Bogordaily.net – Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun Anggaran 2023 telah disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023 pada Kamis, 29 September 2022.
APBN 2023 disusun dalam kondisi ketidakpastian yang cukup tinggi akibat krisis geopolitik dan gejolak perekonomian lainnya.
“Tantangan gejolak ekonomi dunia sungguh sangat nyata dan kita dapat lihat dan kita rasakan bahkan pada proses pembahasan RAPBN 2023 kali ini. Sejak pemerintah dan dewan membahas kerangka ekonomi makro dan pokok pokok kebijakan fiskal dari mulai bulan April hingga pengambilan keputusan hari ini, kita menyaksikan seluruh indikator indikator ekonomi yang menjadi dasar penyusunan RAPBN 2023 terus bergerak sangat dinamis bahkan cenderung bergejolak dengan volatilitas yang tinggi,” ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan Pendapat Akhir Pemerintah pada rapat tersebut.
Menkeu mengatakan, dalam satu bulan terakhir beberapa indikator bergerak luar biasa sangat cepat. Contohnya, CPO saat ini mengalami penurunan dari yang sebelumnya naik luar biasa tajam.
Selain itu, dari sisi mata uang beberapa negara mengalami penurunan dengan volatilitas yang tinggi. Menkeu menyebut, selama periode 2022 nilai tukar beberapa mata uang terhadap dolar Amerika mengalami koreksi yang sangat tajam.
Yen Jepang mengalami depresiasi hingga 25,8%, Renminbi RRT terdepresiasi 12,9%, Lira Turki terdepresiasi 38,6%, Ringgit Malaysia terdepresiasi 10,7%, Bath Thailand 14,1%, sedangkan Peso Filipina terdepresiasi 15,7%.
“Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 6,1%, jauh lebih rendah dari berbagai mata uang yang kami sebutkan tadi,” jelas Menkeu.
Sementara itu, indikator inflasi juga menunjukkan adanya gejolak pada perekonomian. Menkeu mengatakan, inflasi negara maju yang sebelumnya selalu berada pada single digit atau bahkan sangat rendah mendekati nol persen, sekarang melonjak mencapai double digit.
“Inflasi yang sangat tinggi ini mendorong respons kebijakan moneter terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa di mana dengan sangat agresif bank sentral negara-negara tersebut menaikkan suku bunga yang menyebabkan gejolak di sektor keuangan dan terjadinya arus modal keluar atau capital outflow dari negara negara emerging di seluruh dunia,” jelas Menkeu.
Capital outflow dari negara emerging mencapai US$9,9 billion atau setara Rp148,1 triliun year to date. Bahkan The Fed turut menaikkan suku bunga acuan sejak awal tahun mencapai 300 basis poin lebih tinggi.
Kenaikan suku bunga di berbagai negara terutama di negara maju akan menyebabkan kenaikan cost of fund dan pengetatan likuiditas yang harus diwaspadai secara sangat hati-hati oleh Indonesia.
“Kami menyampaikan gambaran gejolak ekonomi global saat ini tidak untuk membuat kita khawatir dan gentar. Namun untuk memberikan sense bahwa gejolak perekonomian tahun ini maupun tahun depan yang akan kita hadapi bersama harus dapat diantisipasi dan dikelola dengan hati hati dan prudent. UU APBN 2023 yang baru saja disetujui tentu terus diharapkan menjadi instrumen yang handal dan efektif di dalam menjaga perekonomian Indonesia. Namun APBN kita jelas akan terus diuji dengan berbagai gejolak yang tidak mudah dan belum mereda,” pungkas Menkeu.***
(Riyaldi)
Simak Video Lainnya dan Kunjungi Youtube BogordailyTV