Friday, 22 November 2024
HomeBeritaSosok Dibalik Warteg Bahari, Dari Pedagang Asongan Kini Jadi Jutawan

Sosok Dibalik Warteg Bahari, Dari Pedagang Asongan Kini Jadi Jutawan

Bogordaily.net – Warung tegal, meski menawarkan makanan dengan harga yang bisa dibilang murah, ternyata juga bisa jadi ladang pendapatan yang fantastis. Salah satu orang yang sukses menjalankan bisnis ini adalah Yudhika, pemilik Warteg Kharisma Bahari

Pria kelahiran Tegal tahun 1973 ini sukses menaklukkan Kota Jakarta dan sekitarnya dengan Warteg Kharisma Bahari. Kharisma Bahari bukan hanya sekedar bisnis warteg biasa, Yudhika menawarkan sistem waralaba buat memperluas cabangnya. Cabangnya mencapai 197 warung.

Yudhika terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayah dan Ibunya merupakan seorang petani, tapi sesungguhnya mampu buat menyekolahkannya hingga SMA. Namun, layaknya anak kecil pada umumnya, ia justru lebih senang bermain ketimbang belajar.

“Saya itu, dulu mau beli apa-apa harus kerja dulu, disuruh bantu di sawah lah, baru dikasih uang” kata Yudhika.

Saking malasnya, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan hijrah ke Jakarta. Kerasnya Ibu Kota membuatnya mesti berpikir keras buat mendapatkan uang. Berjualan asongan dengan gerobak seadanya yang dipangkal di sebelah warung Tegal kakaknya di Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur.

 

Setelah tujuh tahun dagang rokok, Yudi ingin mengubah nasib dengan membuka warteg. Apalagi, sang istri sebentar lagi melahirkan.

Modal hasil pinjaman mertua sebesar Rp 6 juta masih kurang untuk membuka warteg. Karena itu, Yudi berkongsi dengan temannya, dengan sistem bagi hasil. .

Lokasi warteg itu di dekat kantor Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. “Saat teman saya yang masuk, saya kembali dagang rokok,” katanya.

Sebagian keuntungan dari usaha warteg dan kios rokok, Yudi kumpulkan untuk membuka warteg sendiri tanpa kerjasama dengan orang lain. Angannya terwujud, ia mendirikan warteg di daerah Pangeran Antasari, Jakarta Selatan.

Bahkan, mertuanya ikutan bergabung lantaran usaha wartegnya gulung tikar.

“Yang memasak istri saya. Mertua saya bisa bikin warteg juga, karena istri saya. Soalnya, istri saya sempat ikut orang bekerja di wartegnya,” beber Yudi.

Waktu itu, kedua wartegnya belum memakai nama Warteg Kharisma Bahari. Warteg di Cilandak bernama Warteg MM, yang merupakan singkatan dari modal mertua. Sedang yang di Antasari, namanya Warteg Akrobu, yang Yudi ambil dari nama guru spiritualnya.

Kemudian, dia buka warteg yang ketiga. Lokasinya, di warteg pertama yang tutup karena kerjasama dengan sang teman berakhir.

Di sini, ia mulai menggunakan nama Warteg Kharisma Bahari. “Nama Kharisma dari hati, tiba-tiba dapat ilham saja. Sejak pakai nama Kharisma, tiap tahun cabang saya tambah,” ungkap Yudi.

Untuk pengelolaan cabang, Yudi menyerahkan ke karyawan. Tapi ternyata,  pengeluaran lebih besar sedangkan pemasukannya lebih sedikit dibanding warteg yang ia kelola sendiri.

“Akhirnya saya kepikiran, daripada saya stres buka cabang seperti ini, lebih baik merekrut saudara sendiri dan teman,” ujar dia.

Yudi menerapkan bagi hasil dalam kerjasama ini. Meski begitu, modal seluruhnya dari Yudi. Dalam kongsi itu, keuntungan dibagi dua, antara Yudi dengan saudara atau temannya yang menjalankan cabang Warteg Kharisma Bahari.

Dalam perjalanannya, para pengelola cabang warteg milik Yudi berhasil mengumpulkan uang dari bagi hasil itu.

“Mereka bilang ke saya, kami, kan, sudah punya modal, bisa enggak kami kayak Mas Yudi, punya warteg sendiri, dan tolong carikan kami lokasi,” beber Yudi.

Yudi pun menyanggupi permintaan tersebut. Ia mematok harga Rp 100 juta. Mitra mendapat paket komplet, mulai peralatan dapur, makan, etalase, renovasi warung termasuk dua kamar tidur dan kamar mandi, hingga televisi, tapi belum termasuk sewa tempat.

Perkembangan cabang wartegnya semakin pesat pasca Yudi bertemu teman lamanya yang bekerja sebagai guru. Sang kawan menyarankannya untuk membuat website yang berisi penawaran waralaba Warteg Kharisma Bahari.

“Jadi, saya bisnis begini, sebetulnya tidak sengaja,” sebut Yudi.

Saat ini, tarif waralaba untuk warteg ukuran sedang Rp 110 juta, belum termasuk sewa tempat. Untuk sumber daya manusia (SDM), baik pengelola, tukang masak, maupun pelayan, semua Yudi yang pilih.

Layanan Digital

Jangan heran jika di satu wilayah rukun warga (RW) bisa ada lima cabang Warteg Kharisma Bahari. Semakin daerahnya ramai, maka semakin banyak cabang di kawasan itu.

Daya jual kemitraan semakin bertambah setelah Warteg Kharisma Bahari mengusung konsep digital sejak Oktober 2017. Yudi berkerjasama dengan salah satu bank untuk pembayaran nontunai.

Sistem pembayarannya dengan memindai (scan) barcode.

“Misalnya, dia makan senilai Rp 15.000, langsung scan barcode saja. Duitnya nanti masuk ke rekening saya. Barcode ada di etalase tempat lauk pauk,” jelas Yudi.

tak hanya satu bank, ia pun menambah relasi Bank untuk sistem pembayaran nontunai. Bentuknya berupa mesin electronic data capture (EDC).

“Jadi, pakai kartu debit atau kredit bank apapun bisa bayar. Warteg yang kerjasama akan dapat fee, sebulan bisa dapat fee Rp 200.000– Rp 300.000,” sebut dia.

Tetapi, menurut Yudi, belum seluruh cabang Warteg Kharisma Bahari menerima pembayaran nontunai. Sebab, ia tidak memaksa semua mitra untuk mengusung konsep ini.

Sebagian cabang, Yudi menambahkan, juga memiliki fasilitas Wi-Fi gratis.

“Wi-Fi ini bisa berfungsi untuk para karyawan juga pembeli,” katanya.

Yudi bercita-cita, cabang wartegnya ada di seluruh penjuru Jabodetabek. Cuma sampai saat ini, belum ada satu pun cabang di daerah Jakarta Utara dan Bogor.

Untuk Bogor, ia memang belum tertarik buka cabang di kota hujan itu. Sedangkan di Jakarta Utara belum ada permintaan sejauh ini. Tapi suatu saat, dia bakal menancapkan kuku di dua daerah itu.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here