Bogordaily.net– Menjelang Hari Raya Idulfitri atau Lebaran, para pekerja di Indonesia memiliki tradisi mendapat THR atau Tunjangan Hari Raya. Rupanya, aktivitas ini telang berlangsung di Indonesia sejak puluhan tahun silam. Seperti diketahui, Tunjangan Hari Raya merupakan salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengimbau para pengusaha untuk membayar THR sebelum Hari Raya Idul Fitri 2021. Meskipun THR sudah menjadi hal yang lumrah untuk para pekerja, tetapi tahukah sejarah THR?  Berikut asal usul dan sejarah THR.
Melansir Suara.com dari Implikasi Yuridis Depenalisasi Dalam Pelanggaran Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Terhadap Pekerja oleh Sholikatun (2017), THR pertama kali digalakkan pada era Orde Lama yakni ketika kabinet Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri ke-6 Indonesia pada April 1951.
Soekiman Wirjosandjojo berasal dari Partai Masyumi. Mulanya, THR diberlakukan untuk meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, lebih dari itu, THR digunakan sebagai strategi politik untuk mendukung kabinet Soekiman. Dulu, besaran THR pertama kali adalah Rp125 ribu hingga Rp200 ribu. Selain uang THR, PNS saat itu itu juga mendapat paket berupa sembako.
Kebijakan THR ini kemudian menuai protes dari para buruh karena merasa pemerintah tidak memperhatikan nasib para buruh. Terlebih saat itu PNS masih didominasi oleh kalangan atas, sehingga timbul ketimpangan sosial. Hal tersebut akhirnya menuai aksi mogok kerja dari para buruh.
Akibatnya, para buruh menuntut pemerintah memberikan hak serupa kepada para pekerja swasta sebagai bentuk kepedulian dalam menghadapi situasi ekonomi yang sedang sulit. Mengingat, menjelang lebaran kebutuhan pokok melonjak tajam.
Organisasi buruh terbesar pada masa itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) berada di front terdepan dalam perjuangan buruh. Pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan protes dengan mogok kerja dan menuntut pemerintah memberikan uang THR.
Lalu pada kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri ke-8 Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Di tengah aksi buruh yang gencar menuntut pemerintah, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954. Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentan waktu satu tahun. Jumlah paling sekurang-kurangnya adalah Rp50 dan paling besar Rp300.
Namun surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan. Banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela.
Setelah Ahem Erningpraja menjabat sebagai Menteri Perburuhan, ia pun menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 yang menyatakan bahwa THR adalah hak bagi buruh swasta. Hingga kini THR telah menjadi hak seluruh kaum buruh dan pekerja di Indonesia.
Sementara itu kini, berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016, pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha.
Kebiasaan sejak dulu itu belakangan banyak ditiru dan menjadi tradisi perusahaan-perusahaan di Indonesia jelang Lebaran hingga saat ini. THR pun kini telah menjadi hak seluruh kaum pekerja menjelang Hari Raya Idulfitri.***