Bogordaily.net -“Tak perlu sedu sedan itu, Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang,” Begitulah bunyi dari penggalan puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku dan mahsyur hingga detik ini.
Tidak bisa dipungkiri, puisi sastrawan angkatan 45 itu, meminjam istilah HB Jassin, selalu membuat pikiran pembacanya mengembara jauh.
Chairil Anwar yang juga dijuluki Si Binatang Jalang ini lahir di Medan, 26 Juli 1922 lalu. Ia merupakan anak semata wayang dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayah Chairil seorang Bupati Rengat, Indragiri Hulu, Riau yang tewas dalam tragedi pembantaian Rengat.
Chairil mengenyam pendidikan pertamanya di Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS), Medan. Sedangkan untuk sekolah tingkat SMP ia lanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Namun Chairil tidak pernah melanjutkan sekolahnya dan berhenti di tingkat 1. Setelah itu Chairil mulai belajar otodidak Bahasa Belanda, Bahasa Jerman, hingga Bahasa Inggris. Dengan mempelajari bahasa-bahasa tersebut Chairil mulai banyak membaca buku yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut.
Chairil yang juga masih terhitung keponakan dari perdana menteri pertama Indonesia, Soetan Sjahrir ini juga seorang pembaca yang rakus. Bagi kalangan muda, ia sering juga disebut sebagai ensiklopedia berjalan. Chairil sering membicarakan persoalan teater dan seni rupa, pengetahuannya akan hal tersebut sama baiknya dengan pengetahuannya terhadap sastra dan puisi.
Sebagai pembaca yang rakus, ia tidak pernah merasa berdosa ketika sedang mencuri buku. Ketika berada salah satu toko buku, Chairil hendak mencuri buku filsafat, karena berada di rak yang sama dengan buku keagamaan, Chairil salah mencuri dan yang ia curi adalah Alkitab.
Satu waktu, Chairil pernah mengirim puisi yang berjudul Datang Dara Hilang Dara kepada HB Jassin. Sajak tersebut merupakan terjemahan dari sajak penyair Cina, Hsu Chih-Mo. Hal ini ia lakukan beberapa bulan sebelum meninggal untuk membayar dokter karena penyakit yang ia derita.
Sebelum ia memuat sajak terjemahan, majalah-majalah yang ada pada saat itu dibanjiri dengan sajak asli dan jarang sekali menerima sajak terjemahan. Sebab, sajak terjemahan honornya tidak sebesar sajak asli dari sang pengarang.
“Apakah karena plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang asli pun harus dianggap tidak lagi bernilai?” ujar H.B Jassin seperti yang dikutip Tirto, 28 April 2021.
Menukil ensiklopedia.kemdikbud.go.id, A. Teeuw mengatakan, karya Chairil Anwar merupakan tenaga yang hidup dan nyata dalam pembangunan Indonesia. Melalui kepribadian dan puisinya, ia memberikan sumbangan terhadap pembentukan Indonesia baru, dan menolong memberikan arah kepadanya.***