Monday, 25 November 2024
HomeBeritaLebih Dekat dengan Sastrawan Goenawan Mohamad

Lebih Dekat dengan Sastrawan Goenawan Mohamad

Bogordaily.net–Goenawan Mohamad merupakan sastrawan terkemuka di Indonesia. Berkat kiprahnya, ia diusulkan menerima nobel sastra pada 2023 atau tahun-tahun berikutnya. Berbicara sosoknya, berikut sepak terjang Goenawan Mohamad seperti dilansir dari Wikipedia.

Lahir di Batang, 29 Juli 1941 pemilik nama lengkap Goenawan Soesatyo Mohamad merupakan salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang pernah menjabat sebagai ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia).

Goenawan Mohamad merupakan intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Menulis sejak berusia 17 tahun, dua tahun kemudian Goenawan Mohamad menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson.

Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin.

Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

Karier GM—panggilan singkatnya—dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985). Dan sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time.

Di sana, ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohammad awalnya berharap bisa membangkitkan Tempo lagi lewat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tempat ia menjadi salah satu anggota. Setelah PWI yang terkooptasi rezim Soeharto dan ternyata tak bisa diandalkan, Goenawan mendukung inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia.

Ia juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti jumlah halaman tetapi tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata.

Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Graha itu. Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan rehat sebagai wartawan.

Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tetapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York.

Pada tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006. Pada tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California.

Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis.

Sebagian esainya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir (Caping), sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang Majalah Tempo.

Konsep dari Caping adalah sekadar sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Caping mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.

Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini sudah terbit jilid ke-14) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (Lontar Foundation, 1994) dan Conversations with Difference (19….).

Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan raung yang tak terserap karang”.

Kumpulan esainya berturut-turut: Catatan Pinggir (14 jilid, esai-esai Majalah Tempo), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).

Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi.

Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.

Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal.

Pada 2006, Goenawan dapat anugerah sastra Dan David Prize, bersama esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005 ia bersama wartawan Joesoef Ishak dapat Wertheim Award.

Selain kecimpungnya di dunia jurnalistik dan sastra, Goenawan juga mengurus  Kamunitas Salihara, sebuah tempat berkesenian di kawasan Salihara, Pasar  Minggu, Jakarta Selatan. Tempat ini juga kadang digunakan diskusi  dengan mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan sebagainya.(Gibran)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here