Bogordaily.net – Anggota DPRD Kabupaten Bogor mempertanyakan sikap Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bogor yang menolak program Buy The Servis (BTS) dari Kementerian Perhubungan untuk mengurai kemacetan puncak.
Anggota DPRD Kabupaten Bogor H. Slamet Mulyadi mengatakan tidak boleh Dishub menolak program yang diberikan Kementerian Perhubungan karena program tersebut bertujuan untuk mengurai kemacetan di kawasan puncak.
“Bahwa (anggapan Pemkab-red) untuk mengurai kemacetan itu harga mati jalur puncak 2 yang harus dibangun, kan tidak begitu juga. Jalur puncak 2 silakan saja di bangun, Dishub tidak boleh menolak saja program kementrian,” tutur wakil rakyat asal Dapil III itu, dimana kawasan puncak berada.
Politisi PDIP ini mengungkapkan, penolakan Dishub didasari karena takut ada penolakan dari para sopir angkot. Padahal menurutnya dengan berjalannya program tersebut ada solusinya dimana para sopir akan dipekerjakan di program tersebut.
“Dishub kenapa menolak kan ada solusinya,” tegasnya.
Dengan program tersebut ungkapnya nanti Kementrian Perhubungan akan menyediakan alat transportasi sejenis Bus Trans Jabodetabek yang beroperasi pulang pergi dari puncak ke Bogor.
“Ini (kendaraan) dari Bogor pulang pergi ke puncak supaya angkot-angkot itu berkurang,” terangnya.
Slamet mengungkapkan, kalau kemenerian tidak asal menjalankan program tersebut, tetapi sudah diawali dari kajian secara akademis yang termuat dalam naskah akademis yang dikeluarkan IPB.
“Sekarang Dishub punya tidak penolakan itu dasar akademisnya.
Ditolaknya itu juga harusnya dengan kajian akademis,” terang pria yang juga Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Bogor itu.
Menurutnya semua pihak yang terkait harus duduk bareng, baik itu Pemkab Bogor dalam hal ini Dishub, Kementerian Perhubungan dan Organda.
“Dishub tidak pernah mengajak ngobrol Organda. Setiap rapat paling yang datang bukan kadisnya bagian yang lainnya. Harusnya kebijakan itu ada di kadisnya,” pungkasnya.
Saat dikonfirmasi kepada Kepala Dishub Ade Yana, pihaknya membantah kalau disebut menolak. Tapi menurutnya kebijakan tersebut harus ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, mengingat karakter puncak tidak sama dengan jalan di perkotaan. terlebih puncak adalah jalur wisata, dimana tidak hanya dilalui wisatawan yang akan ke puncak tapi juga ke Cipanas, jadi jalur puncak cukup padat.
“Pada pertemuan Bupati dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Bupati meminta dalam MoU dicantumkan masa uji coba terlebih dahulu, tetapi BPTJ tidak mau,” ungkapnya.
Perlu diketahui BTS merupakan program subsidi yang berbasiskan skema remunerasi berjangka. Pemerintah memberikan subsidi 100 persen biaya operasional kendaraan yang diperlukan untuk melaksanakan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.***