Bogordaily.net–Terkait dengan kekerasan ekstrem dan sistematis saat perang kemerdekaan Indonesia pada masa penjajahan, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf.
Permintaan maaf ini muncul setelah penelitian yang mengungkap kekerasan oleh Belanda saat masa kolonial di Indonesia.
“Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan sistematis dan ekstrem dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu,” kata Perdana Menteri Mark Rutte dalam konferensi pers, dikutip CNN Indonesia dari AFP, Jumat, 18 Februari 2022.
Rutte mengaku menyesal pemerintah Belanda sebelumnya menutup mata terhadap masalah ini.
“Kami juga meminta maaf kepada semua orang yang tinggal di Belanda yang harus hidup dengan konsekuensi perang kolonial di Indonesia, termasuk para veteran perang yang berperilaku baik,” kata Rutte.
Sementara itu dalam studi yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, diketahui tentara Belanda membakar desa-desa, melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan mengeksekusi masyarakat pada 1945-1949. Kekerasan ekstrem ini dilakukan dengan dukungan diam-diam dari pemerintah.
Dalam studi ini peneliti menyebut bahwa pihak Belanda mulai dari politikus, pejabat, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya mengetahui tentang kekerasan ekstrem dan sistematis itu.
“Ada kemauan kolektif untuk membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi: memenangkan perang,” kata peneliti.
Lebih lanjut peneliti mengungkap kejahatan itu meliputi penahanan massal, penyiksaan, pembakaran kampung, eksekusi, dan pembunuhan warga sipil.
Kekerasan ini terjadi saat Belanda ingin mempertahankan bekas jajahannya setelah Indonesia menyatakan kemerdekannya pada 1945. Belanda lalu mundur pada 1949.
Penelitian tersebut berjudul ‘Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950’. Riset melibatkan 25 akademisi Belanda, 11 peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan 6 pakar internasional.
Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini, yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV); Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD); serta Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH). Mereka menyatakan bekerja sama dengan pihak peneliti Indonesia, tapi bukan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia.
Rutte menyebut periode sejarah 1945-1950 di Indonesia sebagai ‘lembaran hitam dalam sejarah kita’ dan ‘babak menyakitkan dalam sejarah kita’.
Rutte mengatakan permintaan maaf itu mengulang kembali permintaan maaf Belanda pada 2020 lewat Raja Belanda. Saat itu, Raja Belanda meminta maaf ke Indonesia atas kekerasan 1945-1949.
Seperti diketahui ini memang bukan permintaan maaf pertama Belanda kepada Indonesia. Raja Belanda Willem-Alexander sebelumnya telah secara resmi meminta maaf saat berkunjung ke Indonesia pada 2020.***