Bogordaily.net– Kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taiwan menjadikan negara itu sorotan dunia. Terlebih, kedatangan Nancy ke Taiwan membuat murka China dan menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran atas kedaulatan dan integritas teritorial. Lalu, apa yang membuat Taiwan ngotot ingin pisah dari China?
Dilansir CNNIndonesia.com, Taiwan menjadi bagian dari China sejak abad ketujuh, sebagaimana dikutip Britannica. Taiwan sempat menjadi bagian dari wilayah Jepang setelah Perang Sino-Jepang pada 1895. Meski demikian, kekalahan Jepang di Perang Dunia II membuat Taiwan kembali menjadi bagian dari wilayah China.
Pusat Strategis dan Studi Internasional (CSIS) melaporkan pada 1 Desember 1943, pemimpin China, Amerika Serikat, dan Inggris menandatangani ‘Deklarasi Kairo.’ Dalam deklarasi itu, ketiga pihak menyepakati bahwa seluruh wilayah yang diambil Jepang dari China, seperti Manchuria, Taiwan, dan Kepulauan Penghu, harus dikembalikan ke China.
Dua partai politik utama tengah memperebutkan kekuasaan China kala itu, yakni Partai Nasionalis (KMT) dan Partai Komunis China (PKC).
KMT merupakan warisan dari Dinasti Qing, sedangkan PKC didirikan pada 1921 dan membawa agenda revolusi komunis China.
Keduanya sempat damai pada 1928, saat mereka berupaya menyatukan China. Namun, pertarungan antara KMT dan CCP terus berlangsung hingga Perang Dunia II.
Amerika Serikat, yang mendukung KMT, mencoba menengahi konflik KMT dan CCP pada 1945 tetapi keduanya seringkali berkonflik dan melakukan pelanggaran gencatan senjata, membuat AS mengabaikan upaya perdamaian keduanya pada 1947 dan menarik pasukan mereka dari China untuk mendukung KMT.
Lalu sampai 1 Oktober 1949 perang antara KMT dan CCP terus terjadi dan pemimpin CCP Mao Zedong mengumumkan pembentukan Republik Rakyat China (RRC) di Beijing.
Di sisi lain Generalissimo dari KMT, Chiang Kai-Shek, mundur dari China dan mengungsi ke Taiwan serta membawa dua juta pasukan KMT dan pendukung partai itu. Militer KMT pun mendeklarasikan Taipei sebagai ibu kota Republik China (ROC).
Sejak 1949 sampai Perang Dingin, Taiwan mendapatkan pengakuan internasional sebagai ROC, terlebih kala itu AS meluncurkan kampanye anti-komunis.
Kemudian pada 1971, RRC mendapat cukup suara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membubarkan Taiwan sebagai ROC, juga mengakuimya sebagai perwakilan China di PBB.
AS pun memutuskan mendukung kebijakan Satu China dan mengubah pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing pada 1979. Namun, AS menerapkan Undang-Undang Hubungan Taiwan pada tahun yang sama.
Diberitakan Reuters, dalam aturan tersebut, keputusan AS menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing tak lepas dari harapan bahwa masa depan Taiwan bakal diselesaikan dengan cara damai. Aturan itu juga membuat Washington membantu Taiwan membela diri jika China menginvasi pulau itu.
Nah, hubungan Taiwan dan China sempat membaik pada 1990-an, tetapi kembali bermasalah setelah Chen Shui-bian terpilih menjadi presiden Taiwan pada 2002.
Chen Shui-bian mendukung kedaulatan Taiwan dan pengakuan kemerdekaan Taiwan secara formal. Ia adalah tokoh Partai Progresif Demokratis (DPP).***