Bogordaily.net–Ahmad Kanedi, anggota MPR dari kelompok DPD menilai syarat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen merupakan sesuatu yang membingungkan dan tidak sesuai dengan perintah konstitusi.
Pemakaian PT menurutnya juga ditentang sebagian besar ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi serta tidak ditemukan dalam praktek ketatanegaraan di negara manapun di dunia.
“Saya sudah berkeliling ke berbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan presidential threshold yang dipraktikkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia,” kata Ahmad Kanedi dalam diskusi seperti dikutip dari Suara.com, Minggu, 20 Februari 2022.
Lebih lanjut, Kanedi menjelaskan di berbagai kampus yang dikunjunginya, sering mendapat pertanyaan, mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden masih digunakan.
Masyarakat kata dia, menilai ketentuan tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Syarat pencalonan Presiden sesuai ketentuan konstitusi adalah warga negara Indonesia, tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau tindak pidana berat lainnya, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
“Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktik politik dan harus kita sadari bersama. Meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti aturan hukum yang ada,” papar Kenedi.
Dalam diskusi tersebut, pakar hukum tata negara UNIB Ardilafisa menilai semestinya ambang batas pencalonan presiden digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50 persen plus satu.
Apabila dalam pemilu presiden (Pilpres) belum ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dilakukan pemilihan kedua tetapi bukan menggunakan ambang batas untuk menentukan calon presiden.
“Silakan semua calon ikut dalam kontestasi, pemenangnya adalah dia yang dapat 50 persen plus satu,” kata Ardilafisa.
Dia juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pertama pada 2024. Rencana tersebut dinilainya sangat membahayakan karena pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan.***