Bogordaily.net–Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) didesak untuk menyelidiki dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan komoditas terkait.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
“YLKI terus mendesak KPPU untuk mengulik adanya dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit,” kata Tulus dikutip dari Suara.com, Jumat, 18 Maret 2022.
Hal ini lantaran sebelumnya, ketersediaan minyak goreng khususnya minyak goreng kemasan sederhana hingga premium langka di pasaran baik di pasar modern, ritel modern, ritel tradisional, juga pasar tradisional.
Kelangkaan stok minyak goreng terjadi ketika pemerintah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi sebesar Rp14 ribu per liter untuk kemasan premium, Rp13.500 per liter untuk kemasan sederhana, dan Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah.
Nah, saat pemerintah mencabut kebijakan HET dan mengembalikan harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana kepada mekanisme pasar, stok minyak goreng secara tiba-tiba banjir di pasaran dengan harga di kisaran Rp23 ribu hingga Rp25 ribu per liter.
Menurut Tulus, kebijakan pemerintah sebelumnya yang menerapkan HET minyak goreng tidak efektif dan malah menyebabkan kelangkaan lantaran kebijakannya melawan pasar di mana mengharuskan harga maksimal Rp14 ribu, padahal harga keekonomian sesuai mekanisme pasar di atas itu.
“Selama ini intervensi pemerintah pada pasar minyak goreng dengan cara melawan pasar. Dan terbukti gagal total. Malah menimbulkan chaos di tengah masyarakat,” sambungnya.
Lebih lanjut Tulus menilai kebijakan terbaru yang ditetapkan pemerintah terhadap minyak goreng di atas kertas atau secara umum lebih market friendly dan diharapkan bisa menjadi upaya untuk memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng pada masyarakat dengan harga terjangkau.
Tak hanya itu, YLKI juga mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan terkait HET minyak goreng curah dengan harga Rp14.000 per liter agar tepat sasaran.
“Jangan sampai kelompok konsumen minyak goreng premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengan membeli, apalagi memborong minyak goreng nonpremium yang harganya jauh lebih murah,” tegasnya.***