Bogordaily.net – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemulihan perekonomian nasional memiliki ancaman yang beragam, mulai dari jangka pendek, menengah dan panjang.
Risiko yang harus dihadapi ini sebelumnya terungkap pada World Economic Forum (WEF). Beberapa ancaman yang dimaksud berupa ketidakpastian harga hingga krisis utang sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Sedangkan untuk ancaman risiko jangka menengah yakni 5 sampai 10 tahun ke depan, ada krisis perubahan iklim.
Sehingga saat ini dalam forum internasional selalu dibahas mengenai kebijakan untuk memitigasinya. Selain itu, muncul juga digital power concentration dan cyber security failure yang harus diwaspadai.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menilai bahwa, perubahan iklim tentu bisa berdampak bagi kondisi makro ekonomi.
“Ini dapat ditinjau baik dari sisi penawaran maupun permintaan tetapi dari sisi penawaran bisa menjadi pemicu dari dampak secara keseluruhan,”ungkap Anis dikutip dari Parlementaria, Sabtu 30 Oktober 2021.
Anis menambahkan kondisi naiknya suhu, perubahan cuaca ekstrim, tekanan udara bisa berkaitan dengan penurunan produktivitas ekonomi yang secara langsung akan mempengaruhi pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pariwisata dan sebagainya.
“Hal ini akan sangat tergantung dengan kemampuan masing-masing negara untuk beradaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Dan iklim awal di setiap negara yang berbeda juga seharusnya akan menentukan besarnya dampak perubahan iklim terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara,” tutur Anis.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menekankan bahwa negara seharusnya sudah siap dengan melakukan antisipasi karena kerentanan terhadap perubahan iklim berbeda di setiap negara.
Untuk itu, tanggapan kebijakan yang lebih kuat terhadap ancaman perubahan iklim, termasuk upaya mitigasi dan adaptasi harus disiapkan secara matang, sehingga tidak ada efek semakin bertambah parah jika ditambah dengan masalah simultan, seperti kesehatan dan menurunnya kualitas gizi akibat perubahan iklim tersebut.
Di samping itu, teknologi digital sudah bukan lagi perkara masa depan, namun sudah menjadi realita bagi dunia secara keseluruhan.
Perkembangan teknologi yang terus meningkat tajam pun sebenarnya demi mengimbangi kebutuhan manusia akan teknologi yang semakin besar.
Di setiap aspek kehidupan akan selalu ada teknologi digital yang membantu aktivitas sehari-hari sehingga menjadikan lebih efisien.
“Bahkan dalam kondisi seperti sekarang ini, sektor komunikasi menjadi bukti nyata bahwa pandemi mendorong masyarakat Indonesia untuk segera melakukan transisi dari manual ke era teknologi digital. Justru kita harus bisa meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan teknologi digital ini,” jelas Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI tersebut.
Pergeseran aktivitas dari offline menuju online pun akibat pandemi menjadi hal baru bagi para pelajar dan pekerja yang harus beradaptasi dengan beraktivitas secara online di rumah, baik itu untuk bekerja maupun untuk mengikuti pembelajaran.
Sedangkan bagi masyarakat dan bisnis yang awalnya belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital, saat ini “dipaksa” untuk segera hidup berdampingan bersama teknologi digital itu sendiri.
Adapun tentang prediksi tingginya harga minyak, Anis mengingatkan mitigasi atau langkah antisipasi dini dari pemerintah.
Jangan sampai kenaikan harga minyak nantinya menjadi salah satu faktor terhambatnya pemulihan ekonomi karena harga minyak yang mahal bisa membuat inflasi ikut naik.
“Hal ini dapat berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Tentu pemerintah harus segera melakukan mitigasi risiko, sehingga hal ini tidak terjadi di tengah proses pemulihan ekonomi dampak pandemi,” pungkas Anis.***