.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan USA Today dan Ipsos terhadap 1.195 responden dewasa selama 18-19 Maret 2021, sebanyak 25% responden mengaku melihat seseorang menyalahkan orang Asia sebagai penyebab pandemi. Satu dari lima orang responden menyatakan merasa khawatir jika berada di dekat seseorang beretnis Asia.
Sebanyak 57% responden menyataka bahwa pandemi virus corona adalah bencana yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Namun yang mengkhawatirkan, 43% responden meyakini bahwa orang atau institusi tertentu harus bertanggung jawab. Dari 43% itu, lebih dari separuh menjawab yang terkait dengan China.
“Secara garis besar, prasangka (prejudice) rasial dicirikan dengan keyakinan bahwa ada etnis yang lebih inferior, ketidaktahuan terhadap budaya asing, ketidakpercayaan akan kemampuan suatu kelompok, dan rasa cemburu. Stigmatisasi spesifik yang berkembang adalah etnis Asia-Amerika berisiko mengidap Covid-19 dan mereka harus bertanggung jawab,” jelas Marsya Mtshali, Dosen Kajian Perempuan, Gender, dan Seksualitas di Universitas Harvard, seperti dikutip dari Marketwatch.
Mtshali menyebut rasa cemburu adalah salah satu ciri yang mendorong lahirnya prasangka terhadap etnis tertentu. Ini menjadi menarik karena secara ekonomi, etnis Asia-Amerika boleh dibilang lebih makmur dibandingkan etnis lain.
Mengutip data US Bureau of Labor Statistics, rata-rata upah warga AS beretnis Asia-Amerika pada kuartal IV-2020 adalah US$ 1.261/jam. Lebih tinggi dibandingkan warga etnis Kaukasian atau kulit putih (US$ 1.007/jam), Afrika-Amerika atau kulit hitam (US$ 792/jam), dan Hispanik (US$ 742/jam).
Dibandingkan kuaral IV-2019 (year-on-year), rata-rata upah warga Asia-Amerika naik 8,15%. Lebih tinggi ketimbang kenaikan upah warga Kaukasian (4,14%), Afrika-Amerika (4,76%), dan Hispanik (4,21%).
Warga Asia-Amerika juga sepertinya relatif lebih mudah mendapat pekerjaan. Pada kuartal IV-2020, tingkat pengangguran etnis Asia-Amerika tercatat 6,7%. Hanya lebih tinggi ketimbang Kaukasian (5,8%), tetapi lebih rendah dibandingkan Hispanik (8,7%) dan Afrika Amerika (9.9%).
Paul Weiss dalam makalah berjudul A Rising Tide of Hate and Violence Against Asian Americans in New York During Covid-19 terbitan Asian American Bar Association of New York menulis bahwa sentimen ekonomi yang melatarbelakangi prasangka terhadap etinis Asia-Amerika sudah ada sejak lama. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ada gelombang sentimen anti Asia-Amerika karena etnis ini dipandang sebagai pesaing di pasar tenaga kerja. They took our jobs…
Pada dekade 1980-an, saat industri otomotof AS mengalami tekanan hebat, lagi-lagi etnis Asia-Amerika jadi kambing hitam. Sebab, saat itu mobil bikinan Jepang mulai mengancam industri mobil made in the USA.
Friksi ini sampai memakan korban jiwa. Vincent Chin, seorang warga Asia-Amerika, dikeroyok hingga tewas oleh Ronald Ebens (penyelia/supervisor di pabrik Chrysler, pabrikan mobil AS) dan Micahel Nitz (korban Pemutusan Hubungan Kerja/PHK di sebuah pabrik mobil).
Kehadiran virus corona, yang oleh mantan presiden Donald Trump disebut virus China, membuat prasangka terhadap etnis Asia-Amerika menjadi semakin buruk. Ditambah kecemburuan ekonomi yang sudah terjadi hitungan abad, ketegangan pun meruncing.
“Meningkatnya kebencian dan kekerasan terhadap etnis Asia-Amerika selama pandemi adalah sebuah reaksi atas ketidakpastian dan ketakutan. Salah satu bentuk respons yang dilakukan adalah dengan mengasosiasikan pandemi dengan kelompok tertentu.
“Perjuangan untuk keadilan harus terus berlanjut. Hukum menyediakan hak yang sama bagi semua warga negara, termasuk kepada etnis Asia-Amerika. Kita harus melucuti sikap rasisme dan xenophobia yang menghantui warga Asia-Amerika selama 200 tahun terakhir,” tulis Weiss.
Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/